Share

Hampir Saja!

Juan menutup berkas pekerjaannya dengan kasar. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Beberapa Minggu ini dia terlalu lelah. Lelah dengan pekerjaan yang menumpuk, dan lelah menghindar dari adik perempuannya. Beberapa kali dia seperti bermain kucing-kucingan. Berangkat pagi dan pulang larut agar tidak bersitatap dengan Maya. Bahkan sikapnya juga berubah menjadi dingin dan tak tersentuh pada sang adik.

Juan belum menyiapkan diri berhadapan dengan sang adik setelah kejadian beberapa minggu lalu. Kaget? Jelas. Dia tidak percaya Maya mampu mengungkapkan hal yang tak pernah dibayangkannya.

“Aku cinta kakak. Bukan sebagai seorang adik, tapi sebagai perempuan yang mencintai prianya.”

Ungkapan Maya malam itu masih membekas di otaknya. Juan hanya mematung tanpa merespon apa pun. Tangannya yang berada di kepala sang adik, perlahan turun. Terlalu syok dengan keadaan yang menurutnya sangat buruk.

Juan hanya memberikan tatapan datar, sebelum melangkah pergi meninggalkan Maya sendirian. Pikirannya tiba-tiba kacau. Juan tidak menyangka perhatiannya pada sang adik malah disalahartikan. Padahal dia menyayangi Maya layaknya adik, princess satu-satunya di keluarga mereka. Mungkin memang dia terlalu memanjakan Maya dari adiknya yang lain. Dia hanya tidak ingin Maya kekurangan kasih sayang, apalagi ibu mereka meninggal tepat setelah melahirkan Maya ke dunia ini. Adiknya itu bahkan belum sempat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Sebagai seorang kakak, Juan tidak mau Maya berpikir demikian.

Menghindar dari Maya sepertinya bukan hal yang mudah. Apalagi sekarang Maya tampak selalu berada di batas pandangannya. Sepertinya semua sudut tempat selalu mempertemukan mereka, baik sengaja ataupun tidak. Bahkan tadi pagi, dia memasakan diri sarapan bersama dengan perempuan itu. Setelah acara perang dinginnya, Juan pikir ini yang terbaik. Membatasi sikap dan bersikap acuh pada sang adik.  

Memilih menyudahi acara kerjanya, Juan beranjak dari ruangan besar tersebut. Hari ini dia memang mengerjakan semuanya di rumah. Sedangkan Julian yang mengurus keperluan kantor, sedangkan Joe mungkin sudah berada di kampus. Meski banyak pengawal di sini, tetap saja harus ada salah satu dari mereka yang menjaga sang adik. Mereka takut Maya kesepian bila ditinggal terlalu lama.

Juan mengamati sekitar. Keningnya berkerut samar mencari keberadaan sang adik yang belum tampak. Dia melihat jam di pergelangan tangannya, sudah siang. Biasanya Maya duduk santai di ruang tengah sambil menonton serial romansa kesukaannya. Namun sejak tadi Juan tidak melihat batang hidung perempuan itu sama sekali. Ada kegusaran di dadanya.

“Hey, sini!” Juan memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat di sekitarnya.

Pelayan tersebut menghampirinya dengan kepala menunduk sopan. “Ada apa, Tuan?”

“Ke mana Maya?”

Pelayan tersebut tampak berpikir sesaat, berusaha mengingat keberadaan nonanya. “Nona Maya di perpustakaan bawah, Tuan.”

Juan mengernyit heran. Dia segera melewati pelayan itu dan menyusul sang adik di perpustakaan bawah. Dia penasaran untuk apa sang adik di sana. Pasalnya Maya paling tidak suka dengan tempat itu yang cukup berdebu dengan aroma buku tuanya. Sang adik memiliki perpustakaan sendiri di lantai atas yang jelas lebih luas dan bersih. Ayah mereka sengaja membuatnya hanya untuk sang putri kesayangan.

Tiba di depan perpustakaan, Juan sedikit mengintip dari pintu yang terbuka. Di sana memang ada sang adik yang tengah fokus dengan buku di tangannya. Juan semakin mengernyit. Dia melangkah pelan, berusaha tak menimbulkan suara apa pun.

Mulan yang masih asyik membaca novel, tak menyadari kehadiran Juan. Dia terlalu tenggelam dengan dunianya. Sesekali senyum tipis merekah di bibirnya membaca novel romansa tersebut. Dia memang penikmat cerita romasa klasik. Menurutnya cinta zaman dulu lebih manis, dan tidak lebay. Semua perjuangan yang dilakukan setiap pasangan tidak main-main. Meski ending, tidak selalu manis seperti harapannya.

“Kamu membaca buku klasik?” tanya Juan yang sekaligus mengagetkan Mulan. Bahkan Mulan sampai menjatuhkan bukunya karena terlalu kaget.

Mulan menatap pelaku dengan sengit. Dia segera menunduk dan meraih novel yang terjatuh. Namun di waktu yang bersamaan, Juan juga melakukan hal yang sama. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Mulan mendongak, menatap Juan lebih dekat. Matanya berkedip beberapa kali. Merasa debarannya terlalu cepat.

Juan yang pertama kali melepaskan pegangannya. Dia kembali berdiri dan berdehem singkat. Tubuhnya sedikit kaku dengan sentuhan fisik yang terasa asing.

‘Seperti di film saja,’ batin Mulan geli.

“Maaf, mengagetkan.”

“Iya.” Mulan kembali santai. Melupakan keadaan yang sempat canggung beberapa menit sebelumnya. Dia membuka novel dan mencari halaman yang tadi dibacanya. Sedangkan Juan mengamati setiap pergerakannya hingga Mulan risih.

“Kakak ada perlu?” tanya Mulan akhirnya. Berusaha menjaga intonasi suaranya menyerupai Maya, lemah lembut dan kalem. Meski lidahnya sedikit kelu, belum terbiasa seperti ini. Ada sedikit jera juga, mengingat sudah berkali-kali dia hampir ketahuan karena tidak bisa mengontrol diri.

“Saya baru tahu kamu bisa baca buku itu.”

Di telinga Mulan, itu seperti sebuah ejekan yang membuatnya mengernyit. “Maksudnya? Semua orang bisa baca.”

“Saya kira kamu hanya suka film romansa atau novel-novel dengan kisah yang aneh.”

“Hmm.” Mulan mengedikkan bahunya acuh. Tidak terlalu memikirkan ucapan Juan. Pasti yang dimaksud pria itu adalah hobi Maya yang memang berkebalikan dengan hobi Mulan sediri. Meski sama-sama suka membaca, keduanya memiliki genre sendiri.

Suara kursi yang ditarik membuatnya melirik sekilas. Juan sudah duduk di hadapannya dengan sebuah ensiklopedia di atas meja. Hening merajai suasana, hanya ada helaan napas masing-masing. Mereka sibuk dengan kegiatannya, meski sesekali saling lirik dan membuang wajah segera saat tertangkap basah.

“Saya harap kamu bisa membuang perasaan kamu.” Juan kembali angkat bicara. Rasanya sudah cukup berpura-pura diam sejak tadi. Padahal meski tatapannya tertuju pada buku yang terbuka, tapi fokusnya malah tersita dengan keberadaan perempuan di sampingnya.

“Maksudnya?” Mulan mengalihkan perhatiannya. Dia menutup buku dan beralih menatap Juan dengan tatapan tak mengerti. Sebelah alisnya terangkat naik, menantang Juan melanjutkan ucapannya.

“Perasaan kamu.”

“Kenapa?” tantang Mulan makin berani. Meski tak cukup paham maksud ucapan pria di depannya itu.

“Saya harap kamu bisa bersikap selayaknya seorang adik. Buang jauh-jauh perasaan toxic itu.”

Mulan semakin mengerutkan keningnya dalam. Apa maksud ucapan pria di depannya ini. Perasaan toxic? Toxic semacam apa yang dimaksud? Sebenarnya apa yang terjadi antara Maya dan Juan selama ini? Apa mereka terlibat hubungan aneh antara saudara?

Mulan terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari kepergian Juan dari sana. Pria itu sepertinya hanya ingin memberi penegasan pada Mulan. Padahal perempuan yang diajak bicara pun, bukan adiknya.

Mulan menatap pintu dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski bukan urusannya, rasa penasaran malah makin tumbuh pesat seiring dengan sikap pria itu yang menarik perhatiannya. “Mungkin aku akan mencari tahu segera mungkin,” putusnya.

***

Joe baru keluar dari area kampus. Dia terpaksa pulang cukup larut karena tugas dari Asdos yang lumayan banyak. Belum lagi beberapa temannya malah asyik bermain dan menganggu pekerjaannya. Tugasnya harus molor beberapa jam. Melihat sebuah Swalayan di pinggir jalan, Joe memutuskan mampir sebentar. Sepertinya dia perlu memberi minuman Isotonik. Tenaganya terasa terkuras seharian ini.

Joe segera memarkirkan mobilnya. Dia masuk ke dalam sembari bersenandung kecil. Tiba di rak minuman, Joe sibuk mencari minuman yang diinginkannya. Hingga tiba-tiba bahunya sedikit terdorong dan suara pekikan perempuan tertangkap telinganya.

Joe menoleh. Dia melihat seorang perempuan yang mungkin adalah pelayan di Swalayan tersebut.

Sorry,” cicit perempuan itu dengan kepala menunduk dalam.

“Oke. Kamu gak apa-apa?” tanya Joe berusaha melihat wajah pelayan itu.

Namun, perempuan itu malah semakin menarik topinya ke bawah. Menghalangi pandangan Joe yang ingin melihat wajahnya.

“Saya tidak apa-apa. Permisi.” Pelayan tersebut segera pergi dari sana.

Joe yang melihatnya memberikan tatapan aneh. Namun sedetik kemudian kembali mencari minumannya. Dia tidak perlu memusingkan kejadian kecil tadi. Tujuannya hanya untuk membeli minuman dan segera pulang secepatnya.

Sementara perempuan tadi, bersembunyi di deretan makanan. Jauh dari pandangan Joe. Napasnya memburu. Dia memegang dadanya yang berdetak hebat.  Dia mengintip lagi, melihat Joe yang sudah menuju kasir dan akan segera pergi. Helaan napas lega terdengar. Dia membuka topi, dan menyugar rambutnya sendiri.

“Hampir saja.” Desahan lega keluar dari bibir merah mudanya. Maya, yang sejak tadi menyamar tak dapat menyembunyikan kelegaannya. Hampir saja dia ketahuan dengan sang kakak. Dia lupa Swalayan ini dekat dengan kampus Joe. Besar kemungkinan kakaknya akan kembali lagi besok atau hari berikutnya. Maya harus segera mencari tempat baru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status