Pagi hari yang cerah menyambut matahari dan seolah mengusir gelapnya malam, Zora bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan untuk interview. Dia memakai baju formal yang sesuai dengan kriteria seorang karyawan kantoran.
Zora menghadap cermin memperhatikan pantulan dirinya dari atas sampai bawah, dia berpikir masih ada yang kurang dari penampilannya lalu meraih laci di sampingnya dan mangambil sebuah kacamata dan memakainya."Sempurna" gumam Zora.Setelah selesai dengan urusan penampilan, Zora berangkat keperusahaan dengan mengendarai mobil pribadinya. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke perusahaan jadi Zora berangkat lebih awal karena jam intervewnya pukul sembilan.Sesampainya didepan gedung Zora memperhatikan area sekitarnya dengan saksama lalu melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki gedung itu dan berjalan menuju resepsionis. Zora dia antar keruangan tunggu karyawan.Ada banyak orang yang melamar di perusahaan di berbagai macam posisi, tetapi berbeda dengan posisi yang Zora lamar. Karena pekerjaan sebagai pengawal membutuhkan kekuatan fisik jadi tidak banyak yang melamar."Waahhh ternyata ada perempuan juga yah." ucap seorang yang duduk di samping Zora."Apa kamu tidak salah ruangan nona? Di sini ruangan tunggu untuk karyawan pria khusus bodyguard." ungkap pria lain yang datang menghampiri dan menanyainya dengan sopan."Iya, kamu hanya seorang gadis kecil. Ada urusan apa disini?" ejek pria satunya lagi.Di ruangan itu ada 6 pria pelamar kerja di perusahaan tersebut, mereka memiliki badan kekar dan sangat tinggi, dan hal itu membuat kehadiran Zora layaknya tikus yang dikelilingi 6 kucing.Zora tidak menanggapi ucapan mereka dan hanya duduk diam, sambil meperhatikan struktur ruangan itu. Melihat itu salah satu dari mereka geram dan menegurnya."Nona, ketika diajak mengobrol anda harus menjawab supaya tidak dianggap kurang ajar." ucap salah satu pria itu."Betul, gadis kecil ini kenapa kurang ajar sekali. dia sama sekali tidak menghormati orang dewasa" sahut pria lainnya."Merepotkan sekali, inilah kenapa aku tidak suka seseorang berada di dekatku. Haruskan kubunuh mereka semua"."Hahh, tidak, tidak. Ini adalah misi yang Han berikan padaku, jadi aku harus melakukan yang terbaik supaya dia memujiku." tenggelam dalam pikirannya setelah mendengar ocehan yang menurutnya mengesalkan, Zora menggelengkan kepala dan mengalihkan pikirannya."Maafkan saya tuan-tuan, saya tidak pandai bersosialisasi." jawab Zora santai."Benarkah? Tapi kamu terlihat seperti orang yang acuh tak acuh dengan keadaan sekitarmu." balas pria disamping Zora."Saya tidak tau kenapa tuan-tuan sampai repot-repot menegur saya, jika tuan tidak suka abaikan saja saya dan juga saya berada di ruangan yang benar." ucap Zora berusaha mengakhiri percakapan yang membuatnya jengkel."Dasar gadis sombong, kamu pikir kamu siapa hah?" bentak pria itu.Hal itu semakin membuat Zora tidak mengerti kenapa orang-orang yang ada di depannya terlihat marah sampai meninggikan suaranya, hanya karena dia meminta untuk mengabaikannya, bukankah hal itu sangat mudah untuk dilakukan apalagi untuk orang dewasa seperti mereka.Ketika salah satu dari pria itu ingin angkat bicara tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan salah satu staf masuk keruangan itu dan duduk disalah satu dari tiga kursi yang ada di ruangan itu."Selamat pagi semuanya, mohon maaf karena telah membuat anda sekalian menunggu. Untuk intervewnya akan dilakukan langsung oleh pak direktur jadi mohon tunggu sebentar lagi." ucap Andika yang baru memasuki ruangan itu."Baik pak." jawab mereka serentak.Mendengar itu Zora menyipitkan matanya dan menatap tajam andika yang sedang mengotak-atik berkas, sebentar lagi dia akan bertemu orang yang menjadi targetnya kali ini dan akan segera menyusun rencana kedepan setelah melihatnya secara langsung."Kenapa pak direktur belum datang juga" guma Andika, lalu ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan itu.Sedangkan di ruangan direktur Satya sedang melamun, pikirannya melayang dan mengingat saat kemarin makan malam di rumah orang tuanya. "Pa, ada yang mau aku omongin sama papa" ucap Aryan, dan William hanya melirik tanpa mengatakan apapun.Sesaat sebelum Arya mengatakan sesuatu dia melirik adik bungsunya dan mata mereka bertemu, Aryan tersenyum menyeringai lalu mengalihkan pandanganya kearah ayahnya."Pa, ada seorang wanita yang mendatangiku dan dia mengaku sudah tidur bersama Satya. Wanita itu mengancam akan mengungkapkan hal itu kepada media kalau Satya tidak mau bertanggung jawab." ungkap Aryan."Kalau wanita itu melakukannya nama baik keluarga kita akan buruk dimata media dan akan mempengaruhi nama baik perusahaan." lanjut Aryan.Mendengar itu Satya kaget dan menatap kakaknya dengan tajam, dia mempertanyakan apa maksud dari tuduhannya. Satya tidak bisa langsung membantah karena ayahnya belum angkat bicara, dia paham betul bagaimana sifat ayahnya.William menatap putra bungsunya lekat-lekat, dan ia bertanya apakah yang dikatakan oleh kakaknya itu benar."Itu bohong pa, aku nggak dekat dengan siapapun. Aku sangat sibuk jadi tidak memiliki waktu untuk hal seperti itu." bantah Satya meyakinkan ayahnya."Wanita itu punya buktinya pa, dia nggak mungkin berani datang padaku mengatakan sesuatu tanpa bukti." tegas Aryan tak mau kehilangan kesempatan."Jadi kenapa wanita itu mendatangimu bukannya Satya?" tanya Walliam."I-itu, itu karena wanita itu takut kalau Satya menyakitinya untuk menghilangkan bukti." resah Aryan."Kalian bukan anak kecil lagi sehingga mengadukan hal yang tidak bermoral seperti itu, apa perlu aku turun tangan hanya untuk menyelesaikan masalah kalian." ujar William."Kalian urus masalah itu, dan juga aku tidak tau kalau ada yang berani mengancam Bintara Grup dengan hal remeh seperti itu. Kedepannya aku tidak ingin mendengar hal semacam itu lagi, kalian membuat selera makanku hilang." William berdiri dan melempar garpu yang ia pegang.Suara benturan antara garpu dan piring itu membuat Aryan gugup dan mengartikan perkataan ayahnya barusan itu ditujukan padanya. Dia sudah membuat ayahnya kesal dan kehilangan perhatian sang ayah."Sial, aku benar-benar tidak mengerti pemikiran pak tua itu." batin Aryan jengkel."Sayang tunggu, kamu mau kemana? kita sudah lama tidak berkumpul seperti ini, kamu tidak berniat meninggalkan kami begitu saja kan?" ucap nyonya Sofia yang bangun dan meraih tangan suaminya."Aku sudah kehilangan selera, jadi untuk apa aku disini?" ujar William tanpa berhenti terus, dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu."Sayang tunggu." Sofia menyusul suaminya dan ikut meninggalkan ruang makan."Hahaha, makan malam jadi kacau berkatmu Ar. Aku sangat berterimakasih karena kamu sangat bodoh." ejek Surya sambil tertawa, dia juga ikut pergi meninggalkan ruang makan. Karena makan malam ini tidak ada gunanya tanpa kehadiran ayahnya."Pak, pak, bangun. Waktunya untuk mewawancarai para pelamar." ucap Andika membangunkan Satya yang sedang duduk menyandarkan kepalanya.Perlahan mata Satya membuka mata, ingatannya tentang makan malam terhenti. Pandangannya yang buram butuh waktu untuk kembali jernih karena sesaat yang lalu dia seperti tertidur. Satya memperhatikan Andika yang berdiri dihadapannya, lalu melirik jam tangannya yang menunjukan pukul 08:47 AM."Ada apa?" tanya Satya sambil merapikan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan."Waktunya untuk mewawancarai para pelamar pak." jawab Andika."Oh, aku lupa. Baiklah, pergilah dulu aku akan menyusul." pinta Satya.Andika berjalan keluar, sedangkan Satya menghela nafas memperhatikan punggung Andika yang menghilang dibalik pintu. Dia merenung dan memikirkan tentang ingatannya barusan.Satya memikirkan apa yang akan kakaknya lakukan selanjutnya, kakaknya pasti akan mencari cara lain untuk mengganggunya lagi. Kegagalannya tadi malam tidak akan membuatnya jera, bagaimanapun dia harus menyiapkan sesuatu untuk menghadapi kakaknya.Ketukan pintu kembali terdengar, itu pasti Andika yang datang untuk memanggilnya lagi. Satya bangun dari kursi kebesarannya sebagai direktur dan memakai jasnya, dia harus melakukan pekerjaanya dulu saat ini.Ada 2 orang yang menunggu Satya didepan pintu ruangannya termasuk Andika, sedangkan 1 orang lainya adalah HRD yang akan menemani Satya untuk mewawancarai para pelamar di perusahaan itu.Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi
Bagaikan aliran air yang mengalir tanpa henti, waktu berlalu begitu cepat.Sudah satu bulan berlalu begitu saja, Zora bekerja dan beradaptasi dengan baik di kantor Satya. Walaupun ada beberapa orang tidak suka dan senang menjahilinya, namun dia memilih tetap diam mengabaikan dan tak membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Begitu juga Satya selama satu bulan tidak datang mencari ataupun menanyakan kabarnya. Seolah tidak pernah saling mengenal, Satya hilang tak mencarinya seperti awal saat mereka bertemu, bahkan saat mereka berpapasan dikantor Satya langsung membuang muka dengan sombongnya. 'Sebenarnya aku mengharapkan dia lebih menyukaiku sedikit lebih lama.' batin Zora. Zora berpikir ketertarikan Satya padanya hanya bersifat sementara. Yah itu memang tidak mungkin bertahan lama, mereka bertemu belum lama ini dan Satya sekarang mungkin sudah merasa bosan pikir Zora. Selama satu bulan penuh Zora tidak pernah memikirkan rencana untuk misinya, dia hanya fokus mendengarkan
'Apa aku harus ikut mengantri juga?' batin Satya sambil melirik jam tangannya, mengangkat kepalanya menatap antrian panjang yang membentang di depannya. Dengan alis berkerut, Satya memejamkan matanya dan memantapkan pikirannya yang enggan mengantri. Mau tidak mau dia harus ikut mengantri, tidak mungkin untuk menerobos antrian hanya karena dia seorang direktur. Itu akan menimbulkan masalah nantinya. Setelah mengantri selama waktu 20 menit akhirnya tiba giliran Satya dan Zora di belakangnya, Satya memperhatikan makanan yang berderetan di depannya, ditangannya sudah ada nampan berwarna perak dan bagian isi yang berbeda bentuk dengan kesan yang sederhana. 'Pantas tercium aroma yang enak, ternyata makanannya cukup enak.' batin Satya. Makanan yang berjejeran di depannya terlihat menggiurkan, Satya manatapnya satu persatu. Sayur-sayur masih terlihat segar, mulai dari ikan yang dibaluri bumbu yang melimpah sehingga aromanya tercium dari jarak jauh. ‘Ohh, yang ini terlihat enak.’ batin Sa
Ashan berjalan cepat menghampiri Zora, dengan niat ingin memarahinya. Zora tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dimata Ashan yang dari awal sudah membencinya pasti setiap tindakan kecil apapun akan dijadikan sebuah kesalahan. Ashan mengepalkan tangannya dengan keras, wajahnya merah padam menahan kesal. Zora dari awal sama sekali tidak menunjukan rasa hormat sedikitpun padanya sebagai atasan. Ashan berpikir bagaimanapun dia sebagai karyawan baru harus menyadari posisinya di perusahaan ini. "GEAA" bentak Ashan. Seketika rauangan yang berisik langsung hening, begitu suara itu mencapai ujung di setiap telinga karyawan yang ada. Suara itu seharusnya mampu membuat telinga orang yang mendengarnya merasa sakit, mungkin karyawan yang berada disana sudah terbiasa hingga tidak ada reaksi yang serius. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang akan pemimpin mereka lakukan terhadap gadis itu. Termasuk Zora, dia tidak menanggapi suara lantang yang menyebut nama samarannya itu dengan kasar. Berunt