Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.
Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis. Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh. “Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.” Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.” Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya digerai setengah, dan wajahnya seperti biasa tanpa ekspresi, tajam, dan siap menang debat di meja makan. “Kalau ada yang mulai bahas lamaran malam ini, aku bersumpah akan keluar dari ruang makan saat itu juga,” ujarnya datar, sambil membenarkan letak jam tangannya. Mommy Jill tersenyum manis, terlalu manis malah. “Sayang, kamu jangan terlalu defensif. LZ Corp itu partner bisnis GZ Corp dari dulu. Kita cuma ingin menjaga silaturahmi, bukan acara perjodohan.” Beliau lantas menyengir mencurigakan. “Dan kebetulan aja mereka bawa Ezra, Vice PD LZ Corp yang juga mantan pengganggu masa kecilku?” Cantik melirik ibunya dengan ekspresi ‘please don’t play dumb’. Daddy Kenzo keluar dari ruang kerjanya, tubuh atletis pria paruh baya itu dibalut jas kasual biru tua. “Let’s not make this a big deal. Kita datang, makan, ngobrol … pulang. Gitu aja.” Beliau menengahi. “Kalau gitu kenapa aku pakai heels dan full glam kayak mau datang ke pesta?” tanya Cantik sinis. “Karena kamu pewaris GZ Corp,” sahut Rae cepat, “dan karena kamu Cantik. Penampilannya emang selalu overqualified buat acara apa pun.” Rae berceloteh. Cantik menoleh ke adiknya itu. “Kalau kamu jadi lawyer, aku kasihan sama terdakwanya.” “Loooh, kenapa?” Rae tidak terima. “Ngaco!” Cantik berseru sembari melengos pergi. Mommy Jill mendekati Cantik, membenarkan sedikit kerah blazernya. “Sayang, kamu enggak perlu tegang. Ezra itu… mungkin dulu menyebalkan, tapi dia sekarang sudah—” Kalimat mommy sengaja dijeda Cantika. “Mom, jangan, please,” potong Cantik. “Mommy, daddy, dan bahkan seisi rumah ini kayaknya udah tandatangan petisi agar aku pacaran sama Ezra,” ujar Cantika galak. Ragnala mengangkat tangan. “Aku belum tanda tangan. Tapi bisa dipertimbangkan kalau bang Ezra mau beliin Ferrari.” Daddy Kenzo tertawa. “Anak-anak, ingat ya. Kita ini keluarga Maverick. Tetap tenang, sopan, dan jangan bawa drama ke meja makan.” “Kalau dramanya duduk di seberang meja gimana, Dad?” tanya Cantik santai, sambil mengambil tas kecilnya. “Berarti kamu duduk dengan elegan, senyum tipis dan potong dia pakai logika, bukan pisau steak,” ujar Kenzo sambil menepuk bahu putrinya bangga. Rae bersiul. “Wah, metafora CEO detected.” Mommy Jill menggandeng lengan Cantik. “Kamu bisa, sayang. Mommy yakin.” “Mommy tahu aku kuat. Makanya kalian semua sengaja lempar aku ke kandang singa.” Cantika masih misuh- misuh. “Bukan kandang singa. Keluarga singa yang butuh satu lagi singa betina untuk jadi ratu,” kata mommy Jill sambil terkikik. Cantik menghela napas panjang. “Kalau malam ini ada yang nyenggol topik ‘masa depan’, aku akan siram wine ke wajah Ezra.” Daddy Kenzo, Rae, dan Ragnala serempak berseru, “Deal!” Dan akhirnya, keluarga Maverick pun melangkah keluar rumah dengan aura elegan, penuh persiapan dan satu rencana jelas yaitu makan malam yang damai. Tapi di balik itu semua, semua orang—kecuali Cantik—tahu satu hal pasti. Ini bukan sekadar makan malam. Ini awal pertempuran level selanjutnya. *** Nicholas Lazuardy telah memesan sebuah ruangan privat di restoran mewah terkenal di Jakarta. Lilin-lilin elegan menghiasi meja makan panjang dari kayu jati yang mengilap, wine non-alkohol dituang ke dalam gelas kristal, dan makanan disajikan dengan plating layaknya sajian hotel bintang lima. Sayangnya, di balik keanggunan tata letak, tidak ada yang tahu kalau pertempuran verbal akan segera dimulai. “Selamat datang, keluarga Maverick,” sambut mama Ayara riang begitu mereka masuk. Ia langsung memeluk mommy Jill sehangat layaknya sahabat lama yang menyimpan seratus rencana rahasia. Cantik menatap ruangan itu dengan ekspresi profesional — netral, datar, dan siap berargumentasi jika perlu. Ezra, yang sudah berdiri di sisi kanan meja, langsung berdiri lebih tegap ketika Cantik masuk, matanya mengikuti langkah gadis itu tanpa malu-malu. “Aku suka blazer kamu malam ini,” ujar Ezra sambil mendekat. Cantik menoleh dan menjawab datar, “Aku juga suka kursi ini. Sayangnya kamu duduk di sebelahnya.” Ezra terkekeh, lalu duduk. “Satu jam makan malam. Aku akan mengingat setiap menitnya.” Dan senyum menyebalkan tersungging di bibir Ezra. Setelah semua duduk, papa Nico mengangkat gelas. “Untuk malam yang baik, kerja sama yang besar, dan semoga semua bisa sepakat sebelum makanan penutup disajikan.” Semua tertawa, kecuali Cantik, yang hanya mengangkat alis sambil memotong steaknya perlahan. Beberapa menit makan malam berjalan dengan sopan, seperti naskah diplomasi yang dibacakan perlahan. Sendok garpu beradu pelan dengan piring porselen, dan suara obrolan terdengar sekilas-sekilas. Di awali dengan topik makanan, kemudian berlanjut ke cuaca, dan—tentu saja—proyek HorizonOne yang menjadi alasan jamuan ini diselenggarakan. Dan di tengah formalitas makan malam antar keluarga konglomerat, momen hangat itu jadi jeda yang membuat semua terasa manusiawi. Karena sekeras apa pun proyek yang mereka kerjakan dan setegang apa pun konflik pribadi yang terjalin, keluarga tetaplah tempat tertawa, meski di meja makan paling mahal. Namun sesaat kemudian suasana berubah saat papa Nico dan daddy Kenzo mulai membicarakan proyek HorizonOne. “GZ Corp akan memimpin dari sisi administratif dan legal,” kata daddy Kenzo dengan tenang. “Tapi kami serahkan manuver lapangan dan inovasi struktur ke LZ Corp.” “Setuju,” ujar papa Nico. “Ezra akan mengawal tim operasional kami. Saya percaya dia bisa menyatu dengan ritme Cantik.” Semua kepala menoleh ke dua orang yang duduk berdampingan di sisi tengah meja. Cantik menaruh garpu dengan elegan. “Ritme kerja saya terukur dan berbasis sistem. Bukan improvisasi emosional.” Rae sampai menahan nafas mendengar sang kakak berbicara dengan nada dingin seperti itu di depan papa mamanya Ezra yang mana adalah klien bisnis sang papa. Ezra mengambil napkin, menyeka mulutnya, lalu bicara dengan santai. “Improvisasi itu penting, terutama di fase dinamis seperti sekarang. Jangan lupa, teknologi selalu melesat lebih cepat dari peraturan.” Cantik menoleh pelan, senyumnya tipis. “Justru karena teknologi bergerak cepat, kita perlu sistem yang ketat. Atau proyek ini jadi eksperimen tanpa kendali.” “Aku lebih pilih eksperimen yang hidup daripada protokol yang mati,” balas Ezra. “Dan aku lebih pilih efisiensi daripada egomu yang dibungkus kata ‘dinamis’,” kata Cantik membalas tanpa mengubah nada. Meja makan mendadak senyap. Bahkan Rex dan Axel yang merupakan kedua adik Ezra menahan tawa mereka. Mommy Jill dan mama Ayara saling bertatapan lalu pura-pura sibuk memotong daging. Sementara daddy Kenzo dan Papa Nico justru terlihat menikmati momen ini. “Debat seperti ini yang kami rindukan,” ujar Papa Nico santai. “Keduanya keras kepala, tapi keduanya brilian.” “Ada yang bilang …,” Daddy Kenzo menggantung kalimatnya, “Jika dua orang paling keras kepala bisa belajar saling mendengar, mereka bisa membangun apapun—termasuk imperium,” sambungnya dengan senyum dikulum. Cantik menyesap minumannya. “Atau mereka bisa saling ledakkan bangunannya.” Lalu bergumam yang masih bisa di dengar oleh semua orang di ruangan itu. Ezra tersenyum lembut seraya menatap Cantik. “Kalau aku di dalam bangunan yang meledak itu, aku cuma berharap kamu yang nyelamatin.” Cantik menoleh cepat. “Aku lebih memilih ikut meledak di dalamnya dan aku pastikan kamu kena serpihannya.” Tawa pun meledak di meja makan—sebagian karena lucu, sebagian lagi karena semua tahu itu bukan gurauan. Itu sarkasme dengan metafora paling mengerikan. Malam terus berlanjut. Dan makan malam itu, meskipun indah, nyatanya adalah awal dari pertarungan panjang.Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area. Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat
Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital.Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini.“Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh.Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan.Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan a
Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang. Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.” “Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh
Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis.Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh.“Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.”Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.”Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya dig
Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu.Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku.“Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan.Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?”Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.”
Sore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya.Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?”“Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?”Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu.Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang.“Because I know you’d react like this.”“Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek