Share

Ide Konyol

Beberapa hari berikutnya, mereka kembali bertemu. Tidak mudah bagi seorang Maya bisa lolos dari pengawal pribadinya. Pria yang seumuran dengan kakak keduanya, sudah berkerja selama dua tahun, dan bertugas mengikuti ke mana pun dirinya pergi. Hal yang semakin membuat Maya terkekang. Dia perlu mengelabui sang pengawal agar bisa kembali menemui Mulan di tempat yang mereka sepakati.

“Maaf, kamu sudah lama datang?” Maya datang dengan napas memburu. Dia bernapas lega setelah bisa sampai di sini dengan aman, tanpa mengundang kecurigaan orang rumah.

Mulan menatapnya dengan datar. “Cukup lama sampai menghabiskan tiga gelas minuman,” jawabnya dengan tatapan mengarah pada tiga gelas di depannya.  

Maya meringis. Dia ikut menatap sisa gelas kosong itu dengan rasa bersalah. Mulan terlalu jujur dan tidak suka basa-basi, cukup mampu membuat Maya merasa tidak nyaman. “Maaf, ya. Tadi aku ada sedikit kendala karena pengawalku. Ish, Bruce terlalu mengekang sam—”

“Langsung saja,” potong Mulan yang menghentikan ocehan Maya tentang pengawalnya.

Maya duduk dengan kikuk. “Baiklah. Kita langsung saja.”

“Kamu benar-benar yakin?” Mulan bertanya entah sudah keberapa kalinya. Kedua tangannya bersidekap di depan dada, menatap Maya seakan meminta sebuah keputusan final saat ini juga.

Maya mengangguk mantap. Tidak ada keraguan dalam kedua netranya yang cokelat. Maya membuka topinya, memperlihatkan penampilan barunya yang meniru gaya Mulan. Tidak perlu banyak berubah, dia hanya mengubah warna rambut saja. Selebihnya, mereka memang memiliki kemiripan yang sangat besar.

Kali ini mereka bertukar penampilan. Mulan yang memiliki surai hitam legam, sedikit mewarnai ujung rambutnya menjadi pirang. Dia juga sudah memakai gaun selutut yang sempat Maya berikan padanya. Penampilan berubah 180 derajat. Sedikit risih juga, apalagi saat bagian bawah gaunnya berkibar seperti bendera yang tertiup angina. Benar-benar merepotkan sekali.

“Kita terlihat seperti kembar identik,” ujar Maya seraya menatap Mulan, merasa dia sedang berkaca di hadapan cermin. “Memang benar ada 7 orang dengan wajah serupa di dunia, dan aku menemukan salah satunya!”

Berbeda dengan Maya yang bersemangat, Mulan terlihat ragu. “Aku malah makin ragu sekarang. Kita terlalu mirip, dan aku kahwatir kamu akan menyesal setelah ini.”

Maya menolak pendapat Mulan dengan gelengan tegas. Ekspresinya masih tetap antusias dengan senyum lebar. “Kita sudah memulainya hari ini. Hitung mundur sampai tiga bulan ke depan.”

“Apa ada ketentuan atau semacamnya?”

Maya berpikir sesaat, mengetuk kepalanya pelan. “Tidak ada, tuh. Kita cukup menjalani hidup masing-masing sampai waktunya tiba. Dan oh, ya. Aku sudah menuliskan semua tentang kehidupanku. Mulai dari anggota keluarga sampai kebiasan di rumah. Kamu harus membacanya dengan teliti, jangan ada yang terlewat satu pun.”

Maya mengeluarkan sebuah buku kecil yang berisi rangkuman hidupnya. Bahkan Maya sengaja begadang untuk menulis itu. Dia memberikan buku itu pada Mulan yang hanya diterima tanpa berniat membukanya.

“Ingat, kamu harus mempelajarinya,” kata Maya, menekan perintahnya seperti seorang dosen pada mahasiswanya.

Mulan bergumam malas. Dia melirik buku itu tanpa minat. Seumur hidup, dia sangat membenci buku, apa pun bentuknya. Dia mengangguk hanya untuk membuat Maya senang.

“Sekarang, giliran kamu. Apa kamu sudah menulis semua tentang kehidupan kamu?”

Alis Mulan bertaut. “Kamu tidak menyuruhku menulis, tuh.”

Maya membuka mulutnya lebar, kemudian terkatup dengan wajah tertekuk. “Memang tidak. Tapi bagaimana aku tahu tentang kehidupan kamu. Bagaimana jika nanti aku bertemu dengan temanmu dan aku tidak mengenalnya?”

“Aku tidak punya teman,” pungkas Mulan pendek. Sama sekali tidak berbohong. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk berteman, sedangkan hidupnya saja terancam tidak makan bila tidak berkerja.

Maya membuka mulut membentuk huruf O. Dia mengerjap dan bertanya dengan suara rendah. “Ayah bagaimana? Katanya kamu hanya punya ayah.”

“Dia tidak akan datang. Dan aku berharap dia tidak akan datang selama kita bertukar posisi.”

Hal itu jelas mengundang rasa penasaran pada Maya. “Kenapa?”

Mulan menatapnya dengan lekat, meski tidak ada yang tahu ada sesuatu yang tersembunyi dalam tatapan itu. “Tidak apa.”

Maya mengangguk pelan. Sepertiya Mulan tidak akan bercerita dan Maya tidak akan memaksanya. Dia sudah cukup berpuas sampai di sini.

Mereka melanjutkan percakapan ringan tentang kehidupan masing-masing. Mungkin Maya takut Mulan tidak akan membaca catatan yang susah payah dibuatnya. Maka tanpa disuruh, dia bercerita panjang lebar dan penuh keantusiasan yang tinggi. Dia seperti tidak sabar keluar dari sangkar emas yang dibuat keluarganya sendiri. Sedangkan Mulan menompang kepala dan mendengar rentetan cerita Maya bagaikan dongeng pengantar tidur. Dia sampai menguap lebar yang sekaligus mengundang desahan panjang dari gadis di depannya. Maya menghentikan ceritanya dan tersenyum kecil.

“Baiklah. Sepertinya itu saja sudah cukup.”

Mulan mengangguk. Namun masih ada sesuatu yang janggal dalam hatinya. “Ingat, jangan mendekati ayahku. Jika dia datang, sebaiknya kamu kabur.”

Euy, mana boleh seperti itu,” Maya mencebikkan bibirnya tak terima. “Itu tidak sopan namanya.”

Namun, Mulan masih memasang wajah seriusnya. Memberikan penegasan dan tidak mau dibantahnya.  “Demi keselamatanmu,” katanya singkat.

Maya mau tak mau mengangguk. “Baiklah.”

“Kamu harus berjanji akan baik-baik saja sampai waktunya tiba!” Itu bukan sebuah permintaan, tapi perintah mutlak. Mulan belum bisa menghilangkan kekhawatirannya pada Maya setelah ini. Dia tidak mau Maya terluka akibat idenya sendiri.

“Janji.” Maya mengangguk yakin. Mengaitkan kelingkingnya dengan Mulan, sebuah senyum lebar tersungging. “Ayo kita mulai sandiwaranya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status