Baru pertama kali ini Mulan menginjakkan kaki di sebuah mansion yang lebih menyerupai istana. Bagaimana tidak? Arsitektur yang kental dengan bangunan bergaya Eropa modern yang cukup elegan. Perpaduan warna gold and white semakin menambah kesan mewah pada mansion yang memiliki luas berhektar-hektar itu.
Mulan berusaha mengingat setiap detail bangunan mansion ini dengan otak pintarnya. Meski sangat luas, tapi cukup tertata hingga mudah diingat. Para pelayan yang berjumlah puluhan tidak pernah absen dalam pandangannya. Mereka sibuk hilir mudik dengan kegiatan masing-masing. Sedangan di bagian luar, ada sekitar 20 pengawal berbadan kekar yang setia berdiri dengan wajah tanpa eskpresi. Mereka hanya menuduk sopan saat Mulan melewatinya begitu saja. Sepertinya sampai detik ini tidak ada yang sadar tentang penyamarannya. Hal yang cukup melegakan sebenarnya.
“Maaf, Nona.”
Seseorang datang menyapanya. Mulan menghentikan langkahnya dan menoleh pada pria itu. Alisnya naik sebelah, tanpa berniat mengeluarkan sepatah kata pun. Dia menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.
Pria yang tak lain adalah Bruce, pengawal pribadi yang ditugaskan mengawal ke mana pun Maya pergi. Pria kekar dan tampan yang masih memasuki seperempat abad. Dari pahatan wajahnya sangat tidak cocok hanya menjadi pengawal. Mulan bahkan mengira pria itu seorang bangsawan atau sejenisnya, bila tidak melihat sebuah pistol di piggang kanannya dan setelan hitam sebagai seragam resminya.
“Ada apa?” tanya Mulan yang mulai bosan saat pria itu tak kunjung angkat bicara.
Bruce memperhatikan perempuan di depannya dengan lekat. Sedikit kerutan samar di keningnya saat menyadari ada yang aneh dari nonanya. Namun, dia segera tersadar. Bruce menggelengkan kepala pelan, dan kembali menunduk sopan. “Tadi Tuan Juan memberi kabar akan pulang larut. Nona bisa makan malam lebih dulu.”
“Hum.” Mulan hanya mengedikkan bahu pelan. Tidak terlalu memikirkan kalimat panjang tadi. “Kamu bisa kembali.”
“Baik, Nona.”
Setelah Bruce pergi, Mulan memilih masuk ke dalam kamarnya kembali. Ralat, kamar Maya yang sekarang tengah ditempatinya. Kamar yang sangat luas dengan peralatan yang sangat lengkap. Mulan merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk, mengistirahatkan badannya yang mulai pegal-pegal setelah melewati hari yang panjang.
Ini hari yang sangat berat. Bukan hanya harus berpura-pura menjadi Maya yang anggun. Dia juga harus meniru semua kebiasaan perempuan dari hal yang paling kecil sedikit pun. Mulan yang pada dasarnya memang memiliki sikap berkebalikan dengan Maya, jelas merasa tidak mudah menjalani ini semua. Bahkan tadi saja, sang kakak ketiga sudah sedikit menaruh aneh padanya. Beruntung Mulan memiliki banyak alibi untuk meyakinkan pria itu.
Tiba-tiba dia memikirkan Maya. Bagaimana keadaan perempaun itu di luar sana? Ada rasa khawatir yang belum juga reda di hatinya. Mungkin besok dia akan menghubungi Maya dan memastikan keadaan perempuan itu. Dia juga harus memastikan keberadaan sang ayah tidak akan menganggu Maya. Ayahnya memilik control diri yang buruk dan jelas sangat tidak bagus untuk Maya. Perempuan kalem itu tidak akan bisa melawan sang ayah seperti dirinya. Entah berapa lama dia sibuk dengan lamunannya sendiri.
Baru saja Mulan terpejam dan merasakan kantuk datang, suara pintu berhasil mengusiknya. Dia tetap memejamkan mata, pura-pura tertidur sementara telinganya menajam. Langkah kaki yang terdengar sangat pelan hingga dia merasakan seseorang duduk di sisi ranjangnya. Mulan masih setia dengan aktingnya. Dia bahkan diam saja saat merasakan sapuan lembut di wajahnya. Terlampau lembut tapi cukup memberikan sentruman aneh di hatinya. Entah kali ini siapa yang bertandang di kamarnya malam-malam begini. Apa ketiga kakaknya sudah datang?
“Miss you, Princess,” ujar suara yang sudah cukup Mulan kenal.
Juan Walter. Pria yang masih memakai setelan kerjanya memang langsung masuk ke kamar sang adik saat melihat pintu sedikit terbuka. Tumben sekali sang adik lupa menutup pintu kamarnya. Maka dari itu, Juan masuk untuk memastikan keadaan perempuan yang dikirannya adalah sang adik, Maya.
Ada rasa lega saat melihat keadaan perempuan itu baik-baik saja. Bahkan tampak sangat lelap dalam tidurnya. Dia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah perempuan itu, semakin leluasa menatap wajah cantik yang tak perlu ditanyakan lagi. Ada kerinduan yang terpancar sangat besar dalam tatapaannya. Jua tersenyum miris.
“Maaf harus seperti ini. Kakak terpaksa untuk kebaikan kita.”
Mulan yang hanya berpura-pura tidur jelas tidak paham dengan kalimat tersebut. Dia masih diam sampai merasakan sebuah kecupan panjang di keningnya, disusul selimut yang membungkus badannya sampai batas dada.
Juan merasa sudah cukup mengobati rindunya. Setelah memastikan posisi sang adik nyaman, dia mematikan lampu kamar dan membiarkan lampu tidur menyala. Seperti malam sebelumnya, hanya saat-saat seperti ini dia berani mendekati sang adik kembali. Karena saat kedua mata indah itu terbuka, maka hanya sikap dingin yang Juan berikan. Hal yang terpaksa harus dilakukannya demi kebaikan bersama.
***
Entah sudah berapa lama dirinya terlelap, tiba-tiba Mulan terbangun karena perutnya yang keroncongan. Dengan mata berat, dia beranjak. Mengelus perutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Dia harus segera mencari makan untuk mengganjal si perut.
“Oke, kita cari makan!” Mulan bicara sendiri pada perutnya yang sudah tidak sabar minta diisi.
Keadaan rumah sudah sangat sepi. Lampu yang hanya hidup di beberapa ruangan tertentu membuat suasana sedikit temaram. Namun, Mulan berhasil sampai di dapur tanpa harus ada acara menabrak tembok atau benda sekitar. Dia segera membuka lemari makanan, mencari makanan instan atau sisa makanan tadi yang bisa segera disantap. Beruntung ada beberapa cemilan yang bisa mengganjal perutnya. Tanpa buang waktu, Mulan mengeluarkan banyak cemilan dan melahapnya dengan rakus. Bahkan kembali memasukkan makanan itu pada mulutnya yang penuh. Persis seperti orang yang belum makan seminggu.
“Nona sedang apa?” tegur sebuah suara yang membuat Mulan telonjak kaget.
Mulan tersedak hebat. Bruce yang tadi menegurnya sigap mengambil minuman dan disodorkan pada sang nona. Wajahnya sedikit cemas dan bersalah.
“Maaf, Nona,” ujar Bruce.
Mulan masih meneguk minumannya sampai tandas. Menormalkan detak jantung dan napasnya yang tadi sempat terasa sakit akibat tersedak hebat. Setelah napasnya teratur, tanpa sadar dia mendelik pada Bruce. Merasa kesal dan dendam karena ulah pria itu.
“Kamu mengganggu sekali!” sentah Mulan kesal. Suaranya sedikit meninggi memarahi pria itu.
Bruce sedikit kaget. Dia kembali menunduk berkali-kali. “Maaf, Nona. Saya kira ada maling di dapur.”
“Maling? Memangnya maling mau ngambil apa di dapur? Makanan? Nggak ada ya orang mau curi makanan, adanya tuh nyuri mobil atau emas. Mikir nggak sih!” semprot Mulan dengan suara yang cukup nyaring. Beruntung keributan itu tidak mengusik istirahat penghuni lain.
Bruce mengerjap. Pertama kalinya dia melihat sang nona tampak sangat di luar kontrol begini. Ekspresi kalem dan anggunnya hilang entah ke mana. Bruce tidak bisa menjawab. Dia hanya diam dan menerima kekesalan sang nona.
“Ah, sudahlah. Kamu cepat keluar!”
“Baik, Nona.”
Sepeninggal Bruce, Mulan sudah tidak bernafsu dengan makanannya lagi. Dia hanya melirik sisa makananya yang masih sisa separuh. Ada embusan napas panjang di sana. “Padahal masih banyak, terpaksa deh. Gara-gara pengawal sialan!” rutuknya dengan kekesalan yang belum juga reda.
Mulan kembali masuk ke dalam kamarnya dengan kaki yang menghentak kesal. Untung tidak ada orang yang terbangun karena ulahnya.
Sedangkan di tepi kolam, seseorang pria menatap kamar Mulan yang kembali padam. Sebelah tangannya berada di dalam saku, sedangkan satu lagi mengampit benda pipih yang didekatkan di telinganya. Tatapanya sangat datar dengan wajah dingin. Tidak ada riak emosi di sana. Dia tampak fokus memberi perintah pada orang di seberang sana.
“Perketat penjagaan. Mereka sudah memulai aktingnya.”
Pagi menjelang, Mulan sudah berpenampilan cantik. Dia duduk di depan cermin dan memandang pantulan dirinya di sana. Rambutnya yang sengaja dicat belum luntur dan tergerai dengan indah. Meski gerah, dia harus bertahan. Katanya, Maya tidak suka mengikat rambutnya sendiri dan Mulan harus terbiasa mengikuti gayanya. Sedangkan bagian wajah, dia hanya sedikit memolesnya agar warna kulit aslinya tersamarkan. Gaun selutut dengan warna pink cukup memberi kesan manis pada penampilannya yang terbiasa tomboy. Style Maya memang cukup girly. Bahkan di bagian walk in closet, hampir semua gaun bermotif bunga dengan warna soft. “Akhirnya.” Mulan mendesah panjang. Dia segera berdiri dan beranjak dari sana. Tujuannya kali ini ruang tengah. Dia ingin sedikit berkeliling lagi sebelum ke ruang makan. Menurut cerita dari Maya, ritual sarapan adalah kegiatan wajib bagi seluruh anggota keluarga di sini. Tidak ada yang boleh melewatinya begit
Juan menutup berkas pekerjaannya dengan kasar. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Beberapa Minggu ini dia terlalu lelah. Lelah dengan pekerjaan yang menumpuk, dan lelah menghindar dari adik perempuannya. Beberapa kali dia seperti bermain kucing-kucingan. Berangkat pagi dan pulang larut agar tidak bersitatap dengan Maya. Bahkan sikapnya juga berubah menjadi dingin dan tak tersentuh pada sang adik.Juan belum menyiapkan diri berhadapan dengan sang adik setelah kejadian beberapa minggu lalu. Kaget? Jelas. Dia tidak percaya Maya mampu mengungkapkan hal yang tak pernah dibayangkannya.“Aku cinta kakak. Bukan sebagai seorang adik, tapi sebagai perempuan yang mencintai prianya.”Ungkapan Maya malam itu masih membekas di otaknya. Juan hanya mematung tanpa merespon apa pun. Tangannya yang berada di kepala sang adik, perlahan turun. Terlalu syok dengan keadaan yang menurutnya sangat buruk.Juan hanya memberikan tatapan datar, sebe
Pagi ini Mulan berniat jalan-jalan sebentar. Beberapa hari di sini dirinya malah terasa dikurung dalam sangkar emas. Memang semua kebutuhannya terpenuhi dengan sangat lengkap, bahkan apa pun yang dimintanya selalu dipenuhi dengan mudah. Namun, tetap saja dia bosan di dalam mansion ini terus. Belum pernah sekalipun dirinya menginjakkan kaki di luar. Setelah acara sarapan, ketiga kakaknya sudah menjalani aktivitas masing-masing. Tadi dia pun sempat melihat Joe dan Julian yang sudah pergi dengan mobil masing-masing. Sedangkan Juan? Mulan mengedikkan bahu pelan. Tidak peduli pada si datar itu. Dia belum melihat batang hidungnya lagi. Mereka bahkan jarang bertegur sapa setelah kejadian di perpustakaan tempo itu. Mulan tak ambil pusing. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan damai selama di sini. Saat dirinya baru membuka pintu kamar, sudah ada sosok pria yang berdiri di depan sana. Mulan memutar bola mata jengah melihatnya. Satu penghalang yang selalu merepotkan. Dia ti
Joe menatap bergantian pada adik dan kakak pertamanya. Sejak pulangnya dari kampus siang ini, suasana di ruang tengah terasa menegangkan. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dunia yang siap meledak kapan saja. Joe menatap kakak pertamanya, Juan. Beberapa waktu belakangan sikap sang kakak menjadi semakin dingin. Bahkan Juan yang biasanya lembut pada Maya, tampak semakin tak tersentuh. Ini jelas tak seperti biasanya. Joe sampai bingung dengan perubahan tersebut. Sepertinya ada hal yang disembunyikan Juan dari mereka semua. Lalu dengan Maya? Sang adik berubah menjadi perempuan dengan sifat yang berkebalikan dari sebelumnya. Mulai dari tutur kata sampai gesture tubuh. Entah dirinya yang terlalu berlebihan atau yang lain memang tidak peka. “Uhuk.” Joe pura-pura terbatuk. Namun baik sang adik maupun kakaknya hanya melirik sekilas. Tak ada yang berniat membantunya. “Uhuk ... Uhuk.” Joe semakin mengeraskan batuknya. Dia semakin kesal saja melihat resp
Maya menghela napas panjang. Seharian ini dia benar-benar suntuk, bosan, dan tidak ada kerjaan sama sekali. Dia sudah berhenti dari tempat kerjanya kemarin. Dia tidak bisa terus di sana dan beresiko bertemu dengan sang kakak suatu hari nanti. Itu hanya akan membahayakan rencana yang sedang dijalani. Namun setelah berhenti, sekarang dia malah tidak memiliki aktivitas apa pun. Mencari pekerjaan baru pun tidak semudah bayangannya selama ini. Dia banyak mendapatkan penolakan bahkan saat pertama kali melamar. Kemarin sempat pula dia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan ganti. Namun baru dua jam, dia sudah berhasil memecahkan lima piring dan tiga gelas mahal. Maya jelas dimarahi habis-habisan sampai dia pulang dalam keadaan menangis. Sedikit keberuntungannya, dia tidak dituntut ganti rugi. Padahal bisa saja pihak restoran menagih ganti rugi dari barang mahal yang dipecahkannya. Maya merasa tidak cocok berkerja di restoran itu. Bahkan luka di tangannya belum juga semb
“Kamu mau ke mana?” Julian yang baru datang menatap heran dengan penampilan Joe. Adiknya itu tampak sangat rapi, seakan mau pergi saja. Biasanya Joe tidak pernah berpenampilan serapi ini bila hanya mau pergi ke kampus atau bermain. “Pesta.” “Dengan Maya?” tebak Julian yang memang benar sepenuhnya. Joe memberikan senyum lebar dengan anggukan mantap, Julian mendengus melihatnya. “Cari pasanganlah. Jangan selalu membawa Maya sebagai pasangan ke pesta begini.” “Malas. Selama ada Maya, untuk apa wanita lain?” jawabnya santai. “Masalahnya kamu terlalu mendominasi. Aku jadi tidak punya waktu membawa dia,” tukas Julian dengan jengkel. Joe berdecih, sangat paham dengan maksud sang kakak. Julian juga butuh Maya untuk menjadi pasangannya. Memang ketiga pria Walter tidak pernah terlibat skandal dengan wanita mana pun. Mereka single dan bahagia. Sampai detik ini, wanita tidak masuk ke dalam pikiran mereka. Terlalu banyak urusan dan ta
Juan tidak bisa tenang. Sejak tadi yang dilakukannya hanya melihat pergerakan jam dinding yang sangat lambat. Entah baterainya yang akan habis, apa memang kesabarannya yang mulai menipis. Rasanya dia ingin memutar jam secepat mungkin dan menunggu kedatangan sang adik. Sudah dua jam sejak kepergian Maya dan Joe, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepulangan keduanya. Juan makin gusar sendiri. Dia jelas melihat penampilan gadis itu yang sangat cantik luar biasa. Padahal dia sering melihat penampilan Maya yang sejak lahir memang cantik, tapi kenapa malm ini terasa sangat berbeda. Maya memang bakat membuat orang terpikat, terjerumus pada pesona yang tidak mudah ditampik. Semakin Juan berusaha menghindar, jiwanya malah makin terikat tanpa sadar. Entah kenapa Juan baru menyadari beberapa hari ini. “Sialan! Kenapa mereka lama sekali.” Juan makin gusar. Dia tidak bisa tinggal diam saja sedangkan perasaannya makin resah begini. Ingin sekali dia menjemput Maya dan memaksany
Bisa kita bertemu? Mulan membaca pesan itu dengan seksama. Setelah mengetik balasan dan mengirimkannya, dia segera bersiap-siap. Siang ini dia akan bertemu dengan Maya di kafe biasanya. Kebetulan keadaan rumah cukup sepi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Juan yang biasanya selalu memantau kesehariannya sedang tidak di rumah. Setidaknya dia memiliki waktu bebas tanpa tatapan tajam pria itu. Mulan memakai pakaian santai yang nyaman. Karena dominan baju di lemarinya adalah gaun, Mulan tidak memiliki pilihan lain. Sepertinya dia harus menyuruh beberapa pelayan menyiapkan kaos dan celana nanti. Dia sudah gerah dengan gaun yang terlalu feminim seperti ini. Setelah penampilannya sempurna, Mulan segera meraih tas selempang dan keluar dari kamarnya. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Beruntung tidak ada pelayan yang berkeliaran seperti biasanya. Dia bisa pergi tanpa ada hambatan. Namun sialnya, Mulan melupakan satu