Mobil Ferarri warna silver terparkir di jalanan yang berbentuk seperti tapal kuda, tepat di belakang mobil keluarga Luna. Tanpa menunggu, Clay membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
Kemudian duduk dengan tatapan tajam ke arah depan, sedangkan Luna masih mengukur seberapa besar risiko jika dia pergi bersama pria itu. Toh, dia sama sekali tidak mengenal Clay dengan baik. Entah pria itu memiliki tempramen seperti ayahnya atau tidak? atau Clay bisa melakukan kekerasan jika sudah terpojok? atau kemungkinan terburuk yang Luna pikirkan adalah, bagaimana pria itu akan mencegahnya melakukan masalah dalam kehidupan pria itu yang nyaman dan damai. Clay menoleh ke arah Luna, dan melihat wanita itu masih menatap murung ke arah pintu rumahnya, seakan berharap seseorang muncul dan membantunya. "Ayolah, kita harus secepatnya menyelesaikan masalah ini." Ucapan Clay sama sekali tidak membuat perasaan Luna membaik. "Aku.... aku benar-benar tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Luna gugup. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Clay menatap curiga ke arah Luna, "Jangan bilang, kau takut padaku?" Luna menggeleng ragu, "Ti-tidak." "Pembohong, apa kau tahu rasa takutmu sekarang sudah terlambat, Nona?" ejek Clay seraya menyalakan mesin mobil, tanpa mengalihkan tatapan angkuhnya. Pada akhirnya, Luna mengalah dan membuka pintu mobil. Dengan perasaan waspada, Luna melirik Clay dari ekor matanya. Bayangan buruk jika Clay lepas kendali dan membunuhnya saat ini mendadak muncul. Namun, beberapa detik berlalu Clay justru mulai melajukan mobilnya menjauhi area perumahan mewah tersebut. Mobil mulai melaju, Clay menyetir layaknya orang gila. Dia terus menambah kecepatan mobilnya, membelah jalanan berbatu dan berbelok dengan tajam hingga rumput yang awalnya tertata rapi, berubah buyar. Di jalan raya, Clay nyaris tidak menginjak rem. Mengubah gigi hingga kecepatan maksimal, lalu memajukan mobilnya dengan kecepatan mematikan melewati jalanan yang asing bagi Luna. Musik di nyalakan, membuat Luna terdiam kaku. Musik rock menggetarkan seisi mobil. Luna tidak bisa melakukan apa-apa untuk menegur pria itu. Sesaat kemudian mobil Clay tiba di puncak bukit, setelah berbelok tajam untuk yang terakhir kalinya. Clay menghentikan mobil dengan mendadak, hingga membuat tubuh Luna hampir menghantam dashboard. "Baiklah," Clay membuka percakapan setelah mobil benar-benar berhenti. "Permainan macam apa yang sedang kau rencanakan?" "Aku juga berharap ini hanya permainan semata, tapi sayangnya ini merupakan kenyataan." Jawab Luna tidak terintimidasi oleh tatapan Clay. Clay mendengus, "Sedikit pun aku tidak meragukannya, aku ingin tahu mengapa kau menimpakan semua kesalahan padaku?" "Aku memahami penolakanmu menjawab di depan orang tua kita. Tapi di sini, di saat hanya ada kita berdua kau tidak perlu lagi berpura-pura bodoh, apalagi saat kita berdua sudah tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya." "Memang apa kebenarannya?" Clay menaikan satu alisnya ke atas. Luna berusaha untuk tidak terlihat gugup, "Kebenarannya adalah aku hamil, dan kau ayah dari bayi yang aku kandung." "Aku ayahnya?" Clay menunjuk dirinya sendiri, amarah pria itu sudah sampai pada puncaknya. Tapi, Luna lebih suka melihatnya marah dari pada mengemudikan mobil seperti tadi. "Kau terlihat tidak suka dengan kenyataan itu." Ujar Luna dengan tenang, dia menoleh sekilas ke arah Clay. "Marah bukanlah kata yang tepat untuk menjabarkan keadaanku sekarang! apa kau pikir aku akan terperdaya oleh tipuanmu?" bentan Clay kasar. "Tidak," jawab Luna. "Aku sudah menduga kau akan terang-terangan menyangkal pernah bertemu denganku, dan aku pikir itu akan menjadi akhir dari masalah ini." Ketenangan Luna membuat amarah Clay sedikit meredup, "Aku rasa, itulah yang seharusnya aku lakukan sejak awal." "Kita bisa mengambil jalan sendiri-sendiri, dan menjalani kehidupan kita seperti sebelumnya," Luna menarik napas dalam lalu mengeluarkannya dan kembali berbicara. "Aku pasti bisa bertahan." 'Omong kosong.' Batin Clay. Dia menganggap Luna adalah wanita yang aneh, begitu tenang bahkan nyaris dingin dan tidak peduli. "Jika kau bisa bertahan tanpa aku, katakan kenapa sejak awal kau menimbulkan keributan ini di rumahku?" tuntut Clay. "Bukan aku yang melakukannya, itu ulah ayahku." Clay tertawa sinis, "Aku rasa ayahmu memiliki ide yang bagus, sampai dia datang malam ini dan menyerbu rumahku." "Itu benar." Luna sama sekali tidak menyanggah ucapan pria itu. "Kau sama sekali tidak terlibat dalam rencananya?" tambah Clay, masih dengan tatapan sinis yang mengarah pada Luna. Sekian lama menahan, akhirnya amarah Luna terpancing juga. Dia kehilangan tekadnya untuk bersikap tenang, Luna berputar dari kursi hingga dia bertatapan langsung dengan Clay. "Sebelum kau melontarkan satu kata lagi, dan menuduhku dengan... dengan ucapan konyolmu itu, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menginginkan apa pun darimu! tidak sedikit pun!" Luna menegaskan keinginannya, tidak ada keraguan sedikit pun di wajahnya saat dia mengeluarkan kata-kata tersebut. "Kalau begitu, mengapa kau berada di sini dan memaksaku untuk bertanggung jawab?" sudut bibir Clay terangkat, pria itu melemparkan tatapan mencela pada Luna.Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s