Wajah Clay berubah pias, bukan hanya terkejut mendengar pengakuan Luna. Dia juga tak menyangka jika wanita itu akan berkata demikian tentang ayahnya, kebencian terasa begitu jelas saat Luna mengatakan tentang ayahnya.
"Lantas, apa yang di inginkan ayahmu dari keluargaku?" Clay kembali bertanya. Luna memikirkannya sejenak, dia mempertimbangkan pada akhirnya dia memilih untuk bicara terus terang. "Uang." Luna bisa melihat mimik wajah Clay tampak syok, bibirnya sedikit terbuka dan kedua bola matanya melotot seakan dia sedang memastikan pendengaran. Clay mengamati Luna melalui cahaya remang-remang yang berasal dari mobil, lalu berseru, "Kau mengakuinya?" "Tentu saja aku mengakuinya. Sangat bodoh jika aku tidak bisa melihat apa yang ayahku inginkan. Dia mencium uang dari situasi ini, selama ini dia tidak pernah merasa cukup dengan uang." Luna menjeda sejenak ucapannya, dia menghela napas panjang dan kembali melanjutkan ucapannya. "Dia berpikir bisa memanfaatkan situasi saat ini untuk membuat hidupnya lebih enak, tidak sedikit pun aku berusaha membodohi diriku sendiri dengan berpikir positif jika dia peduli pada kesejahteraanku. Dia sama sekali tidak peduli dengan diriku atau hilangnya keperawanan putrinya, dalam kepalanya hanya berisi dirinya sendiri bagaimana dia akan hidup dan bagaimana dia akan memenuhi hasrat serakahnya. Dia sangat yakin bahwa kau akan menikahi diriku, dan dia akan menjadi kaya raya dengan memeras orang tuamu." "Dan, kau tidak pernah berpikir aku akan menikahimu?" tanya Clay. Luna menatap lekat Clay, dia mengangguk tanpa ada keraguan di wajahnya. "Ya, aku sungguh tidak berharap apapun darimu. Bahkan jika itu uangmu, aku tidak mau." "Sepupumu, Gabriela, dia yang mengenalkan kita. Dia kekasih Kael, dan Kael adalah teman lamaku, mudah sekali untukmu mengetahui siapa aku sebenarnya." Luna mengangkat tangannya dengan marah dan berjalan mondar-mandir di hadapan Clay. "Tentu saja! pertama aku akan mengecek finansial mu, lalu aku sengaja membuat kau terjebak denganku pada malam itu. Aku membuatmu menghamiliku, lalu aku membuat kisah dramatis untuk membuat keluargaku merasa kasihan, kemudian aku mengirim ayahku untuk meminta tanggung jawab darimu." Luna mendengus dengan muak, "Jangan terlalu bangga dengan dirimu sendiri, Clay. Mungkin kau akan terkejut mengetahui tidak semua gadis yang hamil ingin menikahi pria yang menghamilinya. Aku membuat kesalahan pada bulan Juli lalu, tapi bukan berarti aku akan membuat kesalahan lain dengan memaksamu untuk bertanggung jawab dan menikahiku." "Kalau kau memang tidak terlibat, katakan padaku bagaimana ayahmu bisa tahu dan pada siapa dia harus menuntut tanggung jawab. Seseorang sudah jelas mengarahkan pria itu padaku!" seru Clay masih saja di penuhi kecurigaan. Luna terkekeh sinis, "Aku tidak mengarahkannya padamu." "Lalu, bagaimana dia bisa tahu bahwa akulah orang yang harus dia kejar?" Tiba-tiba, Luna mengatupkan bibir, dia berbalik memunggungi Clay, dan berjalan menuju mobil sambil berucap, "Sepertinya, akan lebih baik kalau aku menumpang mobilmu untuk pulang." Luna membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. "Jangan menghindari pertanyaanku," tuntut Clay. "Jelaskan bagaimana dia bisa tahu." "Aku sama sekali tidak mengatakan namamu pada ayahku, aku menolak mengatakan apapun padanya." Jawab Luna tegas. Clay berdecih sinis, "Aku tidak percaya padamu. Lantas, bagaimana ayahmu bisa tahu kalau kau hamil denganku?" Clay mengamati Luna yang menggigit bibir bawahnya, dan enggan menatap ke arahnya. Luna berusaha mencegah mulutnya untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada Clay, namun dia bukanlah wanita licik seperti yang Clay pikirkan, dan dia marah saat Clay menuduhnya seperti itu. "Bagaimana?" desak Clay lagi. Luna menatap lurus ke arah dashboard mobil, pada akhirnya dia menyerah. "Aku menyimpan sebuah buku harian." Suara Luna lebih pelan dan kelopak matanya bergetar sedikit. "Kau... apa?" "Kau mendengar ku," ucap Luna tanpa menatap Clay. "Iya, aku mendengarmu. Tapi, aku tidak sepenuhnya mengerti apa maksudmu. Ayahmu menemukan buku harianmu?" Clay mulai menyadari betapa brengseknya sikap ayah Luna. "Lupakan saja, aku sudah mengatakan banyak hal lebih dari yang aku inginkan." "Ada banyak yang harus kau katakan. Aku pantas mengetahui kebenarannya, jika benar bayi yang kau kandung merupakan anakku!" tegas Clay tak terbantahkan. "Sekarang, katakan apa ayahmu menemukan buku harianmu?" Luna menggeleng pelan, "Tidak persis seperti itu." "Lalu, apa?" Luna menghela napas, menyandarkan kepalanya di kursi penumpang meski pandangannya masih mengarah pada kaca jendela. Dari samping, Clay melihat kelopak mata Luna terpejam perlahan, tampak seperti menyerah. Suara Luna sudah tidak terdengar marah seperti tadi. "Dengar, semua ini tidak ada hubungannya denganmu. Lupakan saja, orang seperti ayahku dan apa yang dia lakukan tidak seharusnya mengganggumu. Aku hanya ingin mencegah orang tuamu memenuhi tuntutan ayahku. Itu sebabnya aku mengikuti mereka ke rumahmu." Jelas Luna, dia masih memejamkan mata. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Luna. Katakan, apa ayahmu menemukan bukumu dan di sana tertulis namaku, benar, kan?" Luna menelan salivanya kasar, "Benar, " bisik Luna. "Bagaimana bisa ayahmu menemukan buku diarimu?" Luna menoleh, dia menatap lelah pada Clay yang menurutnya terlalu cerewet. "Astaga, Clay. Aku sudah memiliki buku diari sejak aku mulai bisa menulis, dia tahu aku menyembunyikan buku itu di suatu tempat. Dia tidak sekedar menemukannya, tapi dia mengobrak abrik kamarku sampai akhirnya dia menemukan buku itu. Kau bilang ingin tahu yang sebenarnya, dan itulah kejadian sebenarnya." Ada sesuatu yang membuat jantung Clay teremas. Suaranya mulai melembut, "Apa tidak ada satu pun orang yang berusaha menghentikannya?" "Saat itu aku tidak ada di rumah, dan ibuku tidak ada niat untuk menghentikannya, sekali pun dia bisa dia lebih memilih diam dan menjadi penonton." Luna merasa dadanya sesak. "Ibuku takut pada ayahku, kau tidak tahu seperti apa ayahku. Tidak ada orang yang bisa menghentikannya, jika dia sudah menginginkan sesuatu. Dia pria tidak waras." Clay masuk ke dalam mobil, dan menutup pintunya. Dia duduk diam, mencoba memikirkan segalanya, kemudian dia memegangi stir dengan kedua tangannya. "Apa yang tertulis di buku diarimu?" tanya Clay ragu. "Semuanya." Jawab Luna acuh.Luna termenung di kamarnya, percakapan dengan Mrs. Bonny masih terngiang-ngiang di kepalanya, selama ini dia sudah kabur dan terus mencoba menghindari Clay. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Luna bingung. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Luna menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia terus berusaha menjauh, tapi sekarang sepertinya Clay sendiri yang menghubunginya. Apakah ini pertanda ia tak bisa lagi menghindar? Dengan ragu, Luna menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo?" Suara di seberang terdengar rendah, tapi jelas. "Luna, kita perlu bicara. Aku ingin bertemu denganmu." Luna menelan ludah, hatinya berdebar. "Tentang apa?" "Aku janji, ini tidak akan lama. Temui aku di kafe dekat taman jam tujuh malam," ucap Clay, nadanya sedikit memohon. Luna terdiam. Ia bisa saja menolak, tapi ia juga tahu bahwa menghindar selamanya bukanlah solusi. Mrs. Bonny b
"Pada siapa?"Ekspresi bingung membuat alis Luna berkerut. "Pada siapa?" ulangnya dengan suara ragu. Namun, Mrs. Bonny hanya duduk dengan sabar, menunggu Luna memberikan jawaban."Pada... padaku?" tanya Luna dengan suara kecil yang dipenuhi keraguan."Dan?"Luna menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat untuk diucapkan. "Dan pada ayah dari bayiku.""Ada lagi yang lain?""Memangnya siapa lagi?"Hening. Suasana berubah sunyi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Mrs. Bonny bersuara dengan nada pelan, "Bayimu?"Luna tersentak. "Bayiku?" Matanya melebar, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya. "Semua ini bukan salahku!""Tentu saja bukan," ujar Mrs. Bonny tenang. "Tapi aku pikir kau mungkin akan tetap memikirkan bayi itu. Mungkin karena kehadirannya membuatmu harus meninggalkan sekolah, atau setidaknya memperlambat langkahmu hingga kau bingung akan tujuan hidupmu."Luna menggeleng kuat. "Aku bukan orang seperti itu!"Mrs. Bonny hanya menghela napas. "Mungkin sekarang tidak, t
Luna bertanya-tanya apakah ayahnya yang telah melakukan itu. Clay memelototkan mata, memerangkap Luna sehingga ia hanya bisa melihat wajah pria itu atau sweater berwarna tembaga yang ada di depan matanya. Luna memilih untuk menatap sweater pria itu. "Lupakan saja. Ayahmu mengancamku, dan ancaman itu bisa mengakhiri karierku di bidang hukum. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikannya. Aku mendapatkan ide untuk memberikan pembalasan pada ayahmu, seperti yang juga kau inginkan. Sekarang, bisakah kita membahas alternatif yang masuk akal?" Mata Luna terpejam ia tidak mampu berpikir cukup cepat. "Dengar, aku harus pergi sekarang, sungguh. Tapi, aku akan meneleponmu malam ini. Kita bisa membicarakannya saat itu." Sesuatu mengatakan kepada Clay untuk tidak mempercayai Luna sepenuhnya, tapi ia tidak bisa terus memerangkap Luna di sana untuk selamanya. Bisa saja, ia lakukan hal yang menyebabkan Luna tetap bertahan di sana untuk sementara waktu. Ia sadar bisa dengan mudah mencari tahu di
Rambut hitam Luna bergerak ke kanan dan kiri, dia terus melangkah dengan cepat. Merasa kesal karena Luna tidak mau berhenti, Clay kembali menarik tangan wanita itu dan memaksa Luna berhenti. "Aku lelah bermain kejar-kejaran denganmu, kali ini bisakah kau berhenti?" tekan Clay. Luna menolehkan kepalanya dengan marah, dia berdiri di depan Clay sambil melotot. Terlihat Luna tidak bisa ke mana-mana lagi, selain mengikuti perintah Clay. Saat itulah, Clay melepas cengkeraman di lengan Luna setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan melarikan diri lagi. "Aku menitipkan pesan pada sepupumu agar kau bisa menghubungiku, apa kau tidak menerima pesan itu?" tanya Clay. Tapi bukannya menjawab, Luna justru mengoceh tidak jelas. "Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu secepat ini, aku pikir kampus ini cukup luas untuk kita berdua. Aku akan terus menghargaimu jika kau merahasiakan keberadaanku di kampus ini." "Baiklah, aku juga akan menghargai permintaanmu jika saja kau mau memberiku waktu
Clay mengalihkan pandangan ke arah seberang jalan untuk membebaskan mata dan pikirannya dari delusi. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mendapati dirinya mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Dia mencari wanita bersweter putih dengan rambut pirang yang tergerai di punggung. Sayangnya, wanita itu sudah pergi. Terdengar konyol memang, tapi Clay tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Luna. Pada akhirnya, Clay mengikuti kata hati dengan menerobos kerumunan orang di depannya. Hingga sesaat kemudian, netra Clay menangkap sosok wanita yang memiliki postur tubuh sama persis seperti Luna, hanya saja warna rambutnya yang berbeda. Jika itu Luna, dia berpikir tidak mungkin Luna akan mewarnai rambutnya menjadi hitam. Clay memilih mengikuti langkah wanita itu dengan jarak yang aman, agar tidak terlalu mencurigakan. Saat wanita itu sampai ke jalan raya, dia terlihat ragu-ragu untuk menyeberang. Selang beberapa detik, ketika wanita itu mulai melangkah
Kali kejadiannya sangat cepat, sehingga Clay tidak bisa melihat apa-apa. Clay keluar dari mobil setelah pulang dari restoran, tanpa melihat ke depan tiba-tiba muncul bayangan besar dari belakang bangunan megah di depannya. Lengan Clay di tarik dengan kasar, lalu di lempar ke samping mobilnya di susul tinjuan keras yang menghantam perutnya. Tidak meninggalkan bekas, tapi cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas. Tubuh Clay jatuh tersungkur ke tanah dalam posisi berlutut. Di sela-sela rasa sakit yang dia alami, Clay mendengar suara serak di depannya. "Itu dari Orlando. Dia kabur ke negara seberang." Setelah melempar surat ke arah Clay, orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan malam. *** Keesokan harinya, Ruby langsung menghubungi Luna. Dia tidak sabar untuk memberitahu sepupunya itu tentang kejadian semalam di pesta. Begitu sambungan telepon terhubung, Ruby langsung berkata dengan napas sedikit terengah. "Lun, kau harus tahu. Aku bertemu dengannya di pesta s