Damian mengajakku mendekati meja penerima tamu. Mereka menyapanya dengan ramah, lalu salah satu dari mereka memasuki restoran dan mengantar kami menuju meja. Aku merasakan beberapa pasang mata tertuju kepada kami, atau lebih tepatnya, kepadaku.
Aku tidak perlu menoleh untuk tahu pemiliknya. Mereka adalah orang tua dan saudara Damian. Aku tahu apa arti dari kedatangan Damian ke tempat ini dengan membawa aku bersamanya. Dia sedang menantang keluarganya secara terang-terangan.
Tamu lainnya yang menatap ke arah kami pasti segera mengenali aku. Penampilanku di layar kaca bersama Damian akan membuat mereka tahu siapa aku. Tetapi selain keluarga Damian, mereka belum tahu bahwa kami sedang menjalin hubungan terlarang. Jadi, mereka tidak akan mengerti mengapa wajah orang tua dan saudara Damian terlihat tegang melihat kehadiranku.
Kami duduk satu meja dengan saudaranya. Ada delapan kursi yang mengelilingi meja bundar itu. Christos datang bersama istri dan anak laki-lak
“Bisa jelaskan apa ini, Ian?” tanya papa Damian saat hanya ada kami saja di ruang makan itu. Para tamu sudah pulang dan para pelayan sedang membersihkan ruangan. Tetapi mereka menyiapkan tempat di sudut depan ruangan agar kami bisa bicara. “Bila maksud Bapak mengenai aku dan Nia, aku sudah memutuskan untuk tetap maju dan menikahi dia,” ucap Damian dengan serius. Rhea, Cempaka, dan mama Damian menarik napas terkejut. Luhut dan Christos bersikap lebih tenang. Bapaknya memejamkan mata dan menghela napas sejenak. “Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?” tanya papanya. Kami duduk bersama dengan kursi diatur melingkar sehingga kami bisa melihat satu sama lain. Aku dan Damian duduk berdampingan. Cempaka duduk di sebelah kiriku, tentu dengan ada sedikit jarak di antara kami, sedangkan Luhut duduk di sebelah kanan Damian. Aku hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan di antara mereka, tidak berniat sedikit pun untuk menginterupsi atau ikut campur.
~Damian~ Aku tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Nia baru saja mengatakan cinta? Wanita yang selama ini mempermainkan perasaanku dengan keahliannya menarik-ulur. Dia yang pada satu waktu membalas ciumanku, dan pada waktu yang hampir bersamaan mengingatkan bahwa kami adalah saudara satu marga yang tidak bisa bersama. Nia yang itu jatuh cinta kepadaku? Tentu saja aku tidak akan melepaskan dia begitu saja setelah mendengar kata cintanya. Dia pikir dia bisa pergi setelah memberi aku sebuah ciuman selamat malam. Aku segera mengambil alih saat dia menjauhkan dirinya dariku. Aku memeluk tubuhnya dengan erat dengan satu tanganku, sedangkan tanganku yang lain berada di belakang lehernya. Dia tidak menarik diri, mendorongku menjauh, atau mengatakan tidak. Sebaliknya, dia tertawa dan membalas ciumanku. Seolah-olah tahu bahwa aku tidak akan merasa cukup dengan satu kecupan singkat saja. Ciuman kami kali ini terasa lebih intens dari biasanya. Mungkin karena kini k
“Monang dan Saulina tahu benar bagaimana mendidik anak-anak mereka. Apa yang kau lakukan ini? Mereka pasti tidak setuju dengan pilihanmu. Lalu untuk apa lagi kau tanyakan ini? Tidak ada yang namanya pernikahan dengan satu marga!” ucap Paktua dengan tegas. “Pasti ada jalan. Aku tidak percaya kami tidak boleh bersama. Aku dan Nia—” kataku berusaha untuk menjelaskan. “Tidak ada jalan bagi kalian untuk bersama,” tukasnya. “Memangnya kau mau menikah sendiri tanpa restu dari orang tuamu? Tanpa restu dari komunitasmu? Kalau kau memaksa tetap menikah dengan dia, kau tidak hanya kehilangan orang tua dan saudaramu. Hubunganmu dengan adat kita juga putus. Apa itu yang kau mau? Kau pikir kau masih bisa hidup tenang tanpa dukungan keluargamu?” Paktua menatapku dengan mata berapi-api. Dia bergantian menatap aku dan Nia dengan tajam. “Sebelum hubungan kalian terlalu jauh, putuskan dia. Aku tidak percaya kau melakukan ini kepada orang tuamu sendiri. Monang dan Saulina telah
~Nia~ “Kita akan bicarakan itu lain kali. Aku pasti akan menceritakan segalanya kepadamu. Tetapi tidak sekarang atau malam ini. Aku hanya ingin mencium kamu sebelum mengantar kamu pulang dan menyiksa diri tidur sendiri malam ini,” ucapnya mendramatisir. Aku tersenyum. Tentu saja dia tidak akan menceritakan apa pun kepadaku malam ini. Dia pasti khawatir hal itu akan membuat aku pergi darinya. Hal paling gelap dari masa lalunya yang tidak dia ketahui jauh lebih kelam dari itu. Tetapi dia akan segera mengetahui segalanya. “Sayang, aku mengizinkan kamu mencium aku. Tetapi aku tidak mau hubungan kita lebih jauh dari ini sebelum kita menikah,” kataku saat dia mendekatkan diri untuk menciumku lagi. “Aku janji, aku tidak akan melewati batas. Aku menghormati hubungan kita seperti halnya aku menghormati kamu.” Dia tersenyum ketika tangannya membelai pipiku. Baiklah. Janji itu sudah cukup untuk saat ini. Pintu diketuk dan dibuka ketika kami belum sempat
“Wow, Bintang! Aku tidak percaya kamu punya ide secemerlang ini,” puji Sharon. Dia membolak-balik halaman fotokopi yang dibagi-bagikan Bintang tadi. “Direktur baru saja membahas ini pada rapat evaluasi pada hari Jumat lalu. Perumahan ini memang sedang menjadi perhatian. “Ide kamu ini boleh juga untuk dicoba. Dengan mengundang anak-anak, maka orang tua mereka juga pasti ikut. Bila mereka melihat sendiri semua fasilitas yang kita miliki dan tipe rumah yang kita jual, mereka bisa jadi akan tertarik untuk membelinya,” ucap Sharon senang. Teman-teman melihat ke arah Bintang dengan kagum. Mereka ikut memujinya dengan memberi senyuman bangga mereka kepadanya. Bintang yang tidak tahu malu itu malah tersenyum bahagia menerima pujian yang bukan miliknya. Dasar pencuri! Aku selalu berhati-hati saat meninggalkan komputer. Kapan aku membiarkannya dalam keadaan terbuka tanpa dikunci? Karena hanya itu satu-satunya cara dia mencuri ide ini. Seingatku, aku selalu mengunci lay
Aku membuka mata saat tangan pada mulutku menjauh. Aku tidak peduli dengan kesopanan dan menjaga kebersihan, aku meludah membuang aroma tidak enak dari telapak tangan itu. Dua pasang mata menatapku dengan tajam. Aku hampir tertawa melihat kedua wajah itu. “Berani sekali kamu mempermalukan aku hari ini di ruang rapat,” ucap Bintang menggeram kesal. “Seharusnya kamu tutup mulut dan tidak mengatakan apa pun mengenai presentasi itu. Apa kamu harus bersikap serendah itu melihat seniormu mendapat pujian? Dasar karyawan baru tidak tahu terima kasih.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Dia mengayunkan tangan berniat menamparku dengan punggung tangannya, tetapi aku bergerak lebih cepat. Aku tidak melakukan misi ini tanpa membekali diri dengan beberapa teknik dasar pertahanan diri. Matanya membulat, lalu mulutnya mengaduh kesakitan saat aku memelintir tangannya itu. “Yang satu pencuri, yang satu lagi pembohong. Kalian adalah pasangan yang cocok.” Aku mendorong tangan Bint
“Kamu akan mengetahuinya nanti,” jawabnya misterius. Aku menatapnya dengan saksama. “Jangan khawatir begitu, aku tidak akan membawamu ke tempat yang tidak menyenangkan.” Aku tahu itu. Hanya saja, perasaanku tidak enak setelah beberapa kali mengalami kejadian yang mengejutkan. Dan aku yakin tempat yang akan kami datangi ini bukan tempat yang dia sukai juga. Karena ekspresi wajahnya berubah waswas. Saat kami tiba di depan sebuah rumah, aku melihat baik-baik bangunan berlantai dua itu. Sedikit lebih besar dari rumah orang tua Damian. Pagarnya juga lebih besar dan tinggi. Seorang wanita membuka pagar sebelum Damian sempat membunyikan bel. Wanita separuh baya itu mempersilakan kami masuk, lalu menutup pagar itu kembali. Kami menunggu dia berjalan di depan kami untuk membawa kami masuk ke rumah. Ruang depan itu sangat mewah dengan berbagai perabotan yang aku yakin harganya mahal. Seorang pria segera menyambut kedatangan kami. “Hai, Damian. Senang sekali bis
~Damian~ Aku lahir sebagai orang Batak, jadi aku tahu benar mengenai Dalihan Natolu. Mereka tidak perlu menjelaskan hal itu lagi kepadaku. Aku hanya ingin tahu apa kami punya kemungkinan untuk menikah tanpa ditentang oleh banyak orang. Setidaknya, aku berharap akan ada orang yang mau mengerti aku dan memberi jalan keluar yang aku harapkan. Aku tahu bahwa keputusanku ini salah di mata kebanyakan orang dalam suku kami. Tetapi benarkah aku dan Nia sama sekali tidak boleh bersatu dalam ikatan pernikahan? Masih ada satu jalan lagi. Semoga saja ada kabar baik dari pendeta di gereja kami. Walaupun aku sudah mulai merasa putus asa. Apa mungkin gereja suku di mana selama ini aku beribadah akan mengizinkan aku dan Nia diberkati di sana? Pendeta itu orang Batak juga, apa iya dia akan memberi jawaban yang berbeda dari yang lain? Tunanganku benar ketika dia menolak aku. Hal ini bukan hal yang sulit baginya karena dia telah kehilangan orang tua, dan keraba