Share

5. Pria tak Dikenal

Setelah dari restoran sushi, Gracia segera meluncur pulang ke rumah. Jalanan lengang. Mungkin karena jam pulang kantor sudah lewat, pikirnya. Udara kian menusuk. Salahnya juga tidak mengenakan jaket. Sangat risih soalnya.

Ia lebih suka mengenakan cardigan, tidak berat dan lebih simpel. Lebih modis juga tentunya.

Tak sukanya nongkrong ya begini. Pulang pasti malam. Belum lagi perjalanan ke rumahnya bisa memakan waktu tiga puluh menit dari arah restoran tadi. Belum ditambah macetnya. Dibilang dekat dari kantor dari mana. Itu ujung ke ujung kali.

Wah, idolaku. Tunggu aku sampai rumah ya.

"Gracia, masih mau makan gak?" tanya ibunya.

"Nggak ma. Udah kenyang." teriaknya dari arah ruang tamu.

"Habis dari mana aja kamu? Tumben pulangnya agak malam."

"Biasa, teman-teman kantor. Ajak makan tadi. Aku langsung ke kamar ya ma. Sekalian bersih-bersih."

"Jadi mama gak perlu panasin sayur deh. Balik nonton ah."

Ibu dan anak sama aja. Sama-sama suka nonton.

Drrt...drrt...drrt...

Gawainya bergetar. Diraihnya segera. Namun, sedetik kemudian dilemparkannya ke kasur dengan kasar.

"Ini udah malam juga, masih aja chat tentang kerjaan kantor. Bising deh."

Ia memilih melanjutkan nontonnya. Kali ini ia beralih ke tab. Duduk bersandar di atas tempat tidur sungguh kebahagiaan hakiki.

Tring..tring..tring..

Gawainya kembali bergetar. Ditambah dengan suara ringtone.

Kali ini sebuah telepon masuk. Lagi-lagi kepala editor.

"Chat aja tak kubalas, apalagi telepon. Tak akan kuangkat, wahai Bu Lina."

Kali ini ia memilih untuk membiarkan gawainya berdering sepuasnya. Biarkan saja Bu Lina merasa khawatir.

Orang itu kebiasaan, muncul saat nggak dicari, sekalinya dicari entah hilang kemana. Sekarang rasain!, batinnya membara.

Gracia tahu, jika ia angkat pasti ia akan lembur ataupun balik ke kantor.

Selain itu, sesekali ia ingin Bu Lina merasakan perasaan kalut saat dulunya ia dengan susah payahnya menghubungi Bu Lina. Dan dengan gampangnya keesokan harinya dengan entengnya Bu Lina berkata seperti ini, "Gracia, kamu ada telepon semalam ya! Maaf ibu tidak tahu kalau kamu telepon. Gawai ibu dimainkan anak ibu. Ada yang perlu ibu bantu gak?"

"Artikelnya udah harus masuk ke meja penerbitan kemarin. Jadinya, aku langsung kirim aja." jawabnya judes.

"Maafkan ibu ya. Nanti kita lihat bagian penerbitan ada komentar apa ya. Jika ada revisi lagi, ibu bantu kamu ya."

Tring...tring...tring...

Gawainya kembali berdering.

"Bu Lina yang terhormat, please deh..tunggu beberapa saat lagi ya aku angkatnya." pekiknya pada gawainya. Yang tentu saja belum diangkatnya.

Duar!

Suara petir menggelegar. Sebuah cahaya kilatan masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Kadang ranting pohon dan kabel listrik menampakkan bayangannya.

I am not afraid, katanya dalam hati.

Gawainya berhenti berbunyi. Tak ada suara yang dihasilkannya. Ia berusaha fokus dengan dramanya. Diarahkan pikirannya untuk fokus.

Tek...

Lampu padam.

Duar...

Dag..dig..dug

Kini jantungnya mulai berdegup kencang. Ia mengetuk layar tabnya sekali. Menekan jeda.

Pintunya berderak kecil tanpa bersuara.

"Eric?" Ia berusaha berpikir positif. Sialnya, pikirannya susah dikontrol jika masalah seperti ini.

Apa tidak ada yang hidupin genset?, batinnya dalam hati.

Tak ada yang menjawab. Pintu itu kembali terbuka sedikit. Berhenti sesaat. Kemudian terbuka lebar-lebar dengan cepat.

Matanya juga terbuka lebar. Ada sesosok gelap yang berdiri disana. Tak berbentuk. Hanya seperti gumpalan besar berdiri di depan pintu.

"Aaaa", teriaknya. Sudah tahu pasti melengking. Menarik selimutnya, menutupi sampai muka.

"Hahaha", suara ketawa berpadu dengan teriakan Gracia.

Ia sudah hampir akan menangis jika ia tidak menaruh konsentrasi pada suara ketawa itu.

Ini suara tertawa yang jarang terdengar, namun cukup familiar.

Baru saja ia berusaha untuk berpikir jernih. Terasa selimutnya ada yang menarik. Reflek dengan cengkraman yang kuat, ia menarik dan mempertahankan selimutnya.

Mending dirinya di dalam selimut daripada ia harus melihat hantu itu, ataupun entah siapa dan apa itu.

Tentu saja, terjadi tarik-menarik memperebutkan selimut. Ia sudah meneteskan air matanya. Lampu masih saja padam.

Khayalannya kembali berulah, ia terus memperhatikan arah kakinya. Kedua kakinya kini ditekuknya. Kalau-kalau sebuah tangan dengan kuku panjang menyelinap masuk ke bawah selimut.

Iih,....

"Hei, sudah lah tarik ulurnya dong!" suara berat yang terdengar halus kembali terdengar.

"Kamu?" Gracia menurunkan selimutnya seleher.

Hantu itu terjatuh ke depan. Ya, tentu saja. Tiba-tiba dari satu pihak berhenti tanpa kompromi.

Gracia terjatuh ke belakang. Hantu itu terjatuh ke depan. Kini mereka berhadapan. Muka mereka sejajar di atas tempat tidur.

Tek

Lampu kembali menyala.

"Eh, udah main ranjang aja nih berdua. Saking kangennya ya!" Eric dengan santainya bersender di pintu kamar Gracia. Ia menahan ketawa.

Gracia dan hantu itu yang sebelumnya saling menautkan pandangan. Sekarang sama-sama memelototi Eric.

"Iih seram...turun ah. Takut ganggu."

Perlahan-lahan otaknya kembali berjalan normal. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan si hantu. Yang sebelumnya digunakan untuk menahan.

Untuk kedua kalinya, karena gerakan yang tiba-tiba dari lain pihak. Si hantu yang belum mendapat keseimbangannya. Terjatuh ke bawah.

Bibirnya dan bibir Gracia bertemu. Kiss.

"Sorry..sorry..." Si hantu memutar tubuhnya. Ia duduk di tepi bawah ranjang.

Gracia segera bangkit terduduk. Kedua tangannya segera merapikan rambutnya yang teracak-acak.

Duar!

Petir menggelegar.

"Astaga!"

Kali ini bukan Gracia yang terkejut karena petir. Melainkan si hantu yang ternyata manusia. Kakinya napak.

Gracia memandangnya dari atas sampai bawah. Tak percaya jika ada seorang pria tampan ada di kamarnya. Namun, seperti tidak asing.

"Kau kaget dengan petir?" tanya Gracia. Sekedar basa-basi.

Berusaha melupakan kejadian gila yang barusan terjadi.

"Memangnya kau tidak kenal aku?" Ia memandanginya.

Pandangan mereka saling bertautan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status