Hening sejenak, Luna awalnya sudah tidak ingin berdebat dengan pria itu. Sangat melelahkan untuknya beradu argumen dengan Clay, tapi komentar pedas Clay berhasil membuat amarah Luna tidak lagi terbendung.
Dengan gerakan cepat, dia membalikan tubuhnya lalu memberikan pukulan keras di tengah tulang dada Clay. Akibat tidak waspada, Clay terkesiap dan terhuyung ke belakang. "Aduh, itu sakit, sialan!" "Wow, yang benar saja! memuakan sekali bicara denganmu, kau sendiri yang pikun dan melupakan kejadian itu. Bisa-bisanya sekarang kau menuduhku berbohong? dasar kau bandot egois!" Sambil mengusap dadanya yang sakit, Clay bergumam. "Apa kau selalu seperti ini?" Luna mengedikan kedua bahunya, "Aku tak tak tahu. Ini pertama kalinya aku memukul pria. Bukankah kau sudah terbiasa dengan pukulan kecil seperti itu, ketika pacarmu hamil? atau bagaimana reaksi mereka?" Dengan hati-hati Clay menjaga jarak dengan Luna, dia tidak ingin mendapat pukulan untuk yang kedua. "Bagaimana jika sekarang kita berhenti saling menghina, oke? lupakan saja tentang sejarah malam panas kita, dan hadapi fakta bahwa kita melakukan kencan buta." "Kau yang mulai duluan!" Clay mengangguk, "Ya, aku yang mulai. Jadi... sekarang bisakah kita diskusi? malam itu kita berdua sama-sama minum alkohol terlalu banyak, kau bilang kau masih perawan tapi di sisi lain kau tidak bisa membuktikan bahwa anak yang kau kandung adalah anakku." "Tanggal bisa menjadi bukti. Menurut perkiraan, bayi ini akan lahir pada bulan april tanggal empat." Luna menarik napas kasar kemudian membuangnya melalui hidung. "Hanya itu bukti yang aku miliki untuk menegaskan bahwa kaulah ayahnya." "Maafkan aku jika aku keterlaluan, tapi karena kau bilang tidak menginginkan apa-apa dariku, mengapa sekarang kau berusaha begitu keras untuk meyakinkan aku?" tanya Clay di selimuti kebingungan. "Aku hanya.... aku... awalnya aku tidak ada niat untuk meyakinkanmu, sampai kau mengatakan jika mungkin saja aku hamil dengan pria lain. Aku melakukannya hanya untuk membela diri, tidak lebih dari itu." Sesaat Luna tersadar bahwa semakin lama dia terdengar semakin memohon untuk di akui, akhirnya Luma bergumam, "Sial, mengapa aku harus menyia-nyiakan napas untuk berdebat denganmu!" Luna kembali berbalik ke arah jalanan, meninggalkan Clay dengan suara langkah kakinya yang semakin jauh. Kali ini, Clay membiarkan Luna. Dia berdiri di sana dalam kegelapan dengan satu tangan di masukan ke dalam saku celananya. Dia berpikir jika Luna merupakan wanita yang paling mengesalkan yang pernah dia temui, membuatnya frustasi dalam hitungan detik. Terlebih saat dia teringat bahwa dia telah bercinta dengan wanita itu! kemudian, dengan senyum pedih, Clay mengoreksi ucapannya sendiri. Mengubah kata bercinta menjadi berhubungan badan, dengan wanita itu. Clay mendengarkan langkah Luna yang semakin jauh sambil berpikir, dia ingin mengucapkan kata selamat tinggal pada wanita menyebalkan itu. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa membiarkan Luna pergi begitu saja di tengah malam begini. "Luna! berhenti, jangan bodoh kau bisa jatuh jika berjalan seperti ini!" bujuk Clay. Hal itu membuat ego Luna lebih terluka, saat dia terus menyusuri jalanan berbatu tanpa merespon ucapan Clay. "Berhenti, Luna. Kita hanya berjarak dua mil dari rumahku, dan hanya tuhan yang tahu seberapa jauh rumahmu dari tempat ini. Cepat kembali ke sini." Seru Clay lagi. Malam yang sunyi menggemakan suara Luna. "Terserah padamu, Clay Ganeston!" Clay mengumpat, dia masuk kembali ke dalam mobil, memutar kunci sangat keras hingga nyaris membuat kunci itu patah. Kemudian, lampu sorot menyala, berbalik dan mobil miliknya melaju menuruni bukit, mengikuti Luna yang masih melanjutkan jalan kakinya. Clay melewati Luna hingga menyebarkan debu dan batu kerikil, sekitar enam puluh kaki di depan Luna, di bawah kaki bukit tempat mereka kini berada, Clay menghentikan mobilnya. Dia membiarkan lampu sorot tetap menyala, di ikuti beberapa lampu interior yang menyala saat Clay keluar dari mobilnya. Dia berdiri di depan pintu sambil menopangkan siku pada bagian atas pintu, dan berdiri menunggu Luna. Dia yakin, wanita itu akan mengabaikannya lagi, tapi Clay tidak akan membiarkannya. Saat Luna tiba di depannya, Clay merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi langkah wanita tersebut, "Masuk, dasar kau wanita keras kepala," ujar Clay. "Aku tidak akan meninggalkan mu di sini, tidak peduli seberapa besar aku tidak menyukaimu." Cahaya dari lampu mobil menerangi wajah Luna yang merah padam, saat wanita itu menggigit bibir bagian dalam dan mengangkat sebelah alisnya meremehkan Clay. "Aku pasti sudah tidak waras sampai mau datang ke rumahmu. Seharusnya, aku sadar tidak ada gunanya melakukan semua ini." "Kalau begitu, kenapa kau tetap melakukannya?" desak Clay, dia memegangi lengan Luna dengan jarak yang cukup jauh hingga wanita itu tidak mungkin bisa memukulnya lagi. Luna menatap lekat netra abu-abu milik Clay, "Karena... aku pikir orang tuamu tidak pantas mendapatkan perlakuan kasar dari ayahku. Aku benar-benar berpikir jika aku ikut, aku bisa menghindarkan orang tuamu dari ketidaknyamanan yang tidak pantas mereka terima." Sudut bibir Clay terangkat, membentuk seringai. "Kau pikir aku bisa mempercayainya?" "Aku tidak peduli mau kau percaya atau tidak, sekarang lepaskan tanganku, Clay Ganeston!" Luna menarik paksa tangannya, dia berbalik dengan cepat. Luna menghela napas kasar, lalu kembali bicara. "Kau sudah lihat sendiri sikap ayahku, tidak butuh waktu lama untuk menebak apa yang dia inginkan. Ayahku orang yang sudah kecanduan alkohol, dia kejam, perusak, dan pemalas. Dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Clay terkejut sebab Luna membuka aib ayahnya di depannya, "Mengapa kau mengatakan itu padaku?" "Karena, ayahku menargetkan keluargamu untuk meraup keuntungan selama sisa hidupnya." Jawab Luna lirih.Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s