Share

Hampir Saja!

Author: Yani
last update Last Updated: 2021-06-22 08:46:18

Juan menutup berkas pekerjaannya dengan kasar. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Beberapa Minggu ini dia terlalu lelah. Lelah dengan pekerjaan yang menumpuk, dan lelah menghindar dari adik perempuannya. Beberapa kali dia seperti bermain kucing-kucingan. Berangkat pagi dan pulang larut agar tidak bersitatap dengan Maya. Bahkan sikapnya juga berubah menjadi dingin dan tak tersentuh pada sang adik.

Juan belum menyiapkan diri berhadapan dengan sang adik setelah kejadian beberapa minggu lalu. Kaget? Jelas. Dia tidak percaya Maya mampu mengungkapkan hal yang tak pernah dibayangkannya.

“Aku cinta kakak. Bukan sebagai seorang adik, tapi sebagai perempuan yang mencintai prianya.”

Ungkapan Maya malam itu masih membekas di otaknya. Juan hanya mematung tanpa merespon apa pun. Tangannya yang berada di kepala sang adik, perlahan turun. Terlalu syok dengan keadaan yang menurutnya sangat buruk.

Juan hanya memberikan tatapan datar, sebelum melangkah pergi meninggalkan Maya sendirian. Pikirannya tiba-tiba kacau. Juan tidak menyangka perhatiannya pada sang adik malah disalahartikan. Padahal dia menyayangi Maya layaknya adik, princess satu-satunya di keluarga mereka. Mungkin memang dia terlalu memanjakan Maya dari adiknya yang lain. Dia hanya tidak ingin Maya kekurangan kasih sayang, apalagi ibu mereka meninggal tepat setelah melahirkan Maya ke dunia ini. Adiknya itu bahkan belum sempat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Sebagai seorang kakak, Juan tidak mau Maya berpikir demikian.

Menghindar dari Maya sepertinya bukan hal yang mudah. Apalagi sekarang Maya tampak selalu berada di batas pandangannya. Sepertinya semua sudut tempat selalu mempertemukan mereka, baik sengaja ataupun tidak. Bahkan tadi pagi, dia memasakan diri sarapan bersama dengan perempuan itu. Setelah acara perang dinginnya, Juan pikir ini yang terbaik. Membatasi sikap dan bersikap acuh pada sang adik.  

Memilih menyudahi acara kerjanya, Juan beranjak dari ruangan besar tersebut. Hari ini dia memang mengerjakan semuanya di rumah. Sedangkan Julian yang mengurus keperluan kantor, sedangkan Joe mungkin sudah berada di kampus. Meski banyak pengawal di sini, tetap saja harus ada salah satu dari mereka yang menjaga sang adik. Mereka takut Maya kesepian bila ditinggal terlalu lama.

Juan mengamati sekitar. Keningnya berkerut samar mencari keberadaan sang adik yang belum tampak. Dia melihat jam di pergelangan tangannya, sudah siang. Biasanya Maya duduk santai di ruang tengah sambil menonton serial romansa kesukaannya. Namun sejak tadi Juan tidak melihat batang hidung perempuan itu sama sekali. Ada kegusaran di dadanya.

“Hey, sini!” Juan memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat di sekitarnya.

Pelayan tersebut menghampirinya dengan kepala menunduk sopan. “Ada apa, Tuan?”

“Ke mana Maya?”

Pelayan tersebut tampak berpikir sesaat, berusaha mengingat keberadaan nonanya. “Nona Maya di perpustakaan bawah, Tuan.”

Juan mengernyit heran. Dia segera melewati pelayan itu dan menyusul sang adik di perpustakaan bawah. Dia penasaran untuk apa sang adik di sana. Pasalnya Maya paling tidak suka dengan tempat itu yang cukup berdebu dengan aroma buku tuanya. Sang adik memiliki perpustakaan sendiri di lantai atas yang jelas lebih luas dan bersih. Ayah mereka sengaja membuatnya hanya untuk sang putri kesayangan.

Tiba di depan perpustakaan, Juan sedikit mengintip dari pintu yang terbuka. Di sana memang ada sang adik yang tengah fokus dengan buku di tangannya. Juan semakin mengernyit. Dia melangkah pelan, berusaha tak menimbulkan suara apa pun.

Mulan yang masih asyik membaca novel, tak menyadari kehadiran Juan. Dia terlalu tenggelam dengan dunianya. Sesekali senyum tipis merekah di bibirnya membaca novel romansa tersebut. Dia memang penikmat cerita romasa klasik. Menurutnya cinta zaman dulu lebih manis, dan tidak lebay. Semua perjuangan yang dilakukan setiap pasangan tidak main-main. Meski ending, tidak selalu manis seperti harapannya.

“Kamu membaca buku klasik?” tanya Juan yang sekaligus mengagetkan Mulan. Bahkan Mulan sampai menjatuhkan bukunya karena terlalu kaget.

Mulan menatap pelaku dengan sengit. Dia segera menunduk dan meraih novel yang terjatuh. Namun di waktu yang bersamaan, Juan juga melakukan hal yang sama. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Mulan mendongak, menatap Juan lebih dekat. Matanya berkedip beberapa kali. Merasa debarannya terlalu cepat.

Juan yang pertama kali melepaskan pegangannya. Dia kembali berdiri dan berdehem singkat. Tubuhnya sedikit kaku dengan sentuhan fisik yang terasa asing.

‘Seperti di film saja,’ batin Mulan geli.

“Maaf, mengagetkan.”

“Iya.” Mulan kembali santai. Melupakan keadaan yang sempat canggung beberapa menit sebelumnya. Dia membuka novel dan mencari halaman yang tadi dibacanya. Sedangkan Juan mengamati setiap pergerakannya hingga Mulan risih.

“Kakak ada perlu?” tanya Mulan akhirnya. Berusaha menjaga intonasi suaranya menyerupai Maya, lemah lembut dan kalem. Meski lidahnya sedikit kelu, belum terbiasa seperti ini. Ada sedikit jera juga, mengingat sudah berkali-kali dia hampir ketahuan karena tidak bisa mengontrol diri.

“Saya baru tahu kamu bisa baca buku itu.”

Di telinga Mulan, itu seperti sebuah ejekan yang membuatnya mengernyit. “Maksudnya? Semua orang bisa baca.”

“Saya kira kamu hanya suka film romansa atau novel-novel dengan kisah yang aneh.”

“Hmm.” Mulan mengedikkan bahunya acuh. Tidak terlalu memikirkan ucapan Juan. Pasti yang dimaksud pria itu adalah hobi Maya yang memang berkebalikan dengan hobi Mulan sediri. Meski sama-sama suka membaca, keduanya memiliki genre sendiri.

Suara kursi yang ditarik membuatnya melirik sekilas. Juan sudah duduk di hadapannya dengan sebuah ensiklopedia di atas meja. Hening merajai suasana, hanya ada helaan napas masing-masing. Mereka sibuk dengan kegiatannya, meski sesekali saling lirik dan membuang wajah segera saat tertangkap basah.

“Saya harap kamu bisa membuang perasaan kamu.” Juan kembali angkat bicara. Rasanya sudah cukup berpura-pura diam sejak tadi. Padahal meski tatapannya tertuju pada buku yang terbuka, tapi fokusnya malah tersita dengan keberadaan perempuan di sampingnya.

“Maksudnya?” Mulan mengalihkan perhatiannya. Dia menutup buku dan beralih menatap Juan dengan tatapan tak mengerti. Sebelah alisnya terangkat naik, menantang Juan melanjutkan ucapannya.

“Perasaan kamu.”

“Kenapa?” tantang Mulan makin berani. Meski tak cukup paham maksud ucapan pria di depannya itu.

“Saya harap kamu bisa bersikap selayaknya seorang adik. Buang jauh-jauh perasaan toxic itu.”

Mulan semakin mengerutkan keningnya dalam. Apa maksud ucapan pria di depannya ini. Perasaan toxic? Toxic semacam apa yang dimaksud? Sebenarnya apa yang terjadi antara Maya dan Juan selama ini? Apa mereka terlibat hubungan aneh antara saudara?

Mulan terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari kepergian Juan dari sana. Pria itu sepertinya hanya ingin memberi penegasan pada Mulan. Padahal perempuan yang diajak bicara pun, bukan adiknya.

Mulan menatap pintu dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski bukan urusannya, rasa penasaran malah makin tumbuh pesat seiring dengan sikap pria itu yang menarik perhatiannya. “Mungkin aku akan mencari tahu segera mungkin,” putusnya.

***

Joe baru keluar dari area kampus. Dia terpaksa pulang cukup larut karena tugas dari Asdos yang lumayan banyak. Belum lagi beberapa temannya malah asyik bermain dan menganggu pekerjaannya. Tugasnya harus molor beberapa jam. Melihat sebuah Swalayan di pinggir jalan, Joe memutuskan mampir sebentar. Sepertinya dia perlu memberi minuman Isotonik. Tenaganya terasa terkuras seharian ini.

Joe segera memarkirkan mobilnya. Dia masuk ke dalam sembari bersenandung kecil. Tiba di rak minuman, Joe sibuk mencari minuman yang diinginkannya. Hingga tiba-tiba bahunya sedikit terdorong dan suara pekikan perempuan tertangkap telinganya.

Joe menoleh. Dia melihat seorang perempuan yang mungkin adalah pelayan di Swalayan tersebut.

Sorry,” cicit perempuan itu dengan kepala menunduk dalam.

“Oke. Kamu gak apa-apa?” tanya Joe berusaha melihat wajah pelayan itu.

Namun, perempuan itu malah semakin menarik topinya ke bawah. Menghalangi pandangan Joe yang ingin melihat wajahnya.

“Saya tidak apa-apa. Permisi.” Pelayan tersebut segera pergi dari sana.

Joe yang melihatnya memberikan tatapan aneh. Namun sedetik kemudian kembali mencari minumannya. Dia tidak perlu memusingkan kejadian kecil tadi. Tujuannya hanya untuk membeli minuman dan segera pulang secepatnya.

Sementara perempuan tadi, bersembunyi di deretan makanan. Jauh dari pandangan Joe. Napasnya memburu. Dia memegang dadanya yang berdetak hebat.  Dia mengintip lagi, melihat Joe yang sudah menuju kasir dan akan segera pergi. Helaan napas lega terdengar. Dia membuka topi, dan menyugar rambutnya sendiri.

“Hampir saja.” Desahan lega keluar dari bibir merah mudanya. Maya, yang sejak tadi menyamar tak dapat menyembunyikan kelegaannya. Hampir saja dia ketahuan dengan sang kakak. Dia lupa Swalayan ini dekat dengan kampus Joe. Besar kemungkinan kakaknya akan kembali lagi besok atau hari berikutnya. Maya harus segera mencari tempat baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam dan Cinta   Pergi

    Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D

  • Antara Dendam dan Cinta   Bisakah Berbaikan?

    Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k

  • Antara Dendam dan Cinta   Pergilah, Sayang

    Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak

  • Antara Dendam dan Cinta   Mari Bersama

    Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D

  • Antara Dendam dan Cinta   Kegalauan Maya

    Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema

  • Antara Dendam dan Cinta   Kecemasan Semua Orang

    Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status