"Kau menyakitiku lagi," ujar Luna dengan suara pelan, membuat Clay menyadari jika kini dia sudah meremas pipi Luna terlalu kuat.
Clay menurunkan tangannya, dia terus mengamati wanita di sampingnya. Luna memiliki wajah yang tidak mudah untuk di lupakan, hidung mancung dan lurus, pipi tinggi dengan rona kemerahan, mata biru yang berusaha tidak berkedip yang saat ini sedang menatapnya secara langsung. Bibir Luna saat ini tampak cemberut, tapi dia ingat saat bibir itu menyunggingkan senyum. Rambut Luna panjang sepinggang, dengan warna hitam kelam. Dan, ada beberapa helai yang jatuh di atas kening. Luna memiliki tubuh yang ramping dan mungil, meskipun Clay tidak bisa mengingatnya dengan jelas, dia bisa menduga jika tubuh Luna sesuai dengan tubuh wanita idamannya. Berkaki panjang, pinggul yang berlekuk, dan bagian dadanya tidak terlalu besar. Seperti Venus, pikir Clay. Setelah merasa lebih tenang dengan memikirkan Venus, Clay kembali lagi mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi di antara dirinya dan Luna. "Aku..." suara Luna kembali terdengar meski lirih. "Bisakah kau matikan lampunya?" Luna tidak memiliki pilihan, selain membiarkan Clay mengamati dirinya seperti cetakan mesin pendeteksi kebohongan. Dia masih bisa menerimanya, sampai dia memalingkan wajah dan bertanya. "Kau sama sekali tidak mengingatnya, ya?" "Aku hanya ingat sebagian, sisanya aku tidak ingat." Jawab Clay jujur. "Kau memberiku kesan sebagai pria yang berpengalaman, pria yang tahu bagaimana caranya mengenali gadis yang masih perawan." Cetus Luna. "Jika kau bertanya seberapa sering aku melakukannya, itu bukan urusanmu." "Aku setuju, itu memang bukan urusanku... tapi aku tidak bertanya. Aku hanya membela diri, kaulah yang sepertinya bertanya seberapa sering aku melakukannya." Luna memilin jemarinya sendiri, untuk mengurangi rasa gugup. "Tidak ada satu pun orang yang ingin di sebut sebagai pengacau, aku hanya ingin menegaskan bahwa pengalaman hari itu adalah yang pertama bagiku, aku pikir kau sudah mengetahuinya." "Seperti yang sudah aku katakan, ingatanku kabur. Aku rasa aku mempercayaimu, tapi bisa saja ada pria lain setelah aku." Sahut Clay masih saja mencurigai Luna. Komentar Clay kembali menyulut api kemarahan dalam diri Luna, "Aku tidak mau duduk di sini lebih lama, dan mendengarkan ucapanmu yang terus menghinaku." Dia membuka pintu mobil dan keluar. Merasa tak enak, Clay segera menyusul Luna keluar dari mobil. Clay berada tidak jauh di belakang wanita itu, tapi dia terus berjalan di tengah kegelapan tanpa mempedulikan Clay. Sepatunya menginjak kerikil dan beberapa kali dia hampir jatuh. "Kembali ke sini, Luna!" teriak Clay dalam kegelapan. "Pergilah ke neraka, Clay!" balas Luna yang sudah menghilang di tengah kegelapan. "Kau pikir, kau mau ke mana hah?" Namun, Luna terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Dia sesekali menggerutu, dan memaki Clay di setiap gerakan kakinya. Clay terpaksa berlari mengejar bayangan gelap Luna, dia merasa lebih marah dari yang bisa dia katakan. Ketegasan Luna, atas kata-kata saat dia bilang tidak membutuhkan apa-apa darinya masih saja mengganjal dalam pikirannya. Luna merasakan tangannya di tarik dan membuat tubuhnya memutar dalam kegelapan. "Sialan, kembali ke mobil, Luna!" perintah Clay tegas. "Untuk apa?" seru Luna, dia mendongak menatap lurus bola mata Clay. "Apa aku harus duduk diam dan mendengarkan kau berbicara tentangku dan menyamakannya dengan pelacur? aku sudah sering menerima perlakuan seperti itu dari ayahku dan aku tidak ingin menerimanya lagi darimu." "Baiklah aku minta maaf, tapi apa yang kau harapkan dari pria jika berada di posisi sulit seperti ini." Luna menggeleng ragu, "Aku tidak tahu, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Aku pikir pria yang suka bersenang-senang sepertimu, pasti tahu yang sebenarnya dan apa yang harus di lakukan tanpa bertanya padaku." "Aku bukanlah pria yang suka bersenang-senang dengan wanita secara acak, jadi hentikan tuduhan mu sekarang." Tegas Clay menahan kekesalannya. Sikap Luna yang keras kepala hampir membuatnya ingin meninggalkan wanita itu di sana, tapi Clay tidak sekejam itu dia tidak di ajarkan oleh orang tuanya untuk bersikap keterlaluan pada wanita. Meski begitu, Clay tidak peduli jika ucapannya sudah menusuk dan melukai perasaan Luna. "Baiklah, jadi sekarang kita seri." Ucap Luna lelah. Mereka berdiri dalam kegelapan, Luna bertanya-tanya sendiri apakah mungkin Clay berpengalaman, sama seperti yang dia pikirkan malam itu. Tapi, jika Clay sudah berpengalaman mengapa dia tidak bisa mengenali fakta bahwa dia masih perawan. Sedangkan Clay sendiri masih bertanya-tanya, apakah seorang wanita seusia Luna masih perawan sebelum mereka berhubungan. Tebakannya, Luna baru berusia sekitar dua puluh tahun. Hanya saja di jaman sekarang, cukup sulit menemukan wanita yang masih perawan pada usia seperti itu, belum lagi maraknya dunia malam yang sesat sering kali menyeret para remaja untuk mengurangi beban hidup dan menghancurkan masa depan mereka. Pada akhirnya Clay menyerah untuk mengingat kembali malam panas mereka, dia berkata kembali dengan nada menyindir pada Luna. "Mungkin saja kau sudah berbohong, aku tidak akan tahu perbedaannya, kan."Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s