Juan menutup berkas pekerjaannya dengan kasar. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Beberapa Minggu ini dia terlalu lelah. Lelah dengan pekerjaan yang menumpuk, dan lelah menghindar dari adik perempuannya. Beberapa kali dia seperti bermain kucing-kucingan. Berangkat pagi dan pulang larut agar tidak bersitatap dengan Maya. Bahkan sikapnya juga berubah menjadi dingin dan tak tersentuh pada sang adik.
Juan belum menyiapkan diri berhadapan dengan sang adik setelah kejadian beberapa minggu lalu. Kaget? Jelas. Dia tidak percaya Maya mampu mengungkapkan hal yang tak pernah dibayangkannya.
“Aku cinta kakak. Bukan sebagai seorang adik, tapi sebagai perempuan yang mencintai prianya.”
Ungkapan Maya malam itu masih membekas di otaknya. Juan hanya mematung tanpa merespon apa pun. Tangannya yang berada di kepala sang adik, perlahan turun. Terlalu syok dengan keadaan yang menurutnya sangat buruk.
Juan hanya memberikan tatapan datar, sebelum melangkah pergi meninggalkan Maya sendirian. Pikirannya tiba-tiba kacau. Juan tidak menyangka perhatiannya pada sang adik malah disalahartikan. Padahal dia menyayangi Maya layaknya adik, princess satu-satunya di keluarga mereka. Mungkin memang dia terlalu memanjakan Maya dari adiknya yang lain. Dia hanya tidak ingin Maya kekurangan kasih sayang, apalagi ibu mereka meninggal tepat setelah melahirkan Maya ke dunia ini. Adiknya itu bahkan belum sempat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Sebagai seorang kakak, Juan tidak mau Maya berpikir demikian.
Menghindar dari Maya sepertinya bukan hal yang mudah. Apalagi sekarang Maya tampak selalu berada di batas pandangannya. Sepertinya semua sudut tempat selalu mempertemukan mereka, baik sengaja ataupun tidak. Bahkan tadi pagi, dia memasakan diri sarapan bersama dengan perempuan itu. Setelah acara perang dinginnya, Juan pikir ini yang terbaik. Membatasi sikap dan bersikap acuh pada sang adik.
Memilih menyudahi acara kerjanya, Juan beranjak dari ruangan besar tersebut. Hari ini dia memang mengerjakan semuanya di rumah. Sedangkan Julian yang mengurus keperluan kantor, sedangkan Joe mungkin sudah berada di kampus. Meski banyak pengawal di sini, tetap saja harus ada salah satu dari mereka yang menjaga sang adik. Mereka takut Maya kesepian bila ditinggal terlalu lama.
Juan mengamati sekitar. Keningnya berkerut samar mencari keberadaan sang adik yang belum tampak. Dia melihat jam di pergelangan tangannya, sudah siang. Biasanya Maya duduk santai di ruang tengah sambil menonton serial romansa kesukaannya. Namun sejak tadi Juan tidak melihat batang hidung perempuan itu sama sekali. Ada kegusaran di dadanya.
“Hey, sini!” Juan memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat di sekitarnya.
Pelayan tersebut menghampirinya dengan kepala menunduk sopan. “Ada apa, Tuan?”
“Ke mana Maya?”
Pelayan tersebut tampak berpikir sesaat, berusaha mengingat keberadaan nonanya. “Nona Maya di perpustakaan bawah, Tuan.”
Juan mengernyit heran. Dia segera melewati pelayan itu dan menyusul sang adik di perpustakaan bawah. Dia penasaran untuk apa sang adik di sana. Pasalnya Maya paling tidak suka dengan tempat itu yang cukup berdebu dengan aroma buku tuanya. Sang adik memiliki perpustakaan sendiri di lantai atas yang jelas lebih luas dan bersih. Ayah mereka sengaja membuatnya hanya untuk sang putri kesayangan.
Tiba di depan perpustakaan, Juan sedikit mengintip dari pintu yang terbuka. Di sana memang ada sang adik yang tengah fokus dengan buku di tangannya. Juan semakin mengernyit. Dia melangkah pelan, berusaha tak menimbulkan suara apa pun.
Mulan yang masih asyik membaca novel, tak menyadari kehadiran Juan. Dia terlalu tenggelam dengan dunianya. Sesekali senyum tipis merekah di bibirnya membaca novel romansa tersebut. Dia memang penikmat cerita romasa klasik. Menurutnya cinta zaman dulu lebih manis, dan tidak lebay. Semua perjuangan yang dilakukan setiap pasangan tidak main-main. Meski ending, tidak selalu manis seperti harapannya.
“Kamu membaca buku klasik?” tanya Juan yang sekaligus mengagetkan Mulan. Bahkan Mulan sampai menjatuhkan bukunya karena terlalu kaget.
Mulan menatap pelaku dengan sengit. Dia segera menunduk dan meraih novel yang terjatuh. Namun di waktu yang bersamaan, Juan juga melakukan hal yang sama. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Mulan mendongak, menatap Juan lebih dekat. Matanya berkedip beberapa kali. Merasa debarannya terlalu cepat.
Juan yang pertama kali melepaskan pegangannya. Dia kembali berdiri dan berdehem singkat. Tubuhnya sedikit kaku dengan sentuhan fisik yang terasa asing.
‘Seperti di film saja,’ batin Mulan geli.
“Maaf, mengagetkan.”
“Iya.” Mulan kembali santai. Melupakan keadaan yang sempat canggung beberapa menit sebelumnya. Dia membuka novel dan mencari halaman yang tadi dibacanya. Sedangkan Juan mengamati setiap pergerakannya hingga Mulan risih.
“Kakak ada perlu?” tanya Mulan akhirnya. Berusaha menjaga intonasi suaranya menyerupai Maya, lemah lembut dan kalem. Meski lidahnya sedikit kelu, belum terbiasa seperti ini. Ada sedikit jera juga, mengingat sudah berkali-kali dia hampir ketahuan karena tidak bisa mengontrol diri.
“Saya baru tahu kamu bisa baca buku itu.”
Di telinga Mulan, itu seperti sebuah ejekan yang membuatnya mengernyit. “Maksudnya? Semua orang bisa baca.”
“Saya kira kamu hanya suka film romansa atau novel-novel dengan kisah yang aneh.”
“Hmm.” Mulan mengedikkan bahunya acuh. Tidak terlalu memikirkan ucapan Juan. Pasti yang dimaksud pria itu adalah hobi Maya yang memang berkebalikan dengan hobi Mulan sediri. Meski sama-sama suka membaca, keduanya memiliki genre sendiri.
Suara kursi yang ditarik membuatnya melirik sekilas. Juan sudah duduk di hadapannya dengan sebuah ensiklopedia di atas meja. Hening merajai suasana, hanya ada helaan napas masing-masing. Mereka sibuk dengan kegiatannya, meski sesekali saling lirik dan membuang wajah segera saat tertangkap basah.
“Saya harap kamu bisa membuang perasaan kamu.” Juan kembali angkat bicara. Rasanya sudah cukup berpura-pura diam sejak tadi. Padahal meski tatapannya tertuju pada buku yang terbuka, tapi fokusnya malah tersita dengan keberadaan perempuan di sampingnya.
“Maksudnya?” Mulan mengalihkan perhatiannya. Dia menutup buku dan beralih menatap Juan dengan tatapan tak mengerti. Sebelah alisnya terangkat naik, menantang Juan melanjutkan ucapannya.
“Perasaan kamu.”
“Kenapa?” tantang Mulan makin berani. Meski tak cukup paham maksud ucapan pria di depannya itu.
“Saya harap kamu bisa bersikap selayaknya seorang adik. Buang jauh-jauh perasaan toxic itu.”
Mulan semakin mengerutkan keningnya dalam. Apa maksud ucapan pria di depannya ini. Perasaan toxic? Toxic semacam apa yang dimaksud? Sebenarnya apa yang terjadi antara Maya dan Juan selama ini? Apa mereka terlibat hubungan aneh antara saudara?
Mulan terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari kepergian Juan dari sana. Pria itu sepertinya hanya ingin memberi penegasan pada Mulan. Padahal perempuan yang diajak bicara pun, bukan adiknya.
Mulan menatap pintu dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski bukan urusannya, rasa penasaran malah makin tumbuh pesat seiring dengan sikap pria itu yang menarik perhatiannya. “Mungkin aku akan mencari tahu segera mungkin,” putusnya.
***
Joe baru keluar dari area kampus. Dia terpaksa pulang cukup larut karena tugas dari Asdos yang lumayan banyak. Belum lagi beberapa temannya malah asyik bermain dan menganggu pekerjaannya. Tugasnya harus molor beberapa jam. Melihat sebuah Swalayan di pinggir jalan, Joe memutuskan mampir sebentar. Sepertinya dia perlu memberi minuman Isotonik. Tenaganya terasa terkuras seharian ini.
Joe segera memarkirkan mobilnya. Dia masuk ke dalam sembari bersenandung kecil. Tiba di rak minuman, Joe sibuk mencari minuman yang diinginkannya. Hingga tiba-tiba bahunya sedikit terdorong dan suara pekikan perempuan tertangkap telinganya.
Joe menoleh. Dia melihat seorang perempuan yang mungkin adalah pelayan di Swalayan tersebut.
“Sorry,” cicit perempuan itu dengan kepala menunduk dalam.
“Oke. Kamu gak apa-apa?” tanya Joe berusaha melihat wajah pelayan itu.
Namun, perempuan itu malah semakin menarik topinya ke bawah. Menghalangi pandangan Joe yang ingin melihat wajahnya.
“Saya tidak apa-apa. Permisi.” Pelayan tersebut segera pergi dari sana.
Joe yang melihatnya memberikan tatapan aneh. Namun sedetik kemudian kembali mencari minumannya. Dia tidak perlu memusingkan kejadian kecil tadi. Tujuannya hanya untuk membeli minuman dan segera pulang secepatnya.
Sementara perempuan tadi, bersembunyi di deretan makanan. Jauh dari pandangan Joe. Napasnya memburu. Dia memegang dadanya yang berdetak hebat. Dia mengintip lagi, melihat Joe yang sudah menuju kasir dan akan segera pergi. Helaan napas lega terdengar. Dia membuka topi, dan menyugar rambutnya sendiri.
“Hampir saja.” Desahan lega keluar dari bibir merah mudanya. Maya, yang sejak tadi menyamar tak dapat menyembunyikan kelegaannya. Hampir saja dia ketahuan dengan sang kakak. Dia lupa Swalayan ini dekat dengan kampus Joe. Besar kemungkinan kakaknya akan kembali lagi besok atau hari berikutnya. Maya harus segera mencari tempat baru.
Pagi ini Mulan berniat jalan-jalan sebentar. Beberapa hari di sini dirinya malah terasa dikurung dalam sangkar emas. Memang semua kebutuhannya terpenuhi dengan sangat lengkap, bahkan apa pun yang dimintanya selalu dipenuhi dengan mudah. Namun, tetap saja dia bosan di dalam mansion ini terus. Belum pernah sekalipun dirinya menginjakkan kaki di luar. Setelah acara sarapan, ketiga kakaknya sudah menjalani aktivitas masing-masing. Tadi dia pun sempat melihat Joe dan Julian yang sudah pergi dengan mobil masing-masing. Sedangkan Juan? Mulan mengedikkan bahu pelan. Tidak peduli pada si datar itu. Dia belum melihat batang hidungnya lagi. Mereka bahkan jarang bertegur sapa setelah kejadian di perpustakaan tempo itu. Mulan tak ambil pusing. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan damai selama di sini. Saat dirinya baru membuka pintu kamar, sudah ada sosok pria yang berdiri di depan sana. Mulan memutar bola mata jengah melihatnya. Satu penghalang yang selalu merepotkan. Dia ti
Joe menatap bergantian pada adik dan kakak pertamanya. Sejak pulangnya dari kampus siang ini, suasana di ruang tengah terasa menegangkan. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dunia yang siap meledak kapan saja. Joe menatap kakak pertamanya, Juan. Beberapa waktu belakangan sikap sang kakak menjadi semakin dingin. Bahkan Juan yang biasanya lembut pada Maya, tampak semakin tak tersentuh. Ini jelas tak seperti biasanya. Joe sampai bingung dengan perubahan tersebut. Sepertinya ada hal yang disembunyikan Juan dari mereka semua. Lalu dengan Maya? Sang adik berubah menjadi perempuan dengan sifat yang berkebalikan dari sebelumnya. Mulai dari tutur kata sampai gesture tubuh. Entah dirinya yang terlalu berlebihan atau yang lain memang tidak peka. “Uhuk.” Joe pura-pura terbatuk. Namun baik sang adik maupun kakaknya hanya melirik sekilas. Tak ada yang berniat membantunya. “Uhuk ... Uhuk.” Joe semakin mengeraskan batuknya. Dia semakin kesal saja melihat resp
Maya menghela napas panjang. Seharian ini dia benar-benar suntuk, bosan, dan tidak ada kerjaan sama sekali. Dia sudah berhenti dari tempat kerjanya kemarin. Dia tidak bisa terus di sana dan beresiko bertemu dengan sang kakak suatu hari nanti. Itu hanya akan membahayakan rencana yang sedang dijalani. Namun setelah berhenti, sekarang dia malah tidak memiliki aktivitas apa pun. Mencari pekerjaan baru pun tidak semudah bayangannya selama ini. Dia banyak mendapatkan penolakan bahkan saat pertama kali melamar. Kemarin sempat pula dia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan ganti. Namun baru dua jam, dia sudah berhasil memecahkan lima piring dan tiga gelas mahal. Maya jelas dimarahi habis-habisan sampai dia pulang dalam keadaan menangis. Sedikit keberuntungannya, dia tidak dituntut ganti rugi. Padahal bisa saja pihak restoran menagih ganti rugi dari barang mahal yang dipecahkannya. Maya merasa tidak cocok berkerja di restoran itu. Bahkan luka di tangannya belum juga semb
“Kamu mau ke mana?” Julian yang baru datang menatap heran dengan penampilan Joe. Adiknya itu tampak sangat rapi, seakan mau pergi saja. Biasanya Joe tidak pernah berpenampilan serapi ini bila hanya mau pergi ke kampus atau bermain. “Pesta.” “Dengan Maya?” tebak Julian yang memang benar sepenuhnya. Joe memberikan senyum lebar dengan anggukan mantap, Julian mendengus melihatnya. “Cari pasanganlah. Jangan selalu membawa Maya sebagai pasangan ke pesta begini.” “Malas. Selama ada Maya, untuk apa wanita lain?” jawabnya santai. “Masalahnya kamu terlalu mendominasi. Aku jadi tidak punya waktu membawa dia,” tukas Julian dengan jengkel. Joe berdecih, sangat paham dengan maksud sang kakak. Julian juga butuh Maya untuk menjadi pasangannya. Memang ketiga pria Walter tidak pernah terlibat skandal dengan wanita mana pun. Mereka single dan bahagia. Sampai detik ini, wanita tidak masuk ke dalam pikiran mereka. Terlalu banyak urusan dan ta
Juan tidak bisa tenang. Sejak tadi yang dilakukannya hanya melihat pergerakan jam dinding yang sangat lambat. Entah baterainya yang akan habis, apa memang kesabarannya yang mulai menipis. Rasanya dia ingin memutar jam secepat mungkin dan menunggu kedatangan sang adik. Sudah dua jam sejak kepergian Maya dan Joe, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepulangan keduanya. Juan makin gusar sendiri. Dia jelas melihat penampilan gadis itu yang sangat cantik luar biasa. Padahal dia sering melihat penampilan Maya yang sejak lahir memang cantik, tapi kenapa malm ini terasa sangat berbeda. Maya memang bakat membuat orang terpikat, terjerumus pada pesona yang tidak mudah ditampik. Semakin Juan berusaha menghindar, jiwanya malah makin terikat tanpa sadar. Entah kenapa Juan baru menyadari beberapa hari ini. “Sialan! Kenapa mereka lama sekali.” Juan makin gusar. Dia tidak bisa tinggal diam saja sedangkan perasaannya makin resah begini. Ingin sekali dia menjemput Maya dan memaksany
Bisa kita bertemu? Mulan membaca pesan itu dengan seksama. Setelah mengetik balasan dan mengirimkannya, dia segera bersiap-siap. Siang ini dia akan bertemu dengan Maya di kafe biasanya. Kebetulan keadaan rumah cukup sepi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Juan yang biasanya selalu memantau kesehariannya sedang tidak di rumah. Setidaknya dia memiliki waktu bebas tanpa tatapan tajam pria itu. Mulan memakai pakaian santai yang nyaman. Karena dominan baju di lemarinya adalah gaun, Mulan tidak memiliki pilihan lain. Sepertinya dia harus menyuruh beberapa pelayan menyiapkan kaos dan celana nanti. Dia sudah gerah dengan gaun yang terlalu feminim seperti ini. Setelah penampilannya sempurna, Mulan segera meraih tas selempang dan keluar dari kamarnya. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Beruntung tidak ada pelayan yang berkeliaran seperti biasanya. Dia bisa pergi tanpa ada hambatan. Namun sialnya, Mulan melupakan satu
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Maya yang sedang membereskan barang-barangnya. Sudah hampir dua jam mereka berbincang. Maya yang menjawab beberapa pertanyaan ringan yang Mulan ajukan. Apalagi terkait dengan Alfa dan beberapa teman lain yang dikenalnya. Jelas tanpa mengungkit kembali masalah perasaannya pada Juan. Maya sudah memberikan respon apatis untuk sebagai tanda larangan.Mulan menoleh sebentar dan menggeleng. “Tidak. Ada tempat yang harus aku datangi setelah ini,” jawabnya dengaan jujur.“Kamu sudah izin ke Kak Juan atau Bruce?”“Tidak juga.”Maya memelotot mendengarnya. “Kamu serius?” pekiknya tanpa sadar. Beberapa pengunjung di sana langsung menatapnya dengan ekspresi terganggu. Maya meringis dan memohon maaf lewat tatapannya.Sedangkan Mulan yang sudah selesai memasukkan barangnya ke dalam tas, menatap Maya dengan lekat. Sebelah alisnya naik ke atas, “Aku tidak perlu izin
“Istri sialan! Mati kau ke neraka!” Plak. Ringan sekali Robin melayangkan tamparannya. Wajah Lucy sampai terlempar ke samping, sudut bibirnya sudah robek dan terluka dengan cukup parah. Entah sudah keberapa kali tamparan itu didapatkannya, Lucy tidak bisa melawan. Lebih tepatnya tidak akan melawan. Karena dia sadar dirinyalah yang bersalah di sini. Dia yang mematik api lebih dulu. “Robin, maafkan aku.”“Maaf? Maaf setelah kamu melakukan sejauh ini?” Robin menatap sengit pada wanita di bawahnya. Tatapannya sungguh bengis, kedua tangannya mengepal. Rasanya tak puas hanya menampar wanita itu. Setiap hari emosinya tidak pernah reda. Lucy masih bersimpuh di kaki sang suami, memeluknya dengan erat. Tatapannya memohon belas kasih yang tidak akan pernah ada lagi. Robin seakan manusia tanpa hati. Lantaran hatinya pun terkikis oleh penghianatan orang yang dicintainya. &l