Share

4. Hujan Deras

Author: Faver
last update Huling Na-update: 2022-05-16 17:37:26

Kantor dengan empat lantai itu terlihat gelap dan sepi. Hanya ada satu satpam yang sedang duduk di pos, sedang satu satpam lainnya berpatroli di dalam kantor.

Ananta mengetuk pagar besi dengan kunci motornya. Seorang satpam yang tadinya duduk di pos segera berlari menghampirinya, "Eh mbak Ananta. Malam-malam kesini ada apa ya? Ada barang ketinggalan?"

"Bukan. Barang saya aman kok. Aku mau lembur sebentar. Ada kerjaan yang harus diselesaikan malam ini."

"Oo begitu ya mbak. Silakan masuk!"

"Ngg, bagaimana saya bisa masuk ya? Pagarnya masih digembok."

"Oalah mbak. Maaf-maaf mbak. Saya lupa. Tunggu sebentar. Saya bukakan." Satpam itu segera mengambil kunci dari saku celananya.

Segera ia menstarter skuternya, masuk ke dalam parkiran.

"Terima kasih pak!"

"Sama-sama mbak!"

Ia berjalan masuk ke dalam kantor. Pintu depan tidak dikunci, karena masih ada satpam yang berpatroli di dalam.

Dalam ruangan terbilang cukup gelap. Hanya ada beberapa kilasan lampu dari luar. Dari arah balkon dan parkiran. Yang tentu saja belum cukup untuk mengurangi aksen seram disini.

Tek

Ananta menekan steker lampu. Ruang penulis terang benderang.

DUAR!!

Bunyi petir dari luar menggelegar. Ia memandang ke arah jendela. Jendela di ruangan mereka berukuran memanjang. Dari atas sampai ke bawah.

Beberapa tetes-tetes air mulai turun dan membasahi kaca. Lalu, kemudian turun deras.

Saat itu juga, ia sudah larut dengan pekerjaannya.

Tek...tek...tek...

Hanya di malam hari, ia bisa menuangkan idenya cukup lancar.

Pukul delapan lewat tiga puluh menit.

"Ananta, udah jam segini kamu baru ketik dua halaman? Come on! Apa sih yang menganggu pikiranmu?" Tangannya dilepasnya dari keyboard.

Merebahkan punggungnya ke atas sofa yang nyaman sekarang menjadi pilihannya. Di ruangan penulis memang ada sofa untuk tamu.

Di luar sana, hujan masih mengguyur parah. Angin juga masih terlihat kencang. Ada satu ranting pohon yang dekat jendela, terkena angin. Jadi, ranting itu seolah-olah mengetuk-ngetuk jendela.

Creepy? Yes. Tapi ini sudah biasa baginya. Dirinya bukan hanya kerja satu-dua tahun disini. Tapi sudah hampir menginjak lima tahun.

Dari pergantian kepala, perombakan ruangan, sampai dengan keluar-masuk karyawan. Sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Bisa dibilang, kali ini ia yang termasuk sebagai penulis senior. Namun, sialnya ia kehilangan inspirasi.

Disebabkan oleh kejadian yang baru-baru ini terjadi. Laki-laki, teman sekolah menengah kejuruannya dulu. Kembali mendekati dirinya. Ananta tahu jika laki-laki itu seorang anak nakal dan anak pembangkang di sekolah. Ditambah, laki-laki ini sudah mengejar dua temannya sebelum dirinya. Dan sudah pernah pacaran dengan wanita lain lagi setelah mengejar dirinya.

"Tidak. Kita gak cocok, Stanley!"

"Kenapa? Karena aku bodoh? Karena aku gak kulia h?"

"Aku dan kamu itu gak nyambung. Dan apa yang kamu lihat dari diriku? Aku gak cantik, aku gak kaya, dan aku pendek."

"Kamu beda daripada yang lain. Kamu satu-satunya cewek yang entah kenapa selalu hadir dalam mimpiku. Kamu beda. Itu yang kurasa. Dan aku jatuh cinta dengan dirimu pada pandangan pertama."

Stanley ingin memegang tangannya Ananta. Tangannya yang ditaruh di atas meja. Namun, segera ia menariknya sebelum Stanley memegangnya.

"Antar aku pulang!"

Hanya itu yang mampu diucapkan Ananta. Ia bingung, sungguh bingung. Mau entah berapa kali laki-laki ini disuruh pergi. Masih saja akan kembali padanya. Bukan sekali saja ia menolak laki-laki ini.

Dulu saat duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan pun terjadi sekali.

"Maaf, aku tidak ingin berpacaran. Dan aku gak suka kamu!"

Arrgh!

Ananta mengacak-ngacak rambutnya kasar. Ingin sekali dia meminta bantuan Doraemon, pergi ke masa depan. Untuk melihat dengan siapa kelak ia akan bersanding. Namun, Doraemon hanya fiksi, bukan?

"Ayo, fokus Ananta!" Ia kembali beranjak dari sofa, berjalan menuju kursi kerjanya.

Gawainya berdering, tertulis di layar 'Mama'.

"Halo...iya belum...udah makan kok tadi, sama kawan-kawan yang lain...bawa kok, tenang. Jas hujan akan selalu stand by di motor...iya sebentar lagi ya ma!...Bye."

Setelah gawai dimatikan. Kedua tangannya dinaikkan ke atas. Meregangkan tubuhnya sesaat.

Nyit!

Suara pintu berderik. Ia mendongakkan kepalanya, menatap ke arah pintu. Pintu ruangannya terbuka sedikit. Terkena angin mungkin.

Matanya kembali menatap layar komputer. Berusaha mengumpulkan konsentrasinya kembali. Apalagi sedari tadi, gawainya bunyi entah berapa kali. Stanley berulah.

Tuk..tuk..

Ranting pohon kembali mengetuk jendela.

Nyit...

Pintu kembali berderik.

Ting...

Gawai kembali berbunyi.

"Oh, tidak. Kembalikan konsentrasiku, ya Tuhan!" pekiknya.

Pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Artikelnya selesai. Dibacanya kembali. Kali ini ia membuat artikel mengenai dampak sekolah online bagi murid dan guru. Bagaimana pro dan kontranya dan lain sebagainya.

Pada saat ia berkonsentrasi, terdengar langkah kaki seseorang hampir bersamaan dengan suara derik pintu. Lampu padam.

"Eh, mati lampu?"

"Mbak!" sebuah suara berat terdengar dari arah samping.

Ananta menoleh ke arah suara. Sebuah kepala dengan cahaya yang menerangi di bawah muka tertangkap oleh matanya.

"Aaaa..."

"Maaf mbak. Ini Bejo. Saya kagetin mbak ya?" Si kepala merespon. Ia menurunkan cahaya dari mukanya. Ternyata dari senter. Ia, Mas Bejo, satpam yang tadi ada di pos.

"Oalah Mas Bejo. Kagetin saya. Ngapain arahkan senter ke muka." Ia menepuk-nepuk dadanya.

"Maaf mbak. Reflek tangannya begini."

"Ini mati lampu ya?"

"Oh iya mbak. Kalau biasa hujan deras gini. Apalagi udah jam sembilan lewat. Biasanya mati lampu. Saya kesini mau bawain senter. Takut kalau-kalau mati lampu. Dan ternyata udah keduluan mati lampunya."

"Iya-iya gak apa-apa, Mas Bejo. Terima kasih udah dibawain senter. Ini aku udahan aja lah. Mati lampu juga. Aku rapikan barang dulu ya. Aku ikut Mas Bejo ke depan. Takut juga gelap-gelap gini."

"Iya mbak. Ini mah udah biasa terjadi kalau malam. Yang namanya kantor, pas lagi sepi, kosong. Yah nyeremin."

"Udah ah Mas Bejo. Jangan buat aku makin pikir aneh-aneh. Yuk, ke depan."

"Baik mbak!"

Pukul sepuluh malam. Tinggal menyisahkan hujan rintik. Namun langit masih merah. Segera ia meluncur pulang ke rumah. Sebelum langit kembali menumpahkan airnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Dilema & Cinta   140. Baiklah, Mari Kita Coba Pacaran!

    "Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa

  • Antara Dilema & Cinta   139. Hanya Sedikit Orang yang Bisa Menemukan Cinta Sejati

    Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho

  • Antara Dilema & Cinta   138. Masih Berani Kamu Menampakkan Diri di Hadapanku?

    Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil

  • Antara Dilema & Cinta   137. Kenapa Aku Selalu Kalah Debat darinya?

    Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter

  • Antara Dilema & Cinta   136. Aku tidak perlu Memberitahumu, Karena Tidak Ada Untungnya Bagiku

    "Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra

  • Antara Dilema & Cinta   135. Masih Gracia & Nicho Kecil part 3

    "Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status