Pagi ini Mulan berniat jalan-jalan sebentar. Beberapa hari di sini dirinya malah terasa dikurung dalam sangkar emas. Memang semua kebutuhannya terpenuhi dengan sangat lengkap, bahkan apa pun yang dimintanya selalu dipenuhi dengan mudah. Namun, tetap saja dia bosan di dalam mansion ini terus. Belum pernah sekalipun dirinya menginjakkan kaki di luar.
Setelah acara sarapan, ketiga kakaknya sudah menjalani aktivitas masing-masing. Tadi dia pun sempat melihat Joe dan Julian yang sudah pergi dengan mobil masing-masing. Sedangkan Juan? Mulan mengedikkan bahu pelan. Tidak peduli pada si datar itu. Dia belum melihat batang hidungnya lagi. Mereka bahkan jarang bertegur sapa setelah kejadian di perpustakaan tempo itu. Mulan tak ambil pusing. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan damai selama di sini.
Saat dirinya baru membuka pintu kamar, sudah ada sosok pria yang berdiri di depan sana. Mulan memutar bola mata jengah melihatnya. Satu penghalang yang selalu merepotkan. Dia tidak pernah bisa melewati penghalang yang ini. Seperti bayangan, ke mana pun selalu ada.
“Nona?” Bruce membalikkan badan dan menunduk hormat. Dia kembali menatap Mulan dengan tatapan lurus, tidak ada riak emosi di wajah tampannya. Sepertinya pria itu butuh pendidikan ekspresi untuk menujukkan perasaannya. “Apa Nona akan keluar?”
“Iya.”
“Maaf, Nona. Saya mendapatkan pesan agar Anda tidak ke mana pun hari ini.”
“Kenapa begitu?” sentak Mulan yang mulai kesal dengan semua larangan di rumah ini. Kedua tangannya terlipat di depan dada, memberikan tatapan menatang pada sang pengawal. Sejak menginjakkan kaki di sini, Mulan sadar pria itu tidak pernah mendengarkan perintahnya. Bruce hanya akan menuruti perintah Juan, itu katanya.
Bruce seakan tidak terpengaruh sedikitpun melihat sikap Mulan yang terang-terangan menatapnya tak suka. “Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah. Saya harap Nona kembali masuk ke dalam kamar dan beristirahat.”
“Demi Tuhan, Bruce! Kenapa aku harus istirarahat terus? Aku tidak sakit, dan aku bosan di dalam kamar,” erangnya dengan nada suara yang naik beberapa oktaf. Mulan sampai meraup wajahnya dengan kasar.
Para pelayan yang kebetulan melewati kamarnya, berhenti sejenak dan mencuri dengar. Mereka bisik-bisik melihat perdebatan di pagi ini. Mereka baru kembali pergi saat mendapat delikan tajam dari Mulan. Penguping, rutuk Mulan dalam hati.
Mulan kembali memandang Bruce, berusaha bersabar dan menjelaskan keinginannya pada pria datar itu. “Aku hanya ingin keluar sebentar. Dan pulang secepat mungkin. Jadi, lebih baik kamu minggir dan biarkan aku lewat.”
“Di luar bahaya, Nona. Anda bisa celaka.”
“Di rumah aku juga bisa mati kebosanan,” balas Mulan hampir berteriak di depan pengawal itu. Bruce bahkan sampai mundur selangkah dengan wajah kaget.
“Ada apa ini?”
Mulan dan Bruce kompak menoleh. Bruce lekas menunduk hormat, sedangkan Mulan memutar bola mata malas. Pria datar satu lagi. Bila diperhatikan Bruce dan Juan hampir memiliki sifat yang sama. Dingin, datar, tak tersentuh, dan menyebalkan. Bahkan kedatangan dua pria itu layaknya hantu yang suka muncul tiba-tiba.
“Ada apa, Maya?” tanya Juan yang melihat gadis di depannya belum berniat membuka mulut.
“Aku ingin keluar.”
Juan mengangkat sebelah alisnya ke atas, semakin mempertanyakan jawaban yang didengarnya, “Ke mana?”
“Taman.”
“Taman? Untuk apa?”
Mulan menatap Juan dengan sengit. “Belanja, ya buat santai-santai dong, Kak.”
Juan menipiskan bibirnya, ada gurat kesal di wajahnya yang datar. Jelas dia paling tidak suka dengan nada bicara Mulan yang seakan menantangnya. Namun terlebih dahulu, dia menoleh pada Bruce, memberi tanda agar pengawal itu pergi meninggalkan mereka.
Bruce mengangguk dan lekas pergi dengan langkah tegapnya. Dia tidak menoleh ke belakang lagi, sadar itu bukan urusannya.
Sedangkan Mulan masih bersidekap, tidak mau memandang Juan sama sekali. Mereka berdua masih bertahan di depan kamar Mulan yang pintunya masih terbuka lebar.
“Kamu kembali masuk ke dalam!” perintah Juan yang membuat Mulan mendelik.
“Tidak mau!”
“Maya, saya bilang masuk!” Juan mengulang perintahnya, kali ini dengan nada lebih keras.
Mulan bukan Maya yang akan menurut dengan mudah. Dia tidak suka dikekang dan diperintah sembarangan. Jiwa Mulan lebih bebas dan selalu memberontak. Maka alih-alih menuruti perintah pria itu, Mulan malah mengambil langkah dan melewati Juan begitu saja.
Juan melotot. Tanpa pikir panjang dia mencekal lengan Mulan dengan keras hingga si empunya meringis. “Jangan menguji kesabaran saya, Maya!” tekannya di setiap ucapannya.
Mulan menatap lengannya yang dicengkram erat, kemudian tatapannya naik menatap Juan yang memberikan tatapan tajamnya. Pria itu marah, itu jelas. Namun Mulan pun mulai tersulut dengan sikap pria itu yang kelewat kasar.
“Lepas, Kak!” pinta Mulan tapi dengan wajah marahnya.
“Jangan membantah. Saya tidak suka seorang adik pembangkang.”
“Dan aku sudah muak dikekang,” balas Mulan dengan berani.
Juan mengetatkan rahangnya. Egonya tersetil dengan sikap Mulan yang begini. “Apa maumu? Kamu sengaja bersikap seperti ini untuk menarik perhatian saya, hum? Jika memang itu rencanamu, selamat! Kamu berhasil menarik perhatian saya dan membuat saya kesal.”
Alis Mulan bertaut, cekalan tangannya belum juga terlepas, malah makin mengerat. Dia tersenyum miring. “Aku tidak pernah berusaha menarik perhatian Kakak, sama sekali tidak. Tapi sepertinya Kakak yang sangat peduli padaku. Iya, kan?”
“Karena kamu adik saya!” jawab Juan tegas.
Mulan mengangguk berkali-kali. “Adik, ya?” ulangnya dengan ekspresi seakan berpikir. Kemudian dia kembali menatap Juan, memberikan senyum lebar yang terasa asing. “Tidak lebih?” tantangnya berani.
Juan mengerutkan keningnya, tak suka mendengar pertanyaan itu. “Jangan ngawur!” ekspresinya menjadi kaku.
“Ngawur apa sih, Kak? Aku hanya bertanya.”
Juan makin mengeraskan rahangnya. Dia seakan lupa di depannya ini adalah seorang perempuan. Tenaganya yang kuat, seakan bisa meremukkan Mulan dengan mudah.
“Baiklah. Aku hanya bercanda. Bisa lepas tangan ini. Ini sakit loh.” Mulan mengangkat lengannya, memberitahu cekalan yang belum juga terlepas. Dia sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang makin terasa. Dalam hati, mengutuk Juan sialan.
Dengan cepat Juan melepaskannya. Melihat lengan Mulan yang memerah karena ulahnya. Namun, alih-alih meminta maaf, dia hanya memberikan tatapan datar. Lidahnya kelu untuk meminta maaf.
Mulan meringis, meraba lengannya sendiri. Dia kembali menatap Juan, menarik napas panjang sebelum kembali bicara. “Jika memang kakak menganggap aku sebagai adik, berperilakulah seperti seorang kakak pada umumnya. Seperti Kak Joe dan Kak Julian. Tidak perlu menghindar dan bersikap dingin seperti ini. Aku tidak mau menduga sesuatu yang salah nantinya karena sikap kakak yang begini.”
“Maksud kamu?”
“Aku tahu kakak mengerti maksudku. Kakak minta aku bersikap layaknya adik, maka aku pun meminta hal yang sama. Bersikaplah layaknya seorang kakak.” Mulan memberikan senyum manis di akhir kalimatnya. Kali ini bukan fake smile seperti biasanya. Ini senyum tulus dari dasar hatinya. Entah kenapa dibalik sikap Juan yang datar, Mulan merasa pria itu tengah linglung, tersesat dalam sebuah perasaan yang entah apa. Mulan hanya ingin mengulurkan tangan dan berniat membantu pria itu agar tidak terus menerus tersesat. Juan seperi butuh dituntun keluar.
“Aku kembali ke kamar,” ujar Mulan setelah tidak ada lagi yang harus dibicarakan.
Juan masih mematung. Ekspresinya kaku dengan gejolak aneh di dadanya. Tangannya bergerak sendiri dan memegang di sana. Debaran ini kenapa sering muncul beberapa saat terakhir? Juan bisa frustasi dengan keadaan ini. Dia mengacak rambutnya sendiri dan lekas pergi dari sana.
Sedangkan dibalik tembok, seseorang mencuri dengar semuanya. Dia menjadi penonton dari pertunjukan yang Mulan dan Juan lakoni. Ada senyum miring yang terbit di tarikan bibirnya, setelah itu kakinya berbalik dan menjauh dari tempat persembunyiannya.
Yuhuu, sampai di sini semoga kalian suka, ya!
Joe menatap bergantian pada adik dan kakak pertamanya. Sejak pulangnya dari kampus siang ini, suasana di ruang tengah terasa menegangkan. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dunia yang siap meledak kapan saja. Joe menatap kakak pertamanya, Juan. Beberapa waktu belakangan sikap sang kakak menjadi semakin dingin. Bahkan Juan yang biasanya lembut pada Maya, tampak semakin tak tersentuh. Ini jelas tak seperti biasanya. Joe sampai bingung dengan perubahan tersebut. Sepertinya ada hal yang disembunyikan Juan dari mereka semua. Lalu dengan Maya? Sang adik berubah menjadi perempuan dengan sifat yang berkebalikan dari sebelumnya. Mulai dari tutur kata sampai gesture tubuh. Entah dirinya yang terlalu berlebihan atau yang lain memang tidak peka. “Uhuk.” Joe pura-pura terbatuk. Namun baik sang adik maupun kakaknya hanya melirik sekilas. Tak ada yang berniat membantunya. “Uhuk ... Uhuk.” Joe semakin mengeraskan batuknya. Dia semakin kesal saja melihat resp
Maya menghela napas panjang. Seharian ini dia benar-benar suntuk, bosan, dan tidak ada kerjaan sama sekali. Dia sudah berhenti dari tempat kerjanya kemarin. Dia tidak bisa terus di sana dan beresiko bertemu dengan sang kakak suatu hari nanti. Itu hanya akan membahayakan rencana yang sedang dijalani. Namun setelah berhenti, sekarang dia malah tidak memiliki aktivitas apa pun. Mencari pekerjaan baru pun tidak semudah bayangannya selama ini. Dia banyak mendapatkan penolakan bahkan saat pertama kali melamar. Kemarin sempat pula dia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan ganti. Namun baru dua jam, dia sudah berhasil memecahkan lima piring dan tiga gelas mahal. Maya jelas dimarahi habis-habisan sampai dia pulang dalam keadaan menangis. Sedikit keberuntungannya, dia tidak dituntut ganti rugi. Padahal bisa saja pihak restoran menagih ganti rugi dari barang mahal yang dipecahkannya. Maya merasa tidak cocok berkerja di restoran itu. Bahkan luka di tangannya belum juga semb
“Kamu mau ke mana?” Julian yang baru datang menatap heran dengan penampilan Joe. Adiknya itu tampak sangat rapi, seakan mau pergi saja. Biasanya Joe tidak pernah berpenampilan serapi ini bila hanya mau pergi ke kampus atau bermain. “Pesta.” “Dengan Maya?” tebak Julian yang memang benar sepenuhnya. Joe memberikan senyum lebar dengan anggukan mantap, Julian mendengus melihatnya. “Cari pasanganlah. Jangan selalu membawa Maya sebagai pasangan ke pesta begini.” “Malas. Selama ada Maya, untuk apa wanita lain?” jawabnya santai. “Masalahnya kamu terlalu mendominasi. Aku jadi tidak punya waktu membawa dia,” tukas Julian dengan jengkel. Joe berdecih, sangat paham dengan maksud sang kakak. Julian juga butuh Maya untuk menjadi pasangannya. Memang ketiga pria Walter tidak pernah terlibat skandal dengan wanita mana pun. Mereka single dan bahagia. Sampai detik ini, wanita tidak masuk ke dalam pikiran mereka. Terlalu banyak urusan dan ta
Juan tidak bisa tenang. Sejak tadi yang dilakukannya hanya melihat pergerakan jam dinding yang sangat lambat. Entah baterainya yang akan habis, apa memang kesabarannya yang mulai menipis. Rasanya dia ingin memutar jam secepat mungkin dan menunggu kedatangan sang adik. Sudah dua jam sejak kepergian Maya dan Joe, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepulangan keduanya. Juan makin gusar sendiri. Dia jelas melihat penampilan gadis itu yang sangat cantik luar biasa. Padahal dia sering melihat penampilan Maya yang sejak lahir memang cantik, tapi kenapa malm ini terasa sangat berbeda. Maya memang bakat membuat orang terpikat, terjerumus pada pesona yang tidak mudah ditampik. Semakin Juan berusaha menghindar, jiwanya malah makin terikat tanpa sadar. Entah kenapa Juan baru menyadari beberapa hari ini. “Sialan! Kenapa mereka lama sekali.” Juan makin gusar. Dia tidak bisa tinggal diam saja sedangkan perasaannya makin resah begini. Ingin sekali dia menjemput Maya dan memaksany
Bisa kita bertemu? Mulan membaca pesan itu dengan seksama. Setelah mengetik balasan dan mengirimkannya, dia segera bersiap-siap. Siang ini dia akan bertemu dengan Maya di kafe biasanya. Kebetulan keadaan rumah cukup sepi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Juan yang biasanya selalu memantau kesehariannya sedang tidak di rumah. Setidaknya dia memiliki waktu bebas tanpa tatapan tajam pria itu. Mulan memakai pakaian santai yang nyaman. Karena dominan baju di lemarinya adalah gaun, Mulan tidak memiliki pilihan lain. Sepertinya dia harus menyuruh beberapa pelayan menyiapkan kaos dan celana nanti. Dia sudah gerah dengan gaun yang terlalu feminim seperti ini. Setelah penampilannya sempurna, Mulan segera meraih tas selempang dan keluar dari kamarnya. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Beruntung tidak ada pelayan yang berkeliaran seperti biasanya. Dia bisa pergi tanpa ada hambatan. Namun sialnya, Mulan melupakan satu
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Maya yang sedang membereskan barang-barangnya. Sudah hampir dua jam mereka berbincang. Maya yang menjawab beberapa pertanyaan ringan yang Mulan ajukan. Apalagi terkait dengan Alfa dan beberapa teman lain yang dikenalnya. Jelas tanpa mengungkit kembali masalah perasaannya pada Juan. Maya sudah memberikan respon apatis untuk sebagai tanda larangan.Mulan menoleh sebentar dan menggeleng. “Tidak. Ada tempat yang harus aku datangi setelah ini,” jawabnya dengaan jujur.“Kamu sudah izin ke Kak Juan atau Bruce?”“Tidak juga.”Maya memelotot mendengarnya. “Kamu serius?” pekiknya tanpa sadar. Beberapa pengunjung di sana langsung menatapnya dengan ekspresi terganggu. Maya meringis dan memohon maaf lewat tatapannya.Sedangkan Mulan yang sudah selesai memasukkan barangnya ke dalam tas, menatap Maya dengan lekat. Sebelah alisnya naik ke atas, “Aku tidak perlu izin
“Istri sialan! Mati kau ke neraka!” Plak. Ringan sekali Robin melayangkan tamparannya. Wajah Lucy sampai terlempar ke samping, sudut bibirnya sudah robek dan terluka dengan cukup parah. Entah sudah keberapa kali tamparan itu didapatkannya, Lucy tidak bisa melawan. Lebih tepatnya tidak akan melawan. Karena dia sadar dirinyalah yang bersalah di sini. Dia yang mematik api lebih dulu. “Robin, maafkan aku.”“Maaf? Maaf setelah kamu melakukan sejauh ini?” Robin menatap sengit pada wanita di bawahnya. Tatapannya sungguh bengis, kedua tangannya mengepal. Rasanya tak puas hanya menampar wanita itu. Setiap hari emosinya tidak pernah reda. Lucy masih bersimpuh di kaki sang suami, memeluknya dengan erat. Tatapannya memohon belas kasih yang tidak akan pernah ada lagi. Robin seakan manusia tanpa hati. Lantaran hatinya pun terkikis oleh penghianatan orang yang dicintainya. &l
Sesuai dengan kesepakatan mereka. Pagi setelah sarapan, mereka akan menjemput sang ayah di bandara. Mulan terpaksa satu mobil dengan Juan lantaran Julian dan Joe sudah tiba lebih dulu di sana.Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun yang membuka mulut. Juan masih kesal dengan kepergian sang adik yang tak meminta izinnya. Padahal dia sangat panik di rumah saat mendapat kabar dari Bruce. Pengawal itu mengaku ditipu habis-habisan. Juan jadi berpikir, sejak kapan sang adik pintar berbohong? Apalagi Bruce sangat pintar, kenapa sampai bisa ditipu? Dia bahkan melampiaskan amarahnya pada Bruce, memukuli pengawal yang tidak becus menjaga sang adik.Sedangkan Mulan sejak tadi berkali-kali mencuri pandang ke arah Juan. Dia melirik pria itu dengan penuh penilaian. Memang dari ketiga pria itu, Juan memiliki tubuh yang lebih matang dan mempesona. Diam saja sudah mampu memikat banyak perempuan dengan tatapannya. Mata biru safir dengan wajah tampan. Mulan bahkan tidak menyangkal sempa