Pagi ini jalanan nampak lengang. Orang yang berbelanja di pasar Mawar mulai sepi. Lokasi pasar ada di seberang hotel. Sederet hotel ada ATM dan juga perusahaan.Violla masih sedang dalam keadaan terjepit.'Kenapa tidak ada orang disini? Kemana orang-orang yang ingin menarik uang di mesin ATM? Kemana tamu-tamu hotel dan terutama satpam? Kemana mereka semua?', Violla berbicara dalam hati.Violla berharap ada seseorang yang menolong dirinya. Berteriak minta tolong sepertinya manjur untuk saat ini."Jika kamu berniat untuk minta tolong. Muka kamu akan siap jadi pajangan majalah gosip di pagi besok. Judul utama cocoknya apa ya?"Stanley lebih cepat mengeluarkan pernyataan."Anak konglomerat, baru pulang dari luar negeri dan sudah mencari masalah.""Diam kamu!""Apa? Benar kan?""Jangan main-main ya! Aku ini masih punya banyak urusan,""Tenang, kok! Aku nggak main-main. Ini serius," Stanley mendekatkan mulutnya ke telinga Violla. "Aku akan cepa
"Hei, aku Violla. Sepertinya aku akan mengambil alih bab ini. Tapi tenang saja, hanya sedikit kok."Bagaimana pun tidak ada yang pernah menolak kecantikan visual Violla. Dari kecil ia sudah terkenal dengan parasnya. Kalau hati dan perilaku? Ia tidak terlalu menonjol dengan dua karakter tersebut.Bahkan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia pernah dirundung. Teman-temannya melakukan perundungan secara verbal padanya."Tidak ada yang boleh berteman dengan cewek gendut dan dekil seperti dia. Aku yakin dia bisa masuk ke sekolah kita karena cuman modal beasiswa."Setiap pergi dan pulang sekolah, Violla seolah sedang memasuki neraka kedua. Neraka pertama tentunya adalah rumahnya sendiri. Terkadang, pembantu di rumahnya melihat ada garis merah di tangan Violla kecil. Namun, dengan cepat Violla akan menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik baju lengan panjang."Nona, itu apa? Nona jatuh atau kenapa?""Nggak. Ini bukan apa-apa,""Saya obatin
"Udah ah, aku malas ngomong sama kamu Ana. Aku kira aku mengenal kamu. Ternyata nggak. Apa yang kamu bilang saat aku kasih tumpukan buku untuk diperiksa kemarin?""Kalau itu ya, aku bingung aja. Tapi karena kamu minta aku periksa, yah saya periksa buku dengan daftarnya,""Lalu? Kenapa kembalikan kesini?""Yah kan memang dari awal kemungkinan besar buku-buku itu masuk ke editor. Dijadikan sebagai bahan referensi,""Coba kamu sebutin, apa yang dibilang sama Bu Pramita?""Pada saat buku-buku itu diberikan oleh Bu Pramita, beliau info ini adalah buku-buku yang didapat dari kliennya. Minta aku atau kamu untur sortir. Buat tabel judul-judulnya dan ada berapa buku masing-masingnya. Lalu, laporkan kepada Bu Pramita,""Oh ya?""Nah iya, kan Bu Pramita hanya minta laporkan hasil rekapnya. Lalu, saat itu aku juga tanya dirimu. Tabelnya mau yang saya buat atau kamu. Kamu bilangnya kamu saja, karena aku nggak bisa atur ini.""Yakin cuman itu?""Apa? Apa lagi?""Apa lagi yang kamu bilang ke Bu Lina
"Ini siapa ya?" Ibunya Gracia berjalan ke depan."Salam kenal, Tante! Saya Stanley, pacarnya Ananta. Maaf, Tante. Saya ganggu pagi-pagi. Soalnya tadi Ananta bilang ke aku kalau dia kesini. Udah sampai belum ya?""Sst...Jangan keras-keras ngomongnya. Kita keluar aja yuk!""Apa Tante?""Yuk, ah! Dengerin kata Tante. Nanti Tante jelaskan sambil jalan," Ibunya Gracia menutup gerbang. Berjalan menuju ke motor Stanley. "Ayo, kok malah bengong! Antarin Tante ke depan."Stanley terdiam. Lagi-lagi ia kaku sesaat. Kenapa ada dua wanita yang membuatnya speechless sepagi ini?Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Ayo, kamu mau tahu tentang Ana nggak? Tadi dia udah datang, tapi...ya sudah lah ayo, kita ke restoran depan,""Baik, Tante." Setelah ibunya Gracia menyebutkan nama Ananta, ia langsung semangat. Apapun yang menyangkut mengenai pacar yang sangat ia cintai, ia akan lakukan.Mereka sampai di sebuah restoran di kawasan jalan M. Sohor. Rumah makan dengan menu utamanya adalah soto.
Stanley membawa motornya semakin laju. Ia benar-benar ingin bertemu dengan Ana secepatnya. Ia bisa nggak waras kalau ia belum bertemu dengannya.Cit.Ban motornya berbunyi saat ia menginjak rem belakang dengan cepat. Sebuah mobil hitam Toyota Land Cruiser baru saja keluar dari gang.Mobil itu juga dengan cepat menginjak remnya sekuat tenaga. Patut diuntungkan, ia tidak mengendarainya dengan kecepatan tinggi."Ini motor apa-apaan sih? Mau cari mati apa?" Eric kesal. Ia sudah akan turun, jika Nicho tak menahannya."Biar saya saja. Saya tidak mau ribut sama orang. Lagian kita pakai mobil, dia pakai motor. Jika terjadi kecelakaan, sudah pasti dia yang paling rugi," Nicho turun dari mobil. Membantu si pengendara menaikkan motornya yang terjatuh."Kamu nggak apa-apa?"Si pengendara motor itu melepaskan helmetnya. Membenarkan rambutnya sebelum ia melihat wajah si penabrak."Nicho?""Stanley ya, astaga. Maaf,""Iya, nggak apa-apa. Aku yang salah
"Apa kamu yakin tidak mau tahu tentang Pak Nicho? Dia adalah-""Sst. Kok malah ngomongin pria lain. Udah stop. Pria yang seharusnya kamu perbincangkan adalah aku. Hanya aku. Ok?" Dengan cepat Stanley memotong pernyataan Gracia."Karena kamu hanyalah milikku," sambungnya. Ia tersenyum sambil mengelus lembut rambut Ananta."Rambutku bisa berantakan, Ley!" ketusnya.'Kalau memang dia nggak mau tahu siapa itu Nicho. Ya sudahlah. Biarin saja.'"Kamu kenapa diam?""Nggak apa-apa. Aku kan memang pendiam orangnya,""Mau ke rumahku aja?""Apa sambungannya malah ke rumahmu?" Ana bertanya tak mengerti."Nggak. Kan udah lama kamu nggak ke rumah aku,""Ley, kamu lupa apa gimana? Baru kemarin loh. Baru kemarin kita nonton. Fokus saja sama kedaimu. Hanya dengan cinta, kamu tidak akan kenyang.""Iya. Tanpa cinta juga hubungan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Lagian kita juga harus bersantai. Supaya otak kita bisa terhindar dari stres,""Iya, Stanley bijak."***"Iih, Nicho. Kamu kenapa sih? Jaha
"Jadi kita mau beli apa untuk Gracia?" Eric bertanya saat mereka sudah keluar dari gang rumah Ananta."Apa kebiasaan malas makan masih jadi kegiatan favoritnya?""Masih. Sudah mendarah daging sepertinya,""Bagaimana kalau kita belikan dia kue dan secangkir kopi hangat. Aku yakin dengan kandungan gula bisa membuatnya lebih bersemangat,""Boleh juga. Kamu memang paling mengerti dia ya?""Nggak juga. Kan kita udah sering bareng dari kecil. Jadi masih tahu,"Mobil Nicho berbelok ke Kedai Koopi. Masih tersedia dua parkiran mobil. Salah satu hal yang menjadi kesenangan Nicho disini adalah halaman parkirnya luas. Jarang ada kedai kopi yang menyediakan parkiran khusus mobil.Padahal motor yang parkir disana lebih banyak."Kamu yakin mau beli disini?" Eric bertanya dengan ragu."Memangnya kenapa?""Kedai ini belum setahun beroperasi. Rasa makanan dan minuman belum terjamin enak atau nggaknya,""Enak kok. Saya sudah pernah minum disini. Lagian tahu gak pemiliknya siapa?""Mana kutahu!"Nicho te
"Nicho! Long time no see. Akhirnya aku ketemu kamu juga," Violla berteriak. Beberapa konsumen kedai mulai tertarik dengan kejadian berikutnya.Nicho yang tidak suka menjadi pusat perhatian, segera menyuruh Violla untuk duduk kembali. Namun, Violla lebih memilih menarik kursinya ke dekat meja Nicho."Hai, Eric!" Violla menyapa dengan tersenyum merekah. Hanya beberapa detik setelah menyapa Eric. Violla kembali memandang Nicho. Senyumnya semakin merekah."Kamu nggak mau ngomong apa-apa?" Violla membuka obrolan."Aku ke toilet dulu ya," Eric beralasan. Ia tak mau jadi nyamuk kali ini. Walaupun mata Nicho menatap tajam padanya, ia tak peduli.Mau nggak mau, dia tetap adalah orang lain di antara hubungan percintaan mereka.Saat Nicho dan Violla tidak memperhatikan ia duduk di salah satu kursi. Kembali bermain permainan di gawai."Nicho, kamu gimana kabarnya?" Matanya berbinar-binar menatap Nicho.Beberapa konsumen lain masih menaruh minat kepada mereka