Share

3. Irasshaimase

"Gracia, habis ini kami mau nongkrong. Teman-teman dari divisi penulis juga ikut. Kamu ikut gak?"

"Nggak deh. Malas. Kalian aja."

"Tak seru, iih. Ananta aja ikut loh!"

"Aku mau ketemu suamiku malam ini. Tak bisa!"

"Suami pula. Pasti artis K-drama. Memangnya ia kenal dirimu?"

"Sst...kalian gak tahu aja. Tiap malam kami teleponan." Ia mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya.

"Nampaknya pengen kupanggil Ananta nih! Aku minta dia bujuk kamu."

"Ayolah, Gracia. Kita mau ke restoran sushi loh. Yang baru buka minggu kemarin itu loh."

"Iya-iya. Aku ikut! Ngeselin emang kalian!"

Ruangan riuh sesaat. Kemudian, diam seketika saat Bu Lina masuk ke dalam ruangan. Semuanya kurang suka padanya. Bossy, katanya.

Seorang karyawan dari ruang editor, pergi ke ruang penulis. Memberitahu jika acara nongkrong malam ini akan diadakan di restoran sushi sekitar sini.

Ananta mendengarnya, menatap sekilas. Lalu, melanjutkan kembali. Begitulah ia, tak banyak bicara saat bekerja. Nongkrong ya urusan nanti.

Pukul lima sore. Saatnya kegiatan kantor harus dihentikan. Satu demi satu komputer dimatikan. Lampu juga beberapa mulai dipadamkan.

Namun, Ananta masih fokus menatap layarnya.

"Eh, kau belum pergi Ana? Ayo, teman-teman lain udah pada siap itu. Projeknya nanti aja dilanjutkan. Kayak gak ada hari esok aja. Ayo, keburu ditinggal sama yang lain," seorang penulis lainnya berkomentar. Sibuk mematikan komputernya dan merapikan berkas-berkasnya di meja.

"Iya. Aku matikan dulu ya!" Ananta ikut mematikan komputernya. Rencana lemburnya harus ditunda kali ini. Atau bisa jadi dibatalkan.

Ia merasa harus bersosialisasi juga. Bukannya itu bagus bagi dirinya? Mana tahu dengan itu, dia bisa mendapatkan ide mengenai artikelnya.

Saat ia keluar dari ruangannya, ia menatap sekilas ke ruangan editor. Hanya ada Bu Lina disana. Sedangkan Gracia sudah tidak tampak sama sekali.

Ananta ingin menegur Bu Lina. Karena jujur saja, tidak ada karyawan yang mau dekat dengannya. Ananta juga bingung. Mengapa orang-orang sangat membenci Bu Lina?

Namun, diurungkan niatnya. Teman-teman lainnya sudah menatapnya dengan gusar.

Dasar siput!

Kring

Terdengar bunyi lonceng ringan saat mereka masuk ke sebuah salah satu restoran sushi. Terdengar sapaan yang menjadi ciri khasnya, 'Irasshaimase', sebuah sapaan yang artinya 'Selamat datang'.

Seperti biasa, saat Ananta membuka buku menu yang disodorkan pelayan. Hal pertama yang ia lihat adalah harganya.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau namanya sushi pasti adalah makanan mahal.

Dan yang namanya mahal pasti adalah tempat yang tak pernah ada di dalam kamusnya. Hari ini ia tidak pernah membayangkan, kalau ia bisa menginjakkan kakinya di restoran sushi.

"Ananta, kamu pesan apa? Kami udah pada pesan nih. Lama benar lihat menunya. Semua yang tertulis disana dipesan aja semua." Salah seorang dari seberang meja meletuk. Terdengar beberapa tawa kecil.

Agak sedikit menganggu. Tapi ya sudahlah. Emang benar, siput selalu yang terlambat.

"Aku pesan Chicken Karaage Butter Rice ya, mbak!" pesanku pada pelayan yang setidaknya membalasku dengan senyuman. Kukira dia bakal mengerutkan wajahnya karena berdiri terlalu lama, "Sama teh ocha hangat ya, mbak!" sambungku.

"Baik. Saya ulangi pesanannya ya!"

Setelah menyebut ulang menu yang dipesan. Pelayan berlalu pergi.

Itu tandanya kesibukan antar kelompok terjadi. Awalnya ia mengira, jika keluar nongkrong seperti ini supaya ada komunikasi antar divisi. Supaya bisa lebih akrab.

Tapi ternyata tidak sama sekali. Kira-kira ini kali kedua mereka memutuskan untuk nongkrong. Yang lagi-lagi tidak mengajak kepala editor.

Kalau ditanya kepala penulis dimana? Semenjak salah satu senior memutuskan untuk resign, belum ada kandidat yang menggantikannya.

"Cia, kukira dirimu tak ikut makan. Bukannya biasa mau ketemu suamimu?"

"Yah iya. Dipaksa noh sama mereka. Kalau gak sih, aku sekarang udah di kamar. Ketemu suami aku. Hahaha."

"Dasar kamu tuh ya. Oh iya, lagi-lagi kita terbagi ke dalam tim yang berbeda-beda. Kapan ya kita bisa jadi satu tim gitu. Kan kita satu perusahaan." bisiknya kecil kepada Gracia. Kebetulan ia duduk di samping Ananta.

"Tidak bisa An. Dari zaman dahulu juga sesama manusia akan nyaman dengan kelompoknya masing-masing. Yang sefrekuensi lah pokoknya. Bahkan sampai rahasia kakek-nenek mereka masing-masing juga bakal semua tahu tuh."

"Lucu kamu Cia!"

"Lah emang benar. Makanya kalau ada satu teman se-geng yang keluar dari gengnya tiba-tiba. Patut dicurigai. Apakah dia udah gak satu visi atau tukang bongkar aib orang. Hahaha"

"Cia, sst!" Saat Ananta mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. Dari sudut matanya, ia merasa ada beberapa karyawan lain yang menatap ke arahnya dan Gracia.

Reflek, mereka memutuskan untuk bermain gawai. Tak ada satupun yang berani bicara sampai menu datang, sampai acara nongkrong selesai.

'Arigatoo gozai-masu'

"Kamu yakin mau balik kantor? Ini udah jam tujuh loh." Gracia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Malas sih sebenarnya. Tapi aku rasanya pengen cepat selesaikan artikelnya. Biar aku bisa tidur nyenyak malam ini. Kamu pulang dulu sana. Tuh teman-teman lain udah pada bubar." Dengan dagunya, Ananta menunjuk ke beberapa teman yang satu per satu menyalakan kendaraannya. Membubarkan diri.

"Okelah. Aku duluan ya. Bye."

"Bye."

Ia berjalan ke arah skuter merahnya. Memakai helm. Tak berapa lama, skuternya melintasi mulus di jalanan kota.

Beberapa lampu pijar sudah dinyalakan. Jalanan lengang. Mungkin karena bukan malam minggu. Angin juga menusuk. Langit merah sudah nampak di atas kepala. Tandanya sebentar lagi hujan.

Sebentar-sebentar ia masih bisa temui beberapa pengamen kecil di lampu merah. Begitu juga dengan gerobak-gerobak yang bertuliskan, 'Kami kaum para pencari nafkah'.

Membuatnya ia harus bersyukur akan kehidupannya kali ini. Pernah terpikirkan olehnya untuk memberikan makanan atau uang kepada mereka. Namun, pikiran jahatnya selalu merangsek masuk.

'Jangan sampai saat kamu berhenti kasih mereka makanan, ada tukang jambret yang mengintai'.

Atau

Setelah diberi uang, anak-anak pengamen itu tidak akan pernah menikmati hasilnya. Melainkan si bos yang ditaktor.

'Hanya si pemalas yang menikmati hasil jerih payah dari calon-calon penerus negara. Tanpa mencerdaskan mereka.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status