LOGINSore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.
Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya. Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?” “Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?” Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu. Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang. “Because I know you’d react like this.” “Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek biasa. Ini kerja sama besar yang bawa nama perusahaan besar. Dan Daddy menaruh aku satu tim dengan orang yang—” Cantika kehilangan kata untuk mendeskripsikan Ezra. “Yang kamu tolak seribu kali sejak usia sembilan tahun?” sela Kenzo ringan, tapi tepat sasaran. Cantik terdiam sejenak, matanya menyipit. “Delapan puluh kali. Sekalian saja Daddy tambahkan ke laporan tahunan keluarga.” Kenzo tertawa. “Sayang, om Nico yang minta Ezra terlibat atas permintaan tante Ayara yang ingin Ezra pulang … kata om Nico, hanya ini cara agar Ezra mau pulang.” Cantik memutar mata. “Oh, great. Sekarang aku jadi pion reuni keluarga besar elite Indonesia.” Daddy Kenzo berdiri, menghampiri putrinya. Tangannya menepuk bahu Cantik perlahan. “Listen, Cantik. Ezra bukan anak kemarin sore. Dia lulusan terbaik dari Lausanne, dia punya pengalaman proyek multinasional dan dia bukan anak kecil lagi yang cuma bisanya ngeledekin kamu.” Cantik menghela napas berat, lalu menjatuhkan diri di sofa kulit tua di tengah ruangan. “Aku cuma enggak suka dikerjai kayak gini. Kayak semua orang tahu kecuali aku.” Bibir Cantika cemburu, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Karena kamu pasti lari saat tahu kalau Ezra adalah partner kamu,” ujar Kenzo lembut. “Dan kali ini kamu harus hadapi. Sebagai wakil GZ Corp. Sebagai profesional. Dan sebagai wanita dewasa yang katanya udah enggak baperan kaya dulu lagi.” Cantik menyipitkan mata. “Pasti Daddy dan mommy Jill berkomplot, kan?” Kenzo tersenyum. “Mommy kamu bahkan lebih bersemangat dari Daddy.” Cantik meringis kesal. “Daddy… kalau Cantik resign dari proyek itu, Daddy tetap bangga sama aku, kan?” Kenzo pura-pura berpikir. “Tergantung. Resign karena alasan profesional atau trauma masa kecil yang belum kelar?” Cantik menghela napas, lalu berdiri. “Aku enggak akan mundur. Tapi jangan salahkan aku kalau suatu hari proyek itu meledak.” Kenzo menepuk bahunya sekali lagi. “Kalau sampai meledak pastikan kamu yang berdiri paling tinggi di reruntuhannya.” Cantik tersenyum sinis. “Spoken like a true CEO.” Lalu ia keluar ruangan, langkahnya lebih tenang—tapi pikirannya tidak. Di kamarnya, Cantika menanggalkan pakaian sambil menatap cermin. Benaknya terus berpikir tentang kembalinya Ezra yang sudah pasti bukan hanya untuk proyek ini. Dan Daddy tahu itu. Dan Mommy Jill tahu itu. Dan mungkin bagian dari dirinya juga tahu. Tapi belum siap mengakuinya. Cantika mengembuskan nafas gusar, dia membalikan badan lalu masuk ke kamar mandi, bersiap untuk makan malam. *** Pagi hari di rumah utama keluarga Lazuardy terasa seperti satu episode sitkom, dengan interior modern klasik yang tidak pernah cukup tenang selama ada empat pria Lazuardy di dalamnya—apalagi jika salah satu dari mereka baru pulang dari luar negeri. “EZRAAAA! Turun sekarang atau Mama naik dan gunting kartu kredit kamu!” Suara lantang Mama Ayara menggema dari dapur, diiringi aroma waffle dan kopi yang menguar dari balik meja island marmer. Ezra muncul sepuluh detik kemudian, rambut masih sedikit berantakan, mengenakan kaos putih dan celana training. “Pagi, Mama. Mama terlihat … sangat bersemangat hari ini.” Mama Ayara tersenyum lebar. “Tentu saja! Anakku yang sulung akhirnya kembali ke tanah air setelah empat tahun jadi warga kehormatan Swiss!” Ezra terkekeh dan langsung mencium pipi ibunya. “I missed you too, Ma.” Dari ujung meja makan, Rex menenggak susu langsung dari botol. “Iya iya, drama. Baru juga dua hari pulang udah kayak balik dari perang.” Axel duduk di seberangnya, memutar sendok di dalam semangkuk sereal. “Eh, yang bikin heboh tuh bukan bang Ezra-nya. Tapi fakta bahwa bang Ezra akan satu proyek bareng si cantik.” Ezra langsung menoleh tajam. “Dari mana kalian tahu?” Rex mengangkat alis. “Please. Seluruh pengusaha di Jakarta dan satu kota juga udah tahu. Bahkan asisten rumah tangga kita bilang ‘Wah, akhirnya mas Ezra ketemu mbak Cantik lagi, semoga enggak berantem terus.’” Ayara ikut tertawa. “Kamu harusnya lihat reaksi Cantik kalau tahu kamu yang jadi partnernya. Muka anak itu pasti berubah jadi firewall.” Ezra menyandarkan diri di kursi sambil mengelus wajahnya. “Terima kasih untuk sarapan dan tekanan darah tinggi gratisnya.” Papa Nico muncul dari balik koridor, mengenakan setelan jas abu muda, membawa tablet. Ia hanya melirik semua kekacauan itu sebentar sebelum duduk tenang di ujung meja. “Jadi,” katanya sambil menyesap kopi, “how’s the first day? Berapa kali kalian nyindir satu sama lain?” Ezra menyipit. “Tiga kali aku nyindir. Dua kali dia nyolot balik. Satu kali aku hampir kena tatapan laser yang bikin aku ngerasa kayak bocah lima tahun.” Rex bersiul. “Cepet banget upgrade-nya. Dulu cuma dilempar es krim, sekarang dilempar ego.” “Dan presentasi lo jelek, ya?” tanya Axel polos. “Soalnya Cantik Maverick itu jenius. Jadi pasti lo keliatan kayak anak magang.” Ezra melotot. “Excuse me, gue lulusan terbaik dari Lausanne.” “Dan lulusan terbaik di sini juga bisa salah nyebut regulasi cross-licensing jadi cross-dressing di depan tamu investor,” sahut Rex, membuat mama Ayara tertawa terpingkal. Papa Nico tak bisa menahan senyum. “Kamu yang minta ambil proyek ini, Ezra. Jadi kamu yang harus bikin ini berhasil. Termasuk hubunganmu sama Cantik.” Ezra mengangguk, meski dengan mulut mengunyah waffle. “I know. I’m ready.” Rex menyeringai. “Ready to be rejected again?” Axel menimpali, “Or ready to be ghosted for the 81st time?” Ezra meletakkan garpu. “Kalian berdua lupa ya siapa yang paling berkuasa soal pembagian kamar, N*****x password, dan akses Wi-Fi rumah?” Rex dan Axel langsung bungkam. Ayara tersenyum penuh kebanggaan. “Aduh, senangnya lihat tiga anak Mama ngumpul lengkap begini. Kayak keluarga drama Korea, tapi versi lebih ganteng.” Ezra menatap ibunya, lalu menoleh ke adik-adiknya. “Yah, kalau kita ini drama Korea, berarti kalian berdua adalah pemeran figuran yang dibunuh di episode satu.” Rex dan Axel langsung lempar roti ke arah Ezra. Dan tawa pun pecah di meja makan keluarga Lazuardy pagi itu. *** Ezra melangkah ringan melewati lobby, dia melihat mobil Cantika sudah terparkir di sana jadi gadis itu pasti sudah datang. Dari dulu Cantika selalu perfeksionis, dia tidak pernah terlambat. Sampai di lantai tujuh belas, langkah Ezra berhenti tepat di sebrang ruangan Cantika yang dikelilingi dinding kaca. Bibirnya tersenyum dan matanya menatap teduh gadis cantik yang belum pernah bisa dia lupakan sejak usia sembilan tahun. “Pagi, Pak …,” sapa Andi sekretarisnya. “Eh … Pagi, Ndi.” Ezra mengerjap, dia tampak terkejut. “Mau sarapan sehat atau omelannya bu Cantika, Pak?” Andi berkelakar membuat Ezra terkekeh. “Sarapan sehat dulu lah, menyiapkan mental untuk nanti siang,” balas Ezra sambil melanjutkan langkah menuju ruangannya diikuti Andi.Keesokan paginya, di saat sinar matahari menyusup lembut dari sela tirai kamar rawat dan aroma antiseptik masih samar memenuhi ruangan—Selena masih terlelap dengan wajah tenang, pipinya sudah tidak sepucat kemarin. Cantika sudah bangun, duduk di kursi samping ranjang pasien. Selama menunggui Selena—dia nyaris tidak bisa tidur dengan lelap. Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter masuk bersama dua perawat. Ezra dan Cantika segera berdiri, menyambut dengan tatapan penuh cemas. “Pagi, Pak … Bu,” sapa dokter sambil tersenyum tipis. “Saya sudah lihat hasil pemeriksaan terakhir Selena. Semua tanda vitalnya stabil, hasil tes darah juga normal. Jadi … Selena boleh pulang hari ini. Tinggal dipantau pemulihannya di rumah.” Seakan beban besar runtuh dari bahu, Ezra langsung menunduk, mengembuskan napas lega begitu juga dengan Cantika yang meski tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Jadi … Selena benar-benar sudah boleh pulang, Dok?” suaranya bergetar. Dokter
Selena akhirnya terlelap dengan tenang setelah minum obat, napas kecilnya teratur, sesekali jemarinya bergerak seolah meraih mimpi yang indah. Seketika ruang rawat VVIP itu mendadak hening, hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan dan detak jam dinding. Ezra yang duduk di kursi samping ranjang Selena, memandang putri kecilnya lama lalu bangkit. “Aku ke kamar mandi sebentar, mau mandi sama ganti baju,” ujarnya singkat. Cantika mengangguk lantas bangkit dari sofa, tanpa menatap Ezra—dia duduk menggantikan suaminya di kursi samping ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi. Sunyi menyelimuti kembali ruangan itu. Cantika menoleh sekilas ke arah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, ponsel Ezra tergeletak begitu saja—layarnya masih menyala samar. Refleks Cantika bangkit dan berjalan ke sana, dia melihat notifikasi yang baru masuk di ponsel Ezra. Seketika dada Cantika mengeras. Nama itu. Elara Yunita. Bibirnya mene
Gedung LZ Corp berdiri megah di bawah langit pagi yang mendung. Ezra melangkah masuk dengan langkah tergesa, dasi miring sedikit karena tadi pagi ia lebih sibuk memastikan Cantika mau makan ketimbang merapikan dirinya sendiri. Beberapa staf menyapanya dengan senyum sopan, tapi Ezra hanya mengangguk cepat. “Pagi Pak,” sapa Andi sang sekretaris yang beberapa hari terakhir sibuk mengerjakan sebagian tugas Ezra. “Pagi.” Ezra menyahut sambil melangkah cepat ke ruangannya. Di sana, tumpukan dokumen dan MacBook sudah menunggu. Andi yang mengikuti di belakang membuka iPadnya. “Pak, hari ini ada dua meeting besar yang harus Bapak hadiri … satu dengan investor asing via Zoom, satu lagi dengan tim proyek pembangunan resort di Lombok.” “Oke ….” Ezra duduk di kursi kebesarannya sambil membaca data di layar MacBook. “Pak Ezra, ini proposal revisi dari tim marketing. Harus dicek hari ini,” ujar Andi, dia meletakkan map biru di atas meja. “Aku cek setelah meeting,” jawab Ezra
Langkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi. “Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifika
Ruangan rawat VVIP itu kembali hening setelah dokter meninggalkan mereka dengan kabar kecil yang melegakan. Selena sudah mulai merespons lebih baik, meski tetap harus diawasi ketat. Pandangan Cantika masih terpusat pada wajah mungil sang putri. Matanya masih sembab, tetapi setiap gerakan tangannya penuh kelembutan—membetulkan selimut, mengusap kening, lalu mengecup jemari kecil Selena. Ezra memperhatikannya dari sofa. Hatinya berdesir aneh. Semua yang ia saksikan terasa asing—Cantika yang selama ini keras kepala, tiba-tiba jadi begitu teduh. Tetapi keteduhan itu seperti lapisan tipis di atas samudra yang bergejolak. Ia tahu, di balik sikap tenang itu, ada luka dalam yang masih berdarah. “Ezra.” Suara itu membuat Ezra menoleh cepat. Cantika tidak sedang menatapnya, ia tetap menunduk pada Selena, tapi nada bicaranya jelas ditujukan padanya. “Kamu pulang aja sebentar. Mandi, ganti baju, istirahat. Aku di sini jagain Selena.” Ucapannya tegas, singkat, dan tanpa nada mani
“Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr







