Share

Antara Suami dan Ipar
Antara Suami dan Ipar
Author: Miss Kim

TAWARAN PERJODOHAN

Suasana kantin kampus yang ramai tidak mengganggu Bella dan Sindi yang sedang menikmati makanan mereka. Selama makan, mereka membahas banyak hal. Walau mereka selalu bertemu hampir setiap hari, tetapi obrolan mereka tidak pernah mati. 

“Bella, aku mau jodohin kamu sama seseorang. Aku rasa kamu bakalan cocok banget sama dia. Soal wajah dan kekayaan, tidak perlu diragukan lagi. Aku pastikan dia sempurna.” Sindi tiba-tiba berbicara dengan nada serius. Dua manik matanya yang hitam kecoklatan fokus menatap sahabatnya, Bella.

"Apa-apaan kamu, Sin! Main jodoh-jodohin aja! Memangnya aku segitu nggak lakunya, ya? Kamu tau, kan? Aku masih bucin akut sama kak Raffi."

Bella mengatakan itu dengan nada lumayan tinggi dan sedikit ketus. Dia mencoba mengklarifikasi pernyataan Sindi sahabatnya tentang rencana perjodohan antara dengan teman kakak sahabatnya tersebut. 

"Sssst! Kurangi volume bicaramu, Bell. Coba kamu perhatikan, semua mata yg ada di kantin ini melirik ke arah kita. Kamu dengerin dulu penjelasan aku, baru komentar." Sindi membungkam mulut Bella. 

Sekarang gadis itu melempar pandangannya ke beberapa sudut kantin kampus mereka. Benar saja, para mahasiswa yang ada di sana tampak menatap curiga ke arah mereka berdua. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang berbisik-bisik dengan teman semejanya.

"Tapi ini ide kamu gila, Sin! Kamu tega jodohin aku sama orang nggak jelas. Apa hidupku sudah semenyedihkan itu? Gila!" Bella kembali ketus. 

Entah kenapa mata gadis itu berkaca-kaca. Memang dia hidup sebatang kara. Hanya rumah sederhana peninggalan kedua orang tua yang dia punya. Bahkan untuk kuliah saja, Bella harus kerja paruh waktu di sebuah resto makanan cepat saji yang tidak jauh dari rumah tempat dia tinggal.

"Aku sahabatmu, Bella. Mana mungkin aku jahatin kamu. Aku cuma mau bantu kakakku yang minta tolong supaya aku mencarikan jodoh untuk sahabatnya. Menurutku kriteria cewek yg Dia cari pas banget sama kamu, Bell." Sindi mencoba menenangkan Bella. 

Kalau dipikir-pikir buat apa Sindi menjebak Bella. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Semua yang diucapkan Sindi hari ini sudah pasti telah dipikirkan matang-matang. 

"Memangnya kriteria seperti apa yang Dia cari? "

Bella mulai sedikit tertarik untuk mengorek keterangan dari sahabatnya. Sindi menatap gadis itu dengan serius, seperti sedang mencari jawaban dari rona wajah Bella.

"Dia pengen cari pendamping hidup yang nggak neko-neko. Apa adanya. Nggak suka koleksi barang-barang mahal. Aku rasa itu cocok sekali denganmu, kan?"

Sindi mengangkat alisnya naik-turun berulang kali sambil tersenyum misterius.

"Artinya dia pelit dong. Masa cari kriteria istri yang nggak suka koleksi barang bermerek? Sumpah, ya … rasanya aku pengen ngakak dengernya."

Bella memalingkan wajahku ke arah lain sambil tertawa kecil.

"Jangan berburuk sangka dulu, Bella. Aku pastikan dia nggak pelit sama sekali." Sindi terus saja mencoba meyakinkan Bella untuk mempertimbangkan tawarannya. 

Hanya saja, bagi Bella menikah bukanlah hal yang mudah diputuskan begitu saja. Apalagi dia belum pernah bertemu dengan teman dari kakak Sindi itu. Belum tentu mereka berdua akan cocok. Menikah juga merupakan sebuah komitmen yang sakral. Apa jadinya kalau sampai salah memilih pendamping hidup? Bella tidak ingin menyandang status janda di usia muda. 

"Menikah bukan hal sepele, Sin. paling tidak aku harus bertemu dengan lelaki itu sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan dia," ujar Bella menegaskan sambil menyeruput jus jeruk yang baru saja dihidangkan oleh ibu kantin. 

Sindi sekarang pindah posisi duduk. Kini dia berada tepat di samping Bella.

"Terpenting kamu mau mempertimbangkan aku udah seneng banget, Bell. Aku tinggal bilang ke kakakku untuk mengatur pertemuan kalian.  Terimakasih, Bella." Sindi tampak bersemangat. Senyumnya bahkan merekah lebih dari tadi, saat pertemuan awal mereka. 

Bella masih bertanya-tanya. Mengapa Sindi begitu bersemangat untuk menjodohkan dia dengan lelaki itu? Apa hubungan mereka sebenarnya? Benarkah hanya sebatas teman sang kakak? Seingat Bella, selama ini Sindi tidak pernah dekat dengan teman-teman Raffi.

"Aku sangat menghargai persahabatan kita, Sin. Aku nggak mau kamu sampai kecewa kalau aku menolak. Tapi … aku juga tidak ingin terpaksa menerima semuanya begitu saja." 

Bella melemparkan senyuman ke arah sahabatnya itu. Sindi kemudian memeluk Bella erat. Selama ini dia memang selalu baik pada Bella. Gadis itu mencoba untuk yakin dan mempertimbangkan semua keputusan yang dia ambil.

"Bel udah bunyi, yuk kita ke kelas. Nanti aku kirim pesan ke kamu kapan hari dan tanggalnya. Aku diskusi dulu sama kak Raffi. Nggak langsung ketemu sama dia, sih. Kamu harus ketemu dulu sama kak Raffi buat ngukur seberapa siap kamu menerima perjodohan ini. Kalo emang nggak minat, kamu bisa mundur, kok." 

"Oke. Aku setuju. Sayang banget, kenapa bukan kak Raffi aja yang dijodohin sama aku," gumam Bella pelan sambil menunduk.

"Mungkin kak Raffi emang belum pengen nikah? Dia lagi aktif banget di perusahaan papa. Saran aku, kamu terima aja perjodohan ini. Nggak bosen apa, tinggal sendirian? Kalo udah ada suami rasanya beda, Bell. Aku akan lebih tenang kalo misalnya mati lampu atau hujan petir." Sindi memang seperhatian itu pada Bella. 

"Iya ...iya. Aku pasti pertimbangkan itu semua. Makasih ya, Sin." 

***

Minggu pagi, Bella dan Raffi mengadakan pertemuan. Mereka sepakat bertemu di warung 'Nasi uduk Mak Nem serba sepuluh ribu' yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Bella.

Bella datang lebih awal. Pelanggan Mak Nem sudah berjejer antri. Gadis itu memilih duduk di meja paling pojok supaya lebih nyaman saat berbincang dengan Raffi nanti.

Bella melirik jam tangannya. Masih pukul setengah delapan. Biasanya Raffi sedang lari pagi di sekitar komplek rumahnya. Wajar saja kalau badan lelaki itu tampak berotot.

Saat itu Bella pernah tanpa sengaja melihat Raffi nge-gym di lantai atas rumahnya. Dulu Bella seringkali berkhayal bisa pacaran dengan pria itu. Tapi bisa ditebak, perasaan Bella ke Raffi cuma bertepuk sebelah tangan.

Raffi sosok yang sempurna menurut Bella. kenapa? Karena wajah yang tampan, hidung mancung, bibir merah alami, postur tubuh yang bagus, kulit putih, mata sipit, alis tebal.  selain fisik keluarga Raffi kaya raya. Saat ini dia memimpin dua perusahaan milik keluarga. Siapa sih yang tidak tertarik pada seorang direktur muda yang sesempurna Raffi?

"Bella, udah lama nunggu?" Raffi tiba-tiba sudah duduk di hadapan Bella. Entah sejak kapan, yang pasti lamunan gadis itu langsung berantakan. Di hari libur seperti ini Raffi tetap Wangi. Aroma parfumnya manis, favorit Bella.

"Lumayan. Minder deh aku, Kakak rapi banget. Kaya nge-date sama pacar aja," Raffi mencoba mencairkan suasana.

"Pengennya sih gitu, Bell. Jadiin kamu pacar aku. Biar nanti kita bisa nikah, terus punya anak kembar." Raffi terkekeh. Orangnya memang suka bercanda dengan candaan yang menggoda.

"Halah gombal. Aku bukan tipe cewek idaman Kak Raffi, kan?  Mantan Kakak aja cantik semua. Apalah daya, aku hanya sebutir kuman." Bella membalas candaan Raffi.

"Kamu juga cantik," ujar Raffi singkat. Aduh, sebuah gombalan atau bukan tapi hati Bella meleleh dibuatnya.

"Tapi bohong," sambung Raffi singkat disusul tawanya yang pecah.

"Isssh Kak Raffi!" Spontan Bella mencubit lengan kakak sahabatnya itu. setiap bersama Raffi rasanya selalu membuat dia bahagia. Nyaman yang Bella rasakan saat dekat dengan Raffi terkadang membuat gadis itu berandai-andai.

"Awh, sakit, Bell!" Raffi meringis kesakitan sambil mengelus lengannya yang baru saja Bella cubit.

"Serius deh, Kak. Aku kepo sama temen Kakak," Bella langsung menembak Raffi untuk membahas tujuan pertemuan mereka.

"Segitu patah hatinya sama aku? sampai kepoin temen aku?" Raffi lagi-lagi meledek. 

Ya, lelaki itu juga sadar kalau Bella memiliki perasaan khusus untuknya.

"Tapi aku setuju banget Bell, kalau kamu menikah sama dia." Raffi tampak serius kali ini.

"Nggak bisa apa saling kenal dulu, Kak?" Tawar gadis itu.

"Dia hanya ingin bertemu kamu sekali, Bella. Setelah itu kamu harus membuat keputusan. Menikah dengan dia atau melupakan pertemuan kalian," jelas Raffi yang jelas tidak sedang main-main.

"Sadis amat, Kak." keluh Bella.

"Bukan sadis. Beberapa hari ini dia sudah mengamati kamu dari jauh dan setuju menjadikanmu istrinya," ungkap Raffi.

Bella baru sadar. Pantas saja beberapa hari ini ada sosok misterius yang memata-matainya. semua di mulai sehari setelah obrolannya dengan Sindi tentang perjodohan itu. Kenapa harus jadi penguntit? Mengapa tidak langsung menemuinya saja?

"Nggak adil banget. Dia udah tau aku, sementara aku belum sama sekali," sungut Bella. Sedikit kesal.

"Kapanpun kamu siap, dia mau ngedate sama kamu. Hanya sekali, jadi manfaatkan. Jangan membuat keputusan tanpa pertimbangan. pikirkan masa depan dan cita-cita kamu,"

Raffi membuka fikiran Bella menjadi lebih luas. Jika dia menerima teman Raffi itu untuk menjadi suaminya, mungkin kehidupan Bella akan berubah. Dia bisa kuliah dengan tenang dan segala keperluannya akan tercukupi. Tentu saja, yang utama ada yang menjaga dia.

"Kapan saja aku mau, Kak. Aku tunggu kabar dari kakak." ucap Bella pasti.

"Keputusan yang bagus, Cantik." Entah sedang memuji atau meledek, tetapi aku suka setiap kata cantik yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Kak ... ."

"Hmm ... ."

"Kapan Kak Raffi nikah?" celetuk  Bella di sela-sela menikmati nasi uduk Mak Nem yang rasanya juara itu.

"Nanti. Setelah jodohku datang." jawab Raffi datar.

"Kapan?" tanya Bella lagi. Sepertinya momen ini membuat gadis itu mrmiliki kebebasan menanyakan hal pribadi tentang Raffi.

"Belum tau, pacar aja belum punya. Mau nikah sama siapa aku. Sama kamu?" Serius. Setiap kata gombal yang meluncur dari bibir Raffi sukses buat Bella terbang. Walaupun akhirnya dijatuhkan begitu saja.

"Idih, akunya mau, tapi Kak Raffi yang menolak," sahut Bella sambil mengerling nakal ke arah Raffi.

"Menolak karena terlalu cantik," gombal Raffi lagi.

"Bisa aja. Nanti aku terlanjur baper, gimana?" Bella gantian meledek.

"Jangan. Ntar aku ditendang calon suamimu. Terus dibilang tukang tikung," Raffi ngakak.

Rasanya Bella sangat bahagia bisa bertemu Raffi pagi ini. Seluruh rasa penat di pundak  mulaiBella rasa luntur begitu saja. Mereka melanjutkan candaan dan gombalan sambil menghabiskan sarapan.

Siang harinya Bella memutuskan untuk bertemu dengan Sindi. Dia sudah tidak sabar mendengarkan cerita Bella saat menemui kakaknya tadi.

"Jadi kamu udah memutuskan untuk menemui cowok itu?" Sindi tampak begitu antusias.

"Iya , Sin. Setelah aku fikir-fikir sepertinya seru juga kalau punya suami," kata Bella asal.

"Jadi kapan kalian nge-date?" Sindi mencoba menyelidik.

"Aku serahkan sama Kak Raffi. Kapanpun aku siap. Sayangnya acara nge-date ini cuma sekali, Sin. Setelah ketemu aku harus nentuin, iya atau tidak." Sindi hanya tersenyum menanggapi cerita Bella.

"Lebih cepat lebih baik , Bell. Aku selalu mendukung setiap keputusan kamu." Sindi menggenggam tangan Bella erat. Sahabatnya satu ini selalu menguatkan di setiap Bella mendapat masalah. Sindi sangat berharga untuk Bella.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status