Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 90 — Belajar Memeluk Kelelahan Bersama

Share

Bab 90 — Belajar Memeluk Kelelahan Bersama

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 23:35:38

Musim semi menapaki kota dengan langkah lembut. Pohon-pohon sakura di taman pusat perlahan mekar, menggoreskan semburat merah muda di antara kaca-kaca gedung pencakar langit Manhattan.

Namun, bagi Nara dan Raydan, musim baru bukan berarti hidup yang benar-benar baru. Ada ritme yang kini mereka jalani setiap hari — ritme yang begitu stabil, begitu mapan, hingga kadang justru mengintimidasi.

Karena stabilitas, seperti yang pernah mereka pelajari, bukan selalu pertanda aman.

Kadang justru di situlah ketegangan paling diam-diam lahir.

---

Setiap pagi, jam 5.30, alarm Raydan berdering.

Bukan bunyi keras, hanya dentingan lembut piano klasik yang mengalun dari ponselnya.

Ia bangkit pelan, berusaha tak membangunkan Nara yang masih meringkuk di sisi lain ranjang.

Langkahnya menuju dapur diiringi suara samar kipas pemanas yang mengisi keheningan pagi. Air mendidih. Bubuk kopi Arabica dituangkan perlahan ke dalam gelas kaca transparan.

Satu tegukan pertama selalu menjadi ritualnya:

"Selamat pagi
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 101 – Saat Nara Bertanya: Apakah Aku Hidup, atau Hanya Menopang Hidup Orang Lain?

    Setelah Raydan memutuskan mengundurkan diri, ritme di rumah mereka berubah.Lebih lambat. Lebih manusiawi.Tapi bagi Nara, perubahan itu juga membawa sesuatu yang lain —sebuah ruang kosong yang selama ini ia tutupi dengan sibuk.---Ia masih bekerja. Masih hadir di layar rapat.Masih menulis laporan kebijakan global.Masih jadi narasumber forum perempuan progresif.Masih menjadi istri yang mendukung. Ibu yang menyuapi.Namun, di sela semua itu, ia mulai merasa mengambang.> “Kalau Raydan berani membongkar sistem hidupnya…kenapa aku masih diam di tengah sistemku sendiri?”---Di malam yang basah, saat Raydan tertidur,Nara membuka catatan lamanya — jurnal tahun pertama ia menikah.Tulisan yang penuh tanya, penuh rindu, penuh konflik batin.Di satu halaman yang sudah menguning, ia membaca kalimat ini:> “Aku ingin menjadi perempuan yang tidak selalu harus kuat.Tapi sampai kapan dunia mengizinkanku lemah?”Ia mengelus kalimat itu lama.Lalu menulis di sampingnya:> “Mungkin dunia tak

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 100 – Raydan Bertanya Ulang: Untuk Apa Semua Ini?

    Sekembalinya dari desa, ritme hidup mereka kembali seperti biasa.Alarm jam lima pagi. Layar laptop yang terbuka bahkan sebelum langit terang.Jadwal rapat yang tersusun rapi. Notifikasi yang tak berhenti.Namun bagi Raydan, semuanya kini terasa berbeda.Bukan karena ada yang berubah dari luar,tapi karena ia sudah tidak bisa menipu dirinya sendiri lagi.---Setiap pagi, ia duduk di kursinya yang sama,menyimak puluhan angka dan tren pasar properti di Asia Tenggara.Membaca laporan. Memberi persetujuan. Menolak proposal.Tapi di sela-sela semuanya, pikirannya mengembara ke sore di desa,ketika Alana hanya duduk bersandar di bahunya,dan tidak satu pun dari mereka merasa harus berhasil.> “Apakah ini semua hidup yang kupilih?Ataukah hanya hidup yang tak sempat kupertanyakan?”---Nara melihat perubahan itu lebih cepat daripada orang lain.Raydan tak lagi pulang dengan wajah lelah tapi tenang.Wajahnya kini lebih banyak termenung.Matanya memikirkan sesuatu yang belum diberi nama.Suat

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 99 – Keheningan yang Kami Bawa

    Mereka memutuskan pergi.Bukan kabur. Bukan liburan.Tapi kepergian yang lebih menyerupai pengupasan:> melepaskan rutinitas, ekspektasi, sinyal, jadwal, notifikasi, bahkan ambisi…semua ditinggalkan di balik pintu apartemen.Tujuan mereka sederhana: sebuah desa kecil di dataran tinggi, empat jam dari pusat kota. Tidak ada Wi-Fi. Tidak ada jaringan. Bahkan tidak ada TV.Yang ada hanyalah:Pondok kayu yang hangat.Udara tipis dan dingin.Bunyi angin yang melintas pelan.Dan waktu yang tak dikejar apa-apa.---Hari pertama, mereka hanya duduk.Tidak bicara. Tidak bekerja. Tidak menciptakan.Raydan menyalakan api di perapian.Nara menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, wajah Raydan tampak seperti suaminya saat baru menikah —bebas dari beban "harus".Alana memeluk bonekanya, lalu duduk di dekat ibunya.“Tempat ini… kayak dunia yang belum jadi,” ucapnya pelan.Nara menoleh. “Belum jadi?”Alana mengangguk. “Masih kosong. Jadi siapa pun bisa ngisi.”Nara menghela napas.“Mungkin

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 98 – Tak Lagi Bisa Menebak Apa yang Ia Pikirkan

    Pagi itu seperti biasanya.Langit mendung. Aroma roti panggang memenuhi dapur. Suara lalu lintas terdengar samar dari jendela.Namun satu hal terasa janggal:Alana tak bersuara sejak bangun tidur.Ia duduk di meja makan. Tidak membaca. Tidak mencoret-coret. Tidak bercerita tentang mimpinya seperti biasa.Hanya menatap kosong ke piringnya.---Nara memperhatikan putrinya dari seberang meja.Sesuatu di dada kirinya terasa berat — seperti alarm tanpa suara.“Sayang, kamu mimpi apa tadi malam?”Biasanya, itu cukup untuk membuka keran cerita.Tapi Alana hanya mengangkat bahu.Wajahnya biasa. Terlalu biasa.“Capek aja, Ma,” katanya pelan.---Tiga hari berlalu.Alana tidak menggambar.Tidak menulis.Tidak membuka dunia digitalnya.Tablet-nya tergeletak di meja, layar mati.Dan seperti itu juga yang tampak dari matanya: padam.Raydan memanggilnya ke ruang kerja.“Kamu nggak mau cerita dunia barumu lagi ke Papa?”Alana menggeleng.“Udah bosen,” jawabnya pendek.Raydan dan Nara saling tatap.-

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 97 – Ketika Dunia Memintanya Menjadi Orang Lain

    Pagi itu datang dengan kabar gembira — atau setidaknya, awalnya terdengar seperti itu.Sebuah email resmi masuk ke alamat Nara, dengan kop surat dari panitia “Konferensi Kreativitas Anak Nasional.”Isi pesannya lugas dan penuh pujian:> “Dengan bangga kami mengundang Alana Ayuningtyas Raydan untuk menjadi salah satu pembicara termuda dalam sesi utama kami bertema:‘Suara Anak Indonesia: Imajinasi untuk Masa Depan.’”Nara membacanya berulang kali, lalu memanggil Raydan. Mereka berdua memandang layar laptop dalam diam yang hangat — sejenis keheningan yang hanya muncul saat harapan yang lama dijaga tiba-tiba tumbuh bunga.---Sore harinya, mereka menyampaikan kabar itu pada Alana.Gadis itu tersenyum lebar, matanya membulat, tangannya menutup mulutnya seperti tak percaya.“Beneran, Ma? Aku diundang? Buat bicara?” suaranya nyaris bergetar.Nara memeluk putrinya erat.“Beneran, sayang. Dunia akhirnya melihatmu.”Alana memejamkan mata.> “Akhirnya,” bisiknya. “Akhirnya ada yang bilang aku b

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 96 – Ketika Dunia Menyerbu

    Hujan turun sejak pagi. Tak deras, tapi cukup untuk membuat jendela berkabut dan hati menjadi suram.Di ruang tengah, Alana duduk memeluk lututnya, ponsel tergeletak di sampingnya — layar menyala, komentar demi komentar masuk tanpa henti.> "Ini anak-anak sekarang makin ngelantur.""Orang tuanya ngapain sih, nggak ngajarin yang bener?""Kebebasan kok jadi alasan untuk absurd."Nara berdiri di ambang pintu. Tak bicara. Tak langsung memeluk.Tapi jiwanya sedang berusaha menahan teriakan.---Beberapa hari sebelumnya, Alana mengunggah sebuah cerita visual interaktif berjudul "Tanah Tanpa Tuhan."Kisah tentang dunia yang diciptakan oleh anak-anak yang kehilangan rumah, dan membangun sebuah sistem etika sendiri — tanpa konsep agama, tanpa penghukuman.Bagi Alana, itu hanya dunia imajinasi.Bagi sebagian pengguna internet, itu adalah blasphemy.Karya itu viral. Ribuan interaksi.Dan bersamanya, datang gelombang kritik, cercaan, bahkan ancaman.---Di meja makan, malam itu terasa berbeda.Ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status