Share

3. Irasshaimase

Penulis: Faver
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-16 17:36:47

"Gracia, habis ini kami mau nongkrong. Teman-teman dari divisi penulis juga ikut. Kamu ikut gak?"

"Nggak deh. Malas. Kalian aja."

"Tak seru, iih. Ananta aja ikut loh!"

"Aku mau ketemu suamiku malam ini. Tak bisa!"

"Suami pula. Pasti artis K-drama. Memangnya ia kenal dirimu?"

"Sst...kalian gak tahu aja. Tiap malam kami teleponan." Ia mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya.

"Nampaknya pengen kupanggil Ananta nih! Aku minta dia bujuk kamu."

"Ayolah, Gracia. Kita mau ke restoran sushi loh. Yang baru buka minggu kemarin itu loh."

"Iya-iya. Aku ikut! Ngeselin emang kalian!"

Ruangan riuh sesaat. Kemudian, diam seketika saat Bu Lina masuk ke dalam ruangan. Semuanya kurang suka padanya. Bossy, katanya.

Seorang karyawan dari ruang editor, pergi ke ruang penulis. Memberitahu jika acara nongkrong malam ini akan diadakan di restoran sushi sekitar sini.

Ananta mendengarnya, menatap sekilas. Lalu, melanjutkan kembali. Begitulah ia, tak banyak bicara saat bekerja. Nongkrong ya urusan nanti.

Pukul lima sore. Saatnya kegiatan kantor harus dihentikan. Satu demi satu komputer dimatikan. Lampu juga beberapa mulai dipadamkan.

Namun, Ananta masih fokus menatap layarnya.

"Eh, kau belum pergi Ana? Ayo, teman-teman lain udah pada siap itu. Projeknya nanti aja dilanjutkan. Kayak gak ada hari esok aja. Ayo, keburu ditinggal sama yang lain," seorang penulis lainnya berkomentar. Sibuk mematikan komputernya dan merapikan berkas-berkasnya di meja.

"Iya. Aku matikan dulu ya!" Ananta ikut mematikan komputernya. Rencana lemburnya harus ditunda kali ini. Atau bisa jadi dibatalkan.

Ia merasa harus bersosialisasi juga. Bukannya itu bagus bagi dirinya? Mana tahu dengan itu, dia bisa mendapatkan ide mengenai artikelnya.

Saat ia keluar dari ruangannya, ia menatap sekilas ke ruangan editor. Hanya ada Bu Lina disana. Sedangkan Gracia sudah tidak tampak sama sekali.

Ananta ingin menegur Bu Lina. Karena jujur saja, tidak ada karyawan yang mau dekat dengannya. Ananta juga bingung. Mengapa orang-orang sangat membenci Bu Lina?

Namun, diurungkan niatnya. Teman-teman lainnya sudah menatapnya dengan gusar.

Dasar siput!

Kring

Terdengar bunyi lonceng ringan saat mereka masuk ke sebuah salah satu restoran sushi. Terdengar sapaan yang menjadi ciri khasnya, 'Irasshaimase', sebuah sapaan yang artinya 'Selamat datang'.

Seperti biasa, saat Ananta membuka buku menu yang disodorkan pelayan. Hal pertama yang ia lihat adalah harganya.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau namanya sushi pasti adalah makanan mahal.

Dan yang namanya mahal pasti adalah tempat yang tak pernah ada di dalam kamusnya. Hari ini ia tidak pernah membayangkan, kalau ia bisa menginjakkan kakinya di restoran sushi.

"Ananta, kamu pesan apa? Kami udah pada pesan nih. Lama benar lihat menunya. Semua yang tertulis disana dipesan aja semua." Salah seorang dari seberang meja meletuk. Terdengar beberapa tawa kecil.

Agak sedikit menganggu. Tapi ya sudahlah. Emang benar, siput selalu yang terlambat.

"Aku pesan Chicken Karaage Butter Rice ya, mbak!" pesanku pada pelayan yang setidaknya membalasku dengan senyuman. Kukira dia bakal mengerutkan wajahnya karena berdiri terlalu lama, "Sama teh ocha hangat ya, mbak!" sambungku.

"Baik. Saya ulangi pesanannya ya!"

Setelah menyebut ulang menu yang dipesan. Pelayan berlalu pergi.

Itu tandanya kesibukan antar kelompok terjadi. Awalnya ia mengira, jika keluar nongkrong seperti ini supaya ada komunikasi antar divisi. Supaya bisa lebih akrab.

Tapi ternyata tidak sama sekali. Kira-kira ini kali kedua mereka memutuskan untuk nongkrong. Yang lagi-lagi tidak mengajak kepala editor.

Kalau ditanya kepala penulis dimana? Semenjak salah satu senior memutuskan untuk resign, belum ada kandidat yang menggantikannya.

"Cia, kukira dirimu tak ikut makan. Bukannya biasa mau ketemu suamimu?"

"Yah iya. Dipaksa noh sama mereka. Kalau gak sih, aku sekarang udah di kamar. Ketemu suami aku. Hahaha."

"Dasar kamu tuh ya. Oh iya, lagi-lagi kita terbagi ke dalam tim yang berbeda-beda. Kapan ya kita bisa jadi satu tim gitu. Kan kita satu perusahaan." bisiknya kecil kepada Gracia. Kebetulan ia duduk di samping Ananta.

"Tidak bisa An. Dari zaman dahulu juga sesama manusia akan nyaman dengan kelompoknya masing-masing. Yang sefrekuensi lah pokoknya. Bahkan sampai rahasia kakek-nenek mereka masing-masing juga bakal semua tahu tuh."

"Lucu kamu Cia!"

"Lah emang benar. Makanya kalau ada satu teman se-geng yang keluar dari gengnya tiba-tiba. Patut dicurigai. Apakah dia udah gak satu visi atau tukang bongkar aib orang. Hahaha"

"Cia, sst!" Saat Ananta mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. Dari sudut matanya, ia merasa ada beberapa karyawan lain yang menatap ke arahnya dan Gracia.

Reflek, mereka memutuskan untuk bermain gawai. Tak ada satupun yang berani bicara sampai menu datang, sampai acara nongkrong selesai.

'Arigatoo gozai-masu'

"Kamu yakin mau balik kantor? Ini udah jam tujuh loh." Gracia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Malas sih sebenarnya. Tapi aku rasanya pengen cepat selesaikan artikelnya. Biar aku bisa tidur nyenyak malam ini. Kamu pulang dulu sana. Tuh teman-teman lain udah pada bubar." Dengan dagunya, Ananta menunjuk ke beberapa teman yang satu per satu menyalakan kendaraannya. Membubarkan diri.

"Okelah. Aku duluan ya. Bye."

"Bye."

Ia berjalan ke arah skuter merahnya. Memakai helm. Tak berapa lama, skuternya melintasi mulus di jalanan kota.

Beberapa lampu pijar sudah dinyalakan. Jalanan lengang. Mungkin karena bukan malam minggu. Angin juga menusuk. Langit merah sudah nampak di atas kepala. Tandanya sebentar lagi hujan.

Sebentar-sebentar ia masih bisa temui beberapa pengamen kecil di lampu merah. Begitu juga dengan gerobak-gerobak yang bertuliskan, 'Kami kaum para pencari nafkah'.

Membuatnya ia harus bersyukur akan kehidupannya kali ini. Pernah terpikirkan olehnya untuk memberikan makanan atau uang kepada mereka. Namun, pikiran jahatnya selalu merangsek masuk.

'Jangan sampai saat kamu berhenti kasih mereka makanan, ada tukang jambret yang mengintai'.

Atau

Setelah diberi uang, anak-anak pengamen itu tidak akan pernah menikmati hasilnya. Melainkan si bos yang ditaktor.

'Hanya si pemalas yang menikmati hasil jerih payah dari calon-calon penerus negara. Tanpa mencerdaskan mereka.'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Dilema & Cinta   140. Baiklah, Mari Kita Coba Pacaran!

    "Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa

  • Antara Dilema & Cinta   139. Hanya Sedikit Orang yang Bisa Menemukan Cinta Sejati

    Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho

  • Antara Dilema & Cinta   138. Masih Berani Kamu Menampakkan Diri di Hadapanku?

    Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil

  • Antara Dilema & Cinta   137. Kenapa Aku Selalu Kalah Debat darinya?

    Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter

  • Antara Dilema & Cinta   136. Aku tidak perlu Memberitahumu, Karena Tidak Ada Untungnya Bagiku

    "Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra

  • Antara Dilema & Cinta   135. Masih Gracia & Nicho Kecil part 3

    "Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status