Hening. Luna mengepalkan kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya. Dia melemparkan tatapan tak suka pada Clay.
"Aku tidak pernah memaksamu, Tuan Ganeston." Sanggah Luna geram. Clay mengabaikan kekesalan Luna, "Apa kau berharap aku akan percaya? setelah semua tuduhan yang kau lemparkan padaku." "Terserah apa katamu, mau kau percaya atau tidak itu urusanmu." Tegas Luna, dia kembali menatap ke arah depan di mana jalanan lurus terbentang. "Aku tidak menginginkan apa pun, kecuali kau membiarkan aku sendirian." "Kalau begitu mengapa kau datang?" Saat Luna masih diam, Clay kembali mendesaknya. "Katakan!" Dengan keras kepala, Luna tetap memilih diam. Dia sama sekali tidak menginginkan simpati, uang, atau pun nama yang kini melekat padanya. Yang dia inginkan hanya pagi segera tiba, agar dia bisa pergi dari sini. Clay merasa marah atas tindakan keras kepala Luna dan sikap ketidakpedulian wanita itu, Clay mengangkat tangan dan menjatuhkannya di bahu Luna. Dia menekan bahu Luna dengan kasar. "Dengar, Nona. Aku tidak..." Luna menepis tangan Clay dari bahunya, dia mencoba membebaskan diri dari cengkeraman pria itu. "Aku punya nama, dan namaku Luna." "Aku sudah tahu siapa namamu." "Butuh waktu bagimu untuk mengingatnya, iya kan?" tanya Luna mengejek. Clay mendesis marah, "Apa maksud ucapanmu itu?" "Lepaskan bahuku, Tuan Ganeston yang terhormat. Kau menyakitiku!" Clay menjauhkan tangannya, tapi suara pria itu tetap tajam dan ketus. "Ah, aku paham. Kau merasa sakit hati karena aku tidak langsung mengenalimu, iya kan?" Luna tidak memberikan jawaban, tapi dia merasakan kedua pipinya panas. Jika bukan dalam kegelapan, sudah bisa di pastikan pipi Luna saat ini pasti merona. "Apa aku merasakan kontradiksi saat ini? sejujurnya kau ingin aku mengenalmu atau tidak? jawablah yang mana?" desak Clay tak sabar. "Aku ulangi sekali lagi, aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali aku di antar pulang." Tegas Luna. "Jika aku mengantarmu pulang, artinya aku sudah puas dengan jawaban darimu yang membawa ancaman padaku," Clay menyisir kasar rambutnya. "Dan, sekarang aku sama sekali belum puas dengan jawabanmu." "Lantas, jawaban seperti apa yang kau inginkan?" tanya Luna jengah. "Kedatanganmu ke rumahku sudah menjadi ancaman, sekarang langsung saja pada intinya apa yang kau inginkan sebagai bayaran... itu juga kalau kau memang benar hamil." Luna tidak percaya, jika saat ini pria di sampingnya sedang meragukan kehamilannya. "Aku benar-benar hamil, kau tidak perlu meragukannya." Sahut Luna, dia tidak tahu harus berkata apa lagi semua kejadian hari ini sudah melelahkan baginya. "Oh, aku tidak bermaksud begitu," tegas Clay. "Aku hanya ingin memastikan bahwa bayi itu bukan anakku." Spontan Luna menoleh, dia membuka sedikit bibirnya lalu tertawa sinis. "Apa kau ingin mengatakan bahwa kau benar-benar tidak ingat, pernah berhubungan seksual denganku pada tanggal dua bulan Juli?" Clay terdiam, hal itu membuat Luna kembali bicara dengan nada menyindir. "Kau tentu sadar aku sengaja tidak menyebutnya dengan bercinta, seperti yang di lakukan orang bodoh lain di luar sana." Kegelapan menyembunyikan ekspresi Clay yang rumit, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan nada angkuh dari suaranya. "Tentu saja aku ingat, memang apa yang bisa di buktikan dari hal itu? bisa saja kau berkencan dengan lusinan pria lain lalu tidur dengan mereka." Luna sudah menduga hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Tapi, dia tidak menyangka akan semarah ini mendengar ucapan Clay yang merendahkannya. Kemarahan yang sudah dia pendam kini meledak, tidak peduli seberapa besar dia berusaha menahannya. "Berani sekali kau berkata seperti itu, padahal kau tahu dengan jelas bahwa semua tuduhan mu sama sekali tidak benar." Sentak Luna, netranya berkilat tajam. "Siapa yang sekarang terdengar marah? wanita sepertimu harus siap untuk di ragukan perkataannya. Toh, tidak ada cara untuk membuktikan bahwa aku benar ayah dari bayi yang kau kandung." "Tidak ada yang perlu di buktikan, jika aku pertama kali melakukannya denganmu!" Luna menjawab setelah berhasil mengendalikan emosinya. Dia bertanya-tanya sendiri, mengapa dia harus bersusah payah membuang tenaga hanya untuk berdebat dengan Clay. Tanpa peringatan, lampu di atas kepala mereka menyala. Akibatnya, Luna bisa dengan jelas melihat wajah Clay di sampingnya yang seakan baru saja menyiramkan pada tubuhnya. "Apa!" Seru Clay benar-benar tercengang. "Matikan lampunya!" perintah Luna, dia memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. "Tidak akan. Sekarang tatap aku." Nada suara Clay berubah, namun hal itulah yang membuat Luna semakin sulit untuk menatap pria tersebut. Pemandangan di luar jendela mobil sudah gelap gulita, namun Luna masih mengamatinya seakan ada sebuah jawaban di sela-sela gelapnya malam. Tiba-tiba tangan Clay memegang pipinya, Clay memaksanya untuk menoleh pada pria itu. Luna mendelik pada wajah Clay yang terkejut, seolah dia membenci semua bagian yang ada di sana, akan tetapi Clay hanya menggertakan gigi karena faktanya tidak seperti itu. "Apa katamu?" netra Clay terus menatap Luna dengan tajam. Luna bimbang antara harapan agar bisa mencegah Clay mengorek keterangan darinya, dan kekuatan yang sama besar memintanya agar membiarkan Clay mengetahui segalanya. Lagi pula, Clay merupakan ayah dari bayi yang di kandungnya. Clay menatap wajah Luna yang menjaga jarak, dia ingin menyangkal kata-kata Luna, tapi tidak bisa. Clay mencoba untuk mengingat kejadian pada malam itu dengan lebih jelas, tapi malam itu mereka berdua terlalu banyak minum anggur hingga Clay benar-benar tidak ingat detailnya.Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s