Share

4. Hujan Deras

Kantor dengan empat lantai itu terlihat gelap dan sepi. Hanya ada satu satpam yang sedang duduk di pos, sedang satu satpam lainnya berpatroli di dalam kantor.

Ananta mengetuk pagar besi dengan kunci motornya. Seorang satpam yang tadinya duduk di pos segera berlari menghampirinya, "Eh mbak Ananta. Malam-malam kesini ada apa ya? Ada barang ketinggalan?"

"Bukan. Barang saya aman kok. Aku mau lembur sebentar. Ada kerjaan yang harus diselesaikan malam ini."

"Oo begitu ya mbak. Silakan masuk!"

"Ngg, bagaimana saya bisa masuk ya? Pagarnya masih digembok."

"Oalah mbak. Maaf-maaf mbak. Saya lupa. Tunggu sebentar. Saya bukakan." Satpam itu segera mengambil kunci dari saku celananya.

Segera ia menstarter skuternya, masuk ke dalam parkiran.

"Terima kasih pak!"

"Sama-sama mbak!"

Ia berjalan masuk ke dalam kantor. Pintu depan tidak dikunci, karena masih ada satpam yang berpatroli di dalam.

Dalam ruangan terbilang cukup gelap. Hanya ada beberapa kilasan lampu dari luar. Dari arah balkon dan parkiran. Yang tentu saja belum cukup untuk mengurangi aksen seram disini.

Tek

Ananta menekan steker lampu. Ruang penulis terang benderang.

DUAR!!

Bunyi petir dari luar menggelegar. Ia memandang ke arah jendela. Jendela di ruangan mereka berukuran memanjang. Dari atas sampai ke bawah.

Beberapa tetes-tetes air mulai turun dan membasahi kaca. Lalu, kemudian turun deras.

Saat itu juga, ia sudah larut dengan pekerjaannya.

Tek...tek...tek...

Hanya di malam hari, ia bisa menuangkan idenya cukup lancar.

Pukul delapan lewat tiga puluh menit.

"Ananta, udah jam segini kamu baru ketik dua halaman? Come on! Apa sih yang menganggu pikiranmu?" Tangannya dilepasnya dari keyboard.

Merebahkan punggungnya ke atas sofa yang nyaman sekarang menjadi pilihannya. Di ruangan penulis memang ada sofa untuk tamu.

Di luar sana, hujan masih mengguyur parah. Angin juga masih terlihat kencang. Ada satu ranting pohon yang dekat jendela, terkena angin. Jadi, ranting itu seolah-olah mengetuk-ngetuk jendela.

Creepy? Yes. Tapi ini sudah biasa baginya. Dirinya bukan hanya kerja satu-dua tahun disini. Tapi sudah hampir menginjak lima tahun.

Dari pergantian kepala, perombakan ruangan, sampai dengan keluar-masuk karyawan. Sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Bisa dibilang, kali ini ia yang termasuk sebagai penulis senior. Namun, sialnya ia kehilangan inspirasi.

Disebabkan oleh kejadian yang baru-baru ini terjadi. Laki-laki, teman sekolah menengah kejuruannya dulu. Kembali mendekati dirinya. Ananta tahu jika laki-laki itu seorang anak nakal dan anak pembangkang di sekolah. Ditambah, laki-laki ini sudah mengejar dua temannya sebelum dirinya. Dan sudah pernah pacaran dengan wanita lain lagi setelah mengejar dirinya.

"Tidak. Kita gak cocok, Stanley!"

"Kenapa? Karena aku bodoh? Karena aku gak kulia h?"

"Aku dan kamu itu gak nyambung. Dan apa yang kamu lihat dari diriku? Aku gak cantik, aku gak kaya, dan aku pendek."

"Kamu beda daripada yang lain. Kamu satu-satunya cewek yang entah kenapa selalu hadir dalam mimpiku. Kamu beda. Itu yang kurasa. Dan aku jatuh cinta dengan dirimu pada pandangan pertama."

Stanley ingin memegang tangannya Ananta. Tangannya yang ditaruh di atas meja. Namun, segera ia menariknya sebelum Stanley memegangnya.

"Antar aku pulang!"

Hanya itu yang mampu diucapkan Ananta. Ia bingung, sungguh bingung. Mau entah berapa kali laki-laki ini disuruh pergi. Masih saja akan kembali padanya. Bukan sekali saja ia menolak laki-laki ini.

Dulu saat duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan pun terjadi sekali.

"Maaf, aku tidak ingin berpacaran. Dan aku gak suka kamu!"

Arrgh!

Ananta mengacak-ngacak rambutnya kasar. Ingin sekali dia meminta bantuan Doraemon, pergi ke masa depan. Untuk melihat dengan siapa kelak ia akan bersanding. Namun, Doraemon hanya fiksi, bukan?

"Ayo, fokus Ananta!" Ia kembali beranjak dari sofa, berjalan menuju kursi kerjanya.

Gawainya berdering, tertulis di layar 'Mama'.

"Halo...iya belum...udah makan kok tadi, sama kawan-kawan yang lain...bawa kok, tenang. Jas hujan akan selalu stand by di motor...iya sebentar lagi ya ma!...Bye."

Setelah gawai dimatikan. Kedua tangannya dinaikkan ke atas. Meregangkan tubuhnya sesaat.

Nyit!

Suara pintu berderik. Ia mendongakkan kepalanya, menatap ke arah pintu. Pintu ruangannya terbuka sedikit. Terkena angin mungkin.

Matanya kembali menatap layar komputer. Berusaha mengumpulkan konsentrasinya kembali. Apalagi sedari tadi, gawainya bunyi entah berapa kali. Stanley berulah.

Tuk..tuk..

Ranting pohon kembali mengetuk jendela.

Nyit...

Pintu kembali berderik.

Ting...

Gawai kembali berbunyi.

"Oh, tidak. Kembalikan konsentrasiku, ya Tuhan!" pekiknya.

Pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Artikelnya selesai. Dibacanya kembali. Kali ini ia membuat artikel mengenai dampak sekolah online bagi murid dan guru. Bagaimana pro dan kontranya dan lain sebagainya.

Pada saat ia berkonsentrasi, terdengar langkah kaki seseorang hampir bersamaan dengan suara derik pintu. Lampu padam.

"Eh, mati lampu?"

"Mbak!" sebuah suara berat terdengar dari arah samping.

Ananta menoleh ke arah suara. Sebuah kepala dengan cahaya yang menerangi di bawah muka tertangkap oleh matanya.

"Aaaa..."

"Maaf mbak. Ini Bejo. Saya kagetin mbak ya?" Si kepala merespon. Ia menurunkan cahaya dari mukanya. Ternyata dari senter. Ia, Mas Bejo, satpam yang tadi ada di pos.

"Oalah Mas Bejo. Kagetin saya. Ngapain arahkan senter ke muka." Ia menepuk-nepuk dadanya.

"Maaf mbak. Reflek tangannya begini."

"Ini mati lampu ya?"

"Oh iya mbak. Kalau biasa hujan deras gini. Apalagi udah jam sembilan lewat. Biasanya mati lampu. Saya kesini mau bawain senter. Takut kalau-kalau mati lampu. Dan ternyata udah keduluan mati lampunya."

"Iya-iya gak apa-apa, Mas Bejo. Terima kasih udah dibawain senter. Ini aku udahan aja lah. Mati lampu juga. Aku rapikan barang dulu ya. Aku ikut Mas Bejo ke depan. Takut juga gelap-gelap gini."

"Iya mbak. Ini mah udah biasa terjadi kalau malam. Yang namanya kantor, pas lagi sepi, kosong. Yah nyeremin."

"Udah ah Mas Bejo. Jangan buat aku makin pikir aneh-aneh. Yuk, ke depan."

"Baik mbak!"

Pukul sepuluh malam. Tinggal menyisahkan hujan rintik. Namun langit masih merah. Segera ia meluncur pulang ke rumah. Sebelum langit kembali menumpahkan airnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status