Papa Damian menatap putranya tanpa berkedip. Seluruh anggota keluarga yang lain juga melihat ke arah pria itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, jadi aku juga ikut melihat ke arah tunanganku. Sebaliknya, Damian sedang mengarahkan pandangannya kepadaku.
Sebenarnya, aku belum bisa menyebutnya sebagai tunangan karena ada proses panjang yang harus kami jalani dalam adat Batak sebelum resmi menjadi tunangan. Tidak semudah memberikan cincin dan menerima lamarannya. Hal itu tidak akan pernah terjadi dalam adat kami.
“Maafkan aku. Ada apa ini, Damian? Mengapa reaksi keluargamu aneh begini?” tanyaku bingung. Mereka semua bergerak tidak nyaman di tempat duduk mereka masing-masing, tetapi tidak ada yang mau membuka mulut.
“Nia, apa kamu berkata jujur mengenai boru* kamu?” tanya Damian dengan nada serius. Aku mengangguk meskipun tidak mengerti maksud dari pertanyaannya itu.
“Iya. Aku serius. Itu adalah margaku,” kataku membenarkan. Dia memejamkan
~Damian~ “Wah! Senang sekali yang mau bawa calon istrinya ke rumah,” goda Rhea yang sedang duduk di ruang tengah sambil asyik memakan potongan apel yang dibersihkan oleh suaminya, Lae* Luhut. “Jaga sikapmu saat dia ada di sini nanti. Aku tidak mau dia kabur karena ulahmu,” ucapku yang dengan serius mengingatkannya. “Sayang, dengar, tuh. Kakak memarahi aku,” adunya kepada suaminya. “Lae, mengalahlah. Dia sedang hamil tua.” Lae Luhut melirik ke arah perut istrinya yang sangat besar. Adikku diperkirakan akan melahirkan pada bulan depan. Seluruh keluarga kami sudah tidak sabar menantikan kehadiran cucu kedua di rumah ini. “Begitu anak kalian lahir, apa lagi alasanmu untuk menyuruh aku mengalah dengannya?” tanyaku kepadanya. Pria itu hanya tertawa, sedangkan adikku menjulurkan lidahnya. “Kamu akan menjemput Nia?” tanya Mama yang berjalan masuk ke rumah dari teras, pasti baru saja memeriksa kebun kecilnya. Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan
~Nia~ Ishana memercayakan aku kepada temannya yang memiliki usaha properti yang cukup besar dan ternama di ibu kota. Aku ditempatkan di divisi pemasaran sebagai anggota. Aku hanya akan bekerja selama kurang dari satu bulan, maka apa pun posisinya, bukan masalah untukku. Pada hari pertama kerja, aku diperkenalkan kepada manajer dan supervisor timku. Mereka memberi aku sebuah meja kerja dengan papan pemisah antara aku dengan orang yang duduk di sebelah kanan dan depanku. Sayang sekali, bentuknya bukan bilik seperti di kantor lamaku sehingga aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa dilihat oleh rekan yang duduk di barisan belakangku. Seperti kebiasaan kantor pada umumnya, hari Senin selalu dipenuhi dengan rapat. Itu juga yang kami lakukan. Mereka saling bertukar pikiran mengenai ide untuk mempromosikan unit perumahan dan apartemen yang belum laku. “Kita sudah membuka stan di mal, menggencarkan iklan di situs bisnis dan surat kabar daring yang cukup populer
“Wah, itu Damian! Pembawa berita favoritku!” pekik Bintang dengan suara tertahan agar orang-orang tidak melihat ke arah kami. “Oh, Tuhan! Dia melihat ke arahku, Nia!” Dia sedang melihat ke arah aku, tetapi aku tidak akan meralat ucapan rekan kerjaku itu. Pria itu sudah menghubungi aku berkali-kali sejak hari aku pergi dari rumahnya. Dia juga mengirim begitu banyak pesan yang tidak aku baca, apalagi balas. Hubungan kami tidak akan bisa dibawa ke mana pun. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan. Bila hanya ingin mengucapkan kata putus, aku sudah mengembalikan cincin yang dia berikan kepadaku. Itu sudah menjadi simbol berakhirnya hubungan kami. Lalu untuk apa lagi kami bicara? Hal yang berikutnya terjadi berada di luar dugaanku. Damian melangkah mendekati meja di mana aku dan rekan-rekanku berada. Padahal teman-temannya berjalan ke arah sebaliknya. Mereka menatapnya dengan bingung, ketika teman-temanku malah berwajah ceria menyambutnya. “Hai, Dil
Aku tidak terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan, aku bahkan sudah siap harus memberi jawaban apa saat dia menanyakan hal itu. “Mengapa kamu menuduhku begitu? Aku tidak menggoda atau merayu kamu untuk dekat denganku. Aku juga tidak memberi harapan apa pun kepadamu. Kamu sendiri yang mengundang aku duduk di sisimu selama dalam penerbangan. Kamu juga yang meminta imbalan atas tindakanmu itu. Lalu kamu yang mengikuti aku ke mana pun aku pergi selama kita berada di Bangkok. “Bukankah dari tindakanku itu menunjukkan dengan jelas bahwa aku tidak tertarik kepadamu? Lalu untuk apa aku membahas hal pribadi denganmu? Kamu terbiasa dengan kehadiran wanita yang rela tidur denganmu, jadi kamu curiga saat bertemu dengan perempuan yang bersikap berbeda, begitu? Orang tuaku tidak membubuhkan marga pada nama lengkapku. Kamu juga begitu. Lalu mengapa aku yang kamu salahkan? Kamu juga salah tidak menyebut marga saat kita berkenalan.” Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya
~Damian~ Aku meletakkan ponselku ke dalam saku celanaku dan berjalan keluar rumah. Ada apa dengan Nia? Mengapa dia tidak mau menjawab panggilan masuk dariku? Aku tahu bahwa kami tidak akan bisa melanjutkan hubungan kami. Tetapi kami memulainya dengan baik, jadi aku ingin mengakhirinya dengan cara yang baik juga. Kepalaku tidak berhenti memikirkan dia meskipun aku tahu bahwa kami tidak akan bisa bersama. Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa menjalin hubungan dengan perempuan satu marga saja mustahil apalagi menikah dengannya. Selangkah lagi, hanya tinggal satu langkah lagi, maka dia akan menjadi milikku seutuhnya. Sial. Semua ini karena kesalahanku sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri. Aku tidak tahu apakah ini karena suara indahnya, wajah cantiknya, atau sikap misteriusnya, tetapi aku tidak bisa melepaskan diri dari pesonanya. Ini pertama kalinya terjadi dan aku tidak tahu bagaimana mengendalikan diriku sendiri. Seolah-olah aku tidak punya kuasa
~Nia~ Studio itu sangat besar dan luas. Satu sisi keadaannya gelap, sedangkan di sisi lain terang-benderang dengan cahaya lampu. Pada sisi yang gelap dipenuhi dengan peralatan syuting sehingga aku harus berhati-hati dengan langkahku atau kakiku akan terlilit kabel. Aku belum sempat melihat ke sisi yang diterangi cahaya, seorang wanita mendekat dan memasang sesuatu di kerah blazerku. Dia meminta aku untuk mengenakan earphonedi telingaku. Kemudian seorang pria membantu meletakkan suatu alat di dalam saku blazerku tersebut. Wanita lain datang untuk membantu merapikan rambut dan riasan wajahku. “Semuanya segera bersiap pada posisi. Sesi berikutnya akan dimulai dalam lima detik.” Terdengar suara seorang pria dari earphonepada telingaku. Wanita yang membawaku ke studio ini segera menggandeng tanganku, kemudian membawaku mendekati sebuah sofa tidak jauh dari tempat kami berdiri. Lalu dia melepas kartu nama yang aku kalungkan di
Aku membuka mata dan melihat Damian berdiri begitu dekat di depanku. Apa yang sedang dia lakukan? Aku melihat ke sekeliling kami, hanya ada dia dan aku di dalam ruangan ini. Aku kembali menatap dia yang hanya diam saja memandangku dengan saksama. Kedua tangannya berada di kedua sisi kepalaku, seolah-olah mengurung aku agar tidak pergi ke mana pun. Matanya menatapku dengan penuh cinta, aku tidak melihat kesedihan yang aku temukan di sana semalam. Aku membuka mulut, ingin bertanya. “Aku harus melakukan ini,” katanya yang dengan gerakan cepat mencium bibirku. Salah satu tangannya memeluk tubuhku, sedangkan tangannya yang lain berada di belakang kepalaku. Karena tangannya yang ada di belakang leherku, aku tidak bisa menggerakkan kepalaku untuk menghindari ciumannya. Aku hanya punya kedua tanganku untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku. Kedua kakiku bebas dan aku bisa saja menendangnya, tetapi jarak kami begitu dekat sehingga aku tidak bisa menyerang alat vitalny
Satu jam dalam perjalanan, aku pun tiba di tempat kerjaku. Masih ada satu jam tersisa sebelum jam makan siang. Aku bergegas keluar dari elevator dan segera menuju ruangan di mana timku berada. Baru saja melangkah ke ambang pintu masuk, terdengar bunyi tepukan tangan. Rekan-rekanku di dalam ruangan itu melihat ke arahku dengan wajah bangga, bahkan ada yang bersuit. “Penampilan yang keren, Nia!” ucap Bintang senang. Aku tersenyum kepada mereka semua. “Terima kasih,” ucapku sedikit segan. Aku hanya melakukan tugasku, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari kejadian pagi tadi. “Kerja yang bagus, Nia. Dilan telah mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai mentormu,” kata Sharon yang menepuk bahuku dengan bangga. Dilan? Dia bahkan tidak mengajari aku apa pun selain menatapku terpesona dan berusaha untuk merayuku agar mau dekat dengannya. “Apa Pak Dilan berkata begitu kepada Ibu?” tanyaku ingin tahu. “Iya. Dia mempersiapkan kamu untuk tampil perdana