Pagi menjelang, Mulan sudah berpenampilan cantik. Dia duduk di depan cermin dan memandang pantulan dirinya di sana. Rambutnya yang sengaja dicat belum luntur dan tergerai dengan indah. Meski gerah, dia harus bertahan. Katanya, Maya tidak suka mengikat rambutnya sendiri dan Mulan harus terbiasa mengikuti gayanya. Sedangkan bagian wajah, dia hanya sedikit memolesnya agar warna kulit aslinya tersamarkan. Gaun selutut dengan warna pink cukup memberi kesan manis pada penampilannya yang terbiasa tomboy. Style Maya memang cukup girly. Bahkan di bagian walk in closet, hampir semua gaun bermotif bunga dengan warna soft.
“Akhirnya.” Mulan mendesah panjang. Dia segera berdiri dan beranjak dari sana. Tujuannya kali ini ruang tengah. Dia ingin sedikit berkeliling lagi sebelum ke ruang makan.
Menurut cerita dari Maya, ritual sarapan adalah kegiatan wajib bagi seluruh anggota keluarga di sini. Tidak ada yang boleh melewatinya begitu saja kecuali urusan yang dianggap sangat mendadak. Sekali lagi, Mulan harus beradaptasi dengan kebiasaan itu. Dia yang jarang bahkan bisa dikatakan tidak pernah sarapan, harus membiasakan diri mengisi perut di pagi ini. Semua demi kedoknya agar tidak terbongkar.
“Maaf, Nona mau sarapan dulu?” Seroang pelayan datang dan menunduk hormat pada Mulan.
Mulan berhenti. Menoleh dan tersenyum singkat, “Sebentar lagi aku ke sana.”
“Baik, Nona. Saya permisi.”
“Hmm.”
Setelah pelayan itu pergi, Mulan kembali melanjutkan langkahnya. Tatapannya mengamati sekitar dengan cermat. Hampir semua sudut terdapat foto Maya. Benar memang, Maya adalah ratu di keluarga ini. Bahkan tidak ada satu pun foto ketiga kakaknya yang lain. Seakan rumah ini sengaja dipenuhi dengan nuasan seorang Maya. Mulan merasa sedikit iri, sudut hatinya berdenyut nyeri. Sayang sekali, kehidupan masa kecilnya sangat berbanding terbalik dengan kawannya itu. Bahkan Mulan hampir tidak memiliki kenangan baik tentang keluarganya selain hinaan, pukulan, dan penyiksaan lain. Ada desahan napas panjang yang keluar dari bibirnya. Segera dia menyudahi lamunannya tentang masa lalu. Percuma, tidak ada gunanya.
“Sayang, sedang apa?”
Mulan berjengkit kaget. Dia meraba dadanya yang berdebar keras karena suara tersebut. Mulan berbalik badan dan menatap sangar pada sang pelaku. Matanya sampai melotot sangking kesalnya.
“Kakak ngagetin banget!” sentaknya dengan nada sedikit meninggi. Ekspresinya menujukkan kekesalan yang luar biasa pada si pengganggu.
Joe Walter ikut terkaget-kaget dengan tanggapan sang adik. Joe sampai memandang Mulan dari atas ke bawah, dan kembali ke atas lagi. Tangannya spontan meraba kening adiknya, memeriksa sang adik sakit apa tidak.
“Apaan sih?” Mulan menepis tangan itu dengan kesal.
“Kamu kenapa marah-marah? Tumben loh! Gak biasa kamu mudah marah gini,” papar Joe dengan kernyitan yang jelas di keningnya. Raut bingung masih melekat di wajah manisnya.
Mulan seketika bungkam. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali. Sedang hatinya tak berhenti merutuk sial.
'Sialan. Lupa lagi, aish,' rutuknya dalam hati. Mulan lupa melakoni karakternya menjadi Maya. Apalagi dia belum terbiasa dengan kelembutan sikap Maya yang berbanding terbalik dengannya.
“Sayang, halo!” Joe melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Mulan. Berusaha menyadarkan perempuan yang tampak termenung itu. “Maya!”
“Eh, iya, Kak?” Mulan tersentak kaget. Dia memberikan tatapan bodoh, menutupi linglungnya sendiri.
“Kamu kenapa? Kamu sakit? Sikap kamu aneh pagi ini.”
Joe menatap Mulan dengan curiga. Entahlah sudah berapa kali dirinya mendapati sikap perempuan yang dikiranya sang adik itu tampak aneh. Bahkan gurat wajahnya sedikit berbeda, hal yang kembali membuat Joe curiga.
Mulan menggeleng kaku. “Nggak kok, Kak. Perasaan kakak saja. Aku baik kok.”
“Beneran?”
Mulan mengangguk yakin. Wajahnya dibuat seserius mungkin.
Joe yang melihatnya tersenyum singkat. Dia mengacak rambut sang adik gemas. Perasaan khawatirnya lenyap seketika. Tidak ingin memperpanjang sesuatu yang tidak masuk akal. “Baiklah. Kalo kamu baik-baik saja, Kakak lega dengarnya.”
“Iya, Kak.” Mulan membalasnya dengan senyum tipis. “Oh, ya. Yang lain ke mana, Kak?” Mulan celingukan mencari penghuni rumah yang lain. Karena sejak tadi hanya pelayan yang hilir mudik di depan matanya.
“Juan dan Julian ada di atas. Sebentar lagi mereka akan turun. Lebih baik kita ke meja makan dulu,” ajak Joe yang tanpa menunggu jawaban, langsung menggandeng Mulan agar mengikutinya.
Mulan menerima saja semua perlakuan manis dari Joe. Bahkan saat pria itu menggenggam tangannya, menariknya ke meja makan, dan menarik kursi untuknya duduk. ‘Sangat manis,’ pikir Mulan. Mungkin jika bukan dalam keadaan ini, Mulan bisa saja jatuh cinta pada Joe. Pria itu sangat baik dan manis. Idamannya selama ini. Namun, itu jelas hanya sebatas angan, Joe adalah golongan pria yang tidak mudah dimiliki oleh perempuan sejenisnya.
Saat mereka tengah menunggu makanan dihidangkan, suara derap langkah kaki menyita perhatian Mulan. Mulan menoleh ke belakang dan rahangnya hampir jatuh saat itu juga. Dua lelaki yang masuk ke jejeran 'hot man' tampak shirtless dengan celana sport ketatnya. Titik keringat membuat penampilan kedua pria itu makin membuatnya terpesona. Mulan sampi gagal fokus rasanya.
Matanya tak berhenti mengedip berkali-kali. Mulan berusaha mengembalikan kewarasannya. Namun, kewarasan sepertinya enggan kembali melihat godaan yang membuat air liurnya menetes.
“Sayang, kenapa?” tegur Joe yang bingung menatap tingkah Mulan. Dia berusaha menarik perhatian Mulan dengan melambaikan tangannya di depan wajah perempuan itu.
“Hmm, mereka gak pakek baju?” Mulan berbisik, mendekatkan diri pada sang kakak ketiga.
Joe mengikuti arah pandang sang adik. Dia tambah bingung. “Kenapa? Mereka sudah terbiasa seperti itu,” balasnya santai.
Kedua kakaknya itu memang sangat percaya diri pada tubuh idealnya. Perut kotak-kotak dan badan kekar. Beda dengan Joe yang memiliki wajah manis dan badan sedikit cungkring. Kadang Joe juga iri pada tubuh kedua kakaknya. Namun, ada rasa gengsi harus mengutarakan hal tersebut. Dia berusaha percaya diri dengan tubuhnya sendiri meski butuh waktu cukup lama.
“Morning!” Julian menyapa orang-orang di meja makan. Dia menarik kursi ke belakang dan duduk berhadapan dengan Joe. Sebelumnya, dia sempat mengacak rambut Mulan dan mencium kening perempuan itu singkat. Maya sampai menegang di tempatnya, tapi secepatnya dia menormalkan eskpresinya.
Sementara Juan langsung duduk tanpa banyak bicara. Dia duduk di kursi ujung tempat di mana kepala keluarga biasanya duduk. Karena hari ini ayah mereka masih di Brunei, Juan lah yang menggantikan tugas lelaki paruh baya itu sementara waktu. Baik di rumah ataupun perusahaan. Sebagai anak pertama, itulah salah satu beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Setelah pelayan selesai menghidangkan berbagai makanannya. Mereka mulai ritual sarapan dengan tenang. Mengambil beberapa jenis makanan yang disukai masing-masing. Ketiga pria itu bahka sudah mulai menguyah makanannya. Namun, Mulan masih terdiam. Dia menyembunyikan ekspresi anehnya saat melihat banyaknya sayuran di sana. Tidak ada daging dan nasi, satu-satunya yang ada selain sayur dan buah malah seafood. Mulan tidak suka ikan laut. Beruntung dia masih menemukan nungget yang berada di dekat Joe. Tanpa pikir panjang, dia mengambil nugget tersebut dan melahapnya dengan rakus. Ketiga pria di sana sontak menghentikan kegiatannya dan memandang Mulan dengan tatapan aneh.
“Maya, kamu tumben makan nugget?” Julian menatap piring sang adik dengan tatapan bertanya.
Mulan yang belum sadar, menjawab dengan santai. “Lagi pengen, Kak.”
“Kamu benci nugget.” Itu suara Juan. Yang sekali bicara, langsung membuat Mulan tersedak.
Mulan kaget dengan fakta tersebut. Dia yang sedang menggigit nugget-nya, harus tersedak hebat sampai dadanya terasa sakit. Bahkan sisa potongan itu meluncur jatuh ke piringnya dengan mulus. Mulan memukul dadanya berkali-kali, sudut matanya sampai berair.
Joe yang duduk di sampingnya, segera menyodorkan segelas air putih. Dia juga menepuk punggung perempuan itu perlahan. Tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang besar. Padahal hanya masalah tersedak.
“Kamu oke?” Julian bertanya dengan khawatir. Dia memberikan tatapan lekat, meski gurat khawatir dan penasaran juga menyatu di sana.
“Huum.” Mulan masih berusaha meredakan batuknya. Hidungnya terasa mengeluarkan sedikit air. Pantas banyak orang yang mati tersedak. Mulan sendiri merasa dadanya seakan tak mampu memompa oksigen dengan benar. Dia menatap pelaku yang malah makan dengan tenang. Wajahnya tampak tak berdosa telah membuat Mulan hampir celaka. Sepertinya Mulan akan mulai mencatat dalam otaknya kali ini. Kakak pertama, Juan Walter adalah orang paling berbahaya. Mulan harus berhati-hati saat ini.
***
Sedangkan di sebuah tempat yang berbeda, Maya memandang selembar foto di tangannya dengan pilu. Tangannya mengelus permukaan foto tersebut berkali-kali. Tatapannya berkaca-kaca. Ada banyak rahasia dalam kelamnya kedua netranya. Ada banyak ekspresi pada wajahnya yang selalu tersenyum bahagia. Nyatanya, Maya adalah aktor yang hebat selama ini. Semua orang termakan dengan drama yang diciptakannya sendiri.
Maya beralih meraba dadanya. Dia menekan kuat di daerah sana. Sengaja agar perasaan tak wajar itu juga hilang. Ini semua tentang cinta. Satu jenis perasaan yang tidak bisa ditebak kapan dan pada siapa akan berlabuh. Dan Maya sadar telah melakukan kesalahan akhir-akhir ini. Perasaannya terlalu tabu, tak wajar. Dia bahkan dengan berani telah memantik api pada sumbu yang mudah terbakar. Tatapannya makin memburam, tanpa sadar dia meremas selembar foto tersebut.
“Kenapa aku harus memiliki perasaan ini?” desahnya putus asa.
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng