Sementara itu, Selena mencoba memperbaiki situasi. "Saya serius, Tuan. Kalau sofanya mau tetap jadi kenangan, mungkin perlu dilap atau dilapis ulang. Saya bisa bantu bersihkan."
Kael memijit pelipisnya, lalu menatap Selena tajam. "Satu kata lagi tentang sofa itu, aku pastikan kamu tidur di lantai." Selena tersenyum kikuk, mengangguk cepat, dan segera berlalu, meninggalkan para pelayan yang mencoba menahan tawa mereka agar tak kena semprot Kael lagi. "Sofa kenangan ya... menarik juga," bisik salah satu pelayan sambil cekikian. Setelah suasana agak reda, Kael memutuskan untuk memberikan hukuman lain pada Selena. Dia masih kesal dengan komentar spontan Selena soal sofa kenangannya. "Selena," panggil Kael, suaranya tegas. Selena, yang baru saja hendak mengambil kain lap untuk membersihkan meja, menoleh dengan ekspresi waspada. "Ya, Tuan?" "Kamu bilang tadi ingin membantu. Baiklah, ini kesempatanmu. Pergilah ke dapur dan masak makan malam untukku." Mata Selena membelalak."M-masak, Tuan? Saya?" Kael mengangguk dengan santai, sambil melipat tangannya di dada. "Ya. Kamu pikir hukuman hanya sekadar bicara? Hari ini kamu akan belajar bertanggung jawab atas ucapanmu." Selena menelan ludah, tampak bingung sekaligus panik. "Tapi, Tuan, saya... saya tidak bisa memasak." "Tidak ada tapi," Kael memotong, ekspresinya penuh otoritas. "Masuk ke dapur sekarang, dan siapkan sesuatu. Apa saja. Aku tidak peduli seburuk apa pun hasilnya." Selena menghela napas berat, tahu bahwa protes tidak akan mengubah keputusan Kael. Dengan langkah gontai, dia menuju dapur. Para pelayan lain yang melihat hanya bisa saling pandang, berusaha keras menahan tawa mereka. ---------- Di dapur, Selena berkutat dengan berbagai bahan makanan. Dia menatap sekilas buku resep yang tergeletak di meja, tapi akhirnya memutuskan untuk memasak sesuatu yang sederhana: sup ayam. "Oke, ini tidak terlalu sulit. Rebus air, masukkan ayam, tambahkan bumbu... gampang, kan?" gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri. Namun, prosesnya tidak semulus yang dia bayangkan. Ayamnya terlalu lama direbus hingga hancur, sayurannya terlalu lembek, dan bumbu yang dia tambahkan... yah, bisa dibilang dia tidak punya takaran yang jelas. Garam, misalnya, dia menaburkannya dengan sembarangan sambil berkata,"Lebih baik asin daripada hambar, kan?" Setelah perjuangan panjang, Selena akhirnya selesai memasak. Dengan penuh rasa bangga—dan sedikit khawatir—dia membawa semangkuk sup ayam ke ruang makan, di mana Kael sudah menunggunya dengan ekspresi datar. "Ini, Tuan. Sup ayam spesial sudah siap," katanya sambil meletakkan mangkuk itu di depan Kael. Kael memandang sup itu dengan skeptis, lalu mengambil sendok dan mencicipinya. Hening. Kael berhenti sejenak, lalu menatap Selena dengan wajah yang sulit dibaca. "Apa ini?" tanyanya pelan, suaranya mengandung ancaman. Selena tersenyum kikuk. "Sup ayam, Tuan. Kenapa? Kurang garam ya? Saya bisa tambahkan lagi." Kael memejamkan matanya sejenak, lalu berkata tegas,"Selena, ini bukan sup ayam. Ini adalah semangkuk air garam dengan sedikit ayam di dalamnya." Selena tampak bingung."Tapi saya sudah tambahkan bumbu lain juga, Tuan. Mungkin... lidah Anda saja yang belum terbiasa dengan rasa eksperimen saya?" Kael meletakkan sendoknya dengan tegas, lalu menatap Selena tajam. "Kamu makan ini. Sekarang." "Eh? Tapi, Tuan, ini kan untuk Anda." "Makan. Sekarang."Kael menunjuk mangkuk dengan ekspresi yang tidak bisa ditawar. Dengan enggan, Selena mengambil sendok dan mencicipi supnya sendiri. Begitu sup itu menyentuh lidahnya, wajah Selena berubah drastis. Dia batuk-batuk, lalu berkata dengan nada menyesal, "Oke, ya, mungkin... sedikit terlalu asin." Kael menautkan alisnya. "Sedikit? Selena, kamu bisa membuat ikan laut merasa betah tinggal di sini!" Para pelayan yang mendengar dari dapur tidak bisa menahan tawa lagi. Suara mereka menggema hingga ruang makan, membuat Kael semakin frustrasi. "Selena,"katanya akhirnya sambil berdiri. "Mulai sekarang, jangan pernah lagi mencoba memasak di rumah ini. Itu perintah." Selena mengangguk cepat, wajahnya masih merah karena malu. "Baik, Tuan. Saya janji. Tidak akan memasak lagi... kecuali terpaksa." Kael mendesah panjang,berusaha meninggalkan ruang makan sambil menggelengkan kepala. Sementara itu, Selena menatap mangkuk supnya, lalu bergumam, "Ya ampun, aku memang bodoh." Kael pun memanggil pelayan untuk memberinya soda untuk menghilangkan rasa asin di lidah hingga tenggorokannya. "Rasa asin ini masih betah dimulutku,berapa banyak garam yang kamu tuangkan?" Tanya Kael kesal. "Sa-satu Tuan..." "Satu apa?" "Satu rak." "Apa?! Kamu gila ya?mana ada orang memasak dengan garam sebanyak itu,ternyata benar kamu memang mau mencelakai orang-orang disini." Selena hanya diam ketakutan dengan amarah Tuan Kael.Namun salah seorang pelayan datang dan membela Selena. Kael menelan salivanya, rasa asin masih menempel di lidah dan tenggorokannya meskipun sudah meneguk soda. "Selena, kamu sebenarnya ini pegawai atau calon ahli racun?!" bentaknya frustrasi. Selena menunduk dalam, "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan. Saya pikir makin banyak garam makin enak..." Kael menatapnya tajam."Apa kamu mau membunuh lidahku dan lidah semua orang di rumah ini?!" Salah satu pelayan, Maya, mencoba menengahi situasi. "Tuan, mungkin lebih baik saya memasak ulang untuk Anda. Selena belum berpengalaman, jadi biar saya yang mengurus makan malam Anda." Namun, Kael mengangkat tangannya dengan tegas. "Tidak usah! Selera makanku sudah lenyap entah ke mana karena rasa asin ini. Lidahku seperti sedang berkubang di dasar laut." Selena berbisik pelan sambil gemetaran, "Tuan... saya benar-benar minta maaf. Kalau Anda mau, saya bisa mencoba lagi—" "Mencoba lagi?! Dengan apa? Satu kilo garam?! Jangan-jangan kamu memang mau aku mengungsi ke rumah sakit gara-gara masakanmu,"potong Kael dengan nada yang membuat seluruh pelayan di ruangan itu terdiam. Maya mencoba menenangkan suasana."Tuan, mungkin kita semua lelah hari ini. Bagaimana kalau saya siapkan makanan dari restoran saja?" Kael mengangguk, lalu berbalik menuju kamarnya. Sebelum pergi, dia menoleh sebentar ke Selena. "Mulai sekarang, kalau aku ingin makan, jangan pernah dekat-dekat dapur. Biarkan orang lain saja yang mengurusnya. Kalau aku dengar kamu masak lagi, kamu akan bertanggung jawab untuk seluruh kerugian rumah ini." Selena hanya bisa mengangguk dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah Kael pergi, Maya menepuk bahu Selena."Kamu memang luar biasa, Selena. Baru pertama masak langsung bikin trauma Tuan Kael seumur hidup!" Pelayan lainnya yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari mereka berkata, "Sepertinya kita harus memasang plang di dapur: 'Dilarang Memasak oleh Selena Demi Keselamatan Bersama.' " Selena menghela napas panjang."Ya ampun... mungkin aku memang ditakdirkan jadi pencuci piring saja,"gumamnya. Selena yang masih di dapur melihat para pelayannya yang masih tertawa,namun ada beberapa pelayan yang iri melihat Selena terlihat luput dari tuduhan,bagaimanapun juga dia tetap di cap sebagai pembunuh, Selena berusaha tegar meninggalkan dapur tak peduli dengan omongan pelayan itu dan kembali melangkah ke ruang bawah tanah untuk istirahat. Selena melangkah dengan perlahan ke ruang bawah tanah, meskipun tubuhnya lelah setelah seharian membersihkan rumah dan memasak makanan yang hampir membunuh Tuan Kael dengan garam berlebihan. Para pelayan masih terlihat tertawa di dapur, namun Selena tidak peduli. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan mereka yang sering mengejeknya, bahkan meskipun tak ada satu pun yang tahu kebenaran. Setiap mata yang menatapnya, entah itu penuh simpati atau kebencian, selalu sama saja bagi Selena. Di mata mereka, dia adalah pembunuh. Seorang wanita yang tidak pernah bisa membersihkan dirinya dari noda itu.Sore itu, suasana villa mewah di pusat kota dipenuhi oleh obrolan ringan dan tawa. Ronald dan Bianca baru saja tiba, sedikit terlambat dari jadwal. "Maaf, kami terlambat," ucap Ronald sambil menggandeng tangan Bianca. "Tidak apa-apa," balas Jason, salah satu teman Ronald. "Maklum, pengantin baru," timpal Christine, istri Jason, sambil tertawa kecil. Bianca tersenyum sambil melirik Arlena, yang dengan ramah berkata, "Bianca, duduk saja di sini." Bianca segera duduk di samping Arlena, sementara Ronald memilih untuk tetap di dekatnya. "Arlena, suamimu ke mana? Kenapa dia tidak pernah terlihat mendampingimu?" tanya Christine penasaran. Arlena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. "Dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk." "Ya ampun, aku beruntung Ronald selalu bisa mendampingiku," celetuk Bianca sambil menyender di bahu Ronald dengan bangga. Ronald ikut menimpali, "Suamimu pasti juga punya waktu luang. Kamu harus bangga dia berjuang
Di siang hari yang hangat, Kael duduk di kursi ruangannya dengan wajah serius. Dia telah memanggil Selena untuk membahas sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Ketika Selena masuk, Kael memulai pembicaraan dengan nada rendah, namun tegas. "Selena... tolong jawab dengan jujur. Ada masalah apa kamu dengan Arlena dalam rekaman CCTV itu?" tanyanya, sorot matanya tajam, tapi suaranya berusaha menenangkan. Selena menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Tuan... maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Itu adalah rahasia Nyonya," jawabnya pelan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Kael mendesah, mencoba menahan emosinya. "Rahasia Arlena adalah rahasiaku juga, Selena. Aku suaminya. Jadi, aku berhak tahu," tegas Kael, nadanya sedikit mengeras. Selena menggeleng pelan, lalu menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan seperti itu, Tuan... tapi..." ucapnya, suaranya terhenti di tengah kalimat. Air matanya makin deras, membuat Kael semakin bingung dan cemas. Kael memanda
Malam telah larut, dan suasana rumah Kael terasa hening, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding ruang tamu. Selena duduk di sofa dengan posisi gelisah, tangannya memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai prasangka yang membuncah tanpa kendali. "Kenapa dia belum pulang juga?" gumam Selena dengan nada lirih, tetapi penuh kekesalan. "Apa yang mereka lakukan selama ini? Restoran apa yang buka sampai selarut ini? Apakah... apakah dia benar-benar tidak peduli lagi dengan Nyonya?" Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan marah dan kecewa yang semakin meluap. Pikiran-pikirannya mulai liar, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia pikirkan. "Bianca itu... wanita licik. Dia pasti memanfaatkan keadaan. Dan Tuan... dia bahkan tidak menghormati kematian istrinya! Baru saja istrinya meninggal, dia sudah sibuk dengan wanita lain!" suara Selena semakin kesal. Ia berdiri dari sofa, m
Ruangan Kael dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik dari rasa bersalah yang kini memenuhi hatinya. Duduk di kursi kerjanya, Kael bersandar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Pikirannya berputar tanpa arah, mencoba memahami setiap teka-teki yang menggantung di sekelilingnya. "Sepertinya aku terlalu keras padanya… Aku bahkan belum selesai bertanya padanya tentang masalah Arlena." Kael menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan wajah Selena, yang berlinang air mata dan penuh luka, terus menghantuinya. Selama ini, ia hanya melihat Selena sebagai sosok yang penuh teka-teki, tersangka yang paling mudah untuk disalahkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan: tekad dan keberanian Selena saat mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengecut yang akan bersembunyi jika bersalah. "Besok aku akan berbicara dengannya secara baik-baik. Aku harus memberikan
Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes