“Monang dan Saulina tahu benar bagaimana mendidik anak-anak mereka. Apa yang kau lakukan ini? Mereka pasti tidak setuju dengan pilihanmu. Lalu untuk apa lagi kau tanyakan ini? Tidak ada yang namanya pernikahan dengan satu marga!” ucap Paktua dengan tegas.
“Pasti ada jalan. Aku tidak percaya kami tidak boleh bersama. Aku dan Nia—” kataku berusaha untuk menjelaskan.
“Tidak ada jalan bagi kalian untuk bersama,” tukasnya. “Memangnya kau mau menikah sendiri tanpa restu dari orang tuamu? Tanpa restu dari komunitasmu? Kalau kau memaksa tetap menikah dengan dia, kau tidak hanya kehilangan orang tua dan saudaramu. Hubunganmu dengan adat kita juga putus. Apa itu yang kau mau? Kau pikir kau masih bisa hidup tenang tanpa dukungan keluargamu?” Paktua menatapku dengan mata berapi-api. Dia bergantian menatap aku dan Nia dengan tajam.
“Sebelum hubungan kalian terlalu jauh, putuskan dia. Aku tidak percaya kau melakukan ini kepada orang tuamu sendiri. Monang dan Saulina telah
~Nia~ “Kita akan bicarakan itu lain kali. Aku pasti akan menceritakan segalanya kepadamu. Tetapi tidak sekarang atau malam ini. Aku hanya ingin mencium kamu sebelum mengantar kamu pulang dan menyiksa diri tidur sendiri malam ini,” ucapnya mendramatisir. Aku tersenyum. Tentu saja dia tidak akan menceritakan apa pun kepadaku malam ini. Dia pasti khawatir hal itu akan membuat aku pergi darinya. Hal paling gelap dari masa lalunya yang tidak dia ketahui jauh lebih kelam dari itu. Tetapi dia akan segera mengetahui segalanya. “Sayang, aku mengizinkan kamu mencium aku. Tetapi aku tidak mau hubungan kita lebih jauh dari ini sebelum kita menikah,” kataku saat dia mendekatkan diri untuk menciumku lagi. “Aku janji, aku tidak akan melewati batas. Aku menghormati hubungan kita seperti halnya aku menghormati kamu.” Dia tersenyum ketika tangannya membelai pipiku. Baiklah. Janji itu sudah cukup untuk saat ini. Pintu diketuk dan dibuka ketika kami belum sempat
“Wow, Bintang! Aku tidak percaya kamu punya ide secemerlang ini,” puji Sharon. Dia membolak-balik halaman fotokopi yang dibagi-bagikan Bintang tadi. “Direktur baru saja membahas ini pada rapat evaluasi pada hari Jumat lalu. Perumahan ini memang sedang menjadi perhatian. “Ide kamu ini boleh juga untuk dicoba. Dengan mengundang anak-anak, maka orang tua mereka juga pasti ikut. Bila mereka melihat sendiri semua fasilitas yang kita miliki dan tipe rumah yang kita jual, mereka bisa jadi akan tertarik untuk membelinya,” ucap Sharon senang. Teman-teman melihat ke arah Bintang dengan kagum. Mereka ikut memujinya dengan memberi senyuman bangga mereka kepadanya. Bintang yang tidak tahu malu itu malah tersenyum bahagia menerima pujian yang bukan miliknya. Dasar pencuri! Aku selalu berhati-hati saat meninggalkan komputer. Kapan aku membiarkannya dalam keadaan terbuka tanpa dikunci? Karena hanya itu satu-satunya cara dia mencuri ide ini. Seingatku, aku selalu mengunci lay
Aku membuka mata saat tangan pada mulutku menjauh. Aku tidak peduli dengan kesopanan dan menjaga kebersihan, aku meludah membuang aroma tidak enak dari telapak tangan itu. Dua pasang mata menatapku dengan tajam. Aku hampir tertawa melihat kedua wajah itu. “Berani sekali kamu mempermalukan aku hari ini di ruang rapat,” ucap Bintang menggeram kesal. “Seharusnya kamu tutup mulut dan tidak mengatakan apa pun mengenai presentasi itu. Apa kamu harus bersikap serendah itu melihat seniormu mendapat pujian? Dasar karyawan baru tidak tahu terima kasih.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Dia mengayunkan tangan berniat menamparku dengan punggung tangannya, tetapi aku bergerak lebih cepat. Aku tidak melakukan misi ini tanpa membekali diri dengan beberapa teknik dasar pertahanan diri. Matanya membulat, lalu mulutnya mengaduh kesakitan saat aku memelintir tangannya itu. “Yang satu pencuri, yang satu lagi pembohong. Kalian adalah pasangan yang cocok.” Aku mendorong tangan Bint
“Kamu akan mengetahuinya nanti,” jawabnya misterius. Aku menatapnya dengan saksama. “Jangan khawatir begitu, aku tidak akan membawamu ke tempat yang tidak menyenangkan.” Aku tahu itu. Hanya saja, perasaanku tidak enak setelah beberapa kali mengalami kejadian yang mengejutkan. Dan aku yakin tempat yang akan kami datangi ini bukan tempat yang dia sukai juga. Karena ekspresi wajahnya berubah waswas. Saat kami tiba di depan sebuah rumah, aku melihat baik-baik bangunan berlantai dua itu. Sedikit lebih besar dari rumah orang tua Damian. Pagarnya juga lebih besar dan tinggi. Seorang wanita membuka pagar sebelum Damian sempat membunyikan bel. Wanita separuh baya itu mempersilakan kami masuk, lalu menutup pagar itu kembali. Kami menunggu dia berjalan di depan kami untuk membawa kami masuk ke rumah. Ruang depan itu sangat mewah dengan berbagai perabotan yang aku yakin harganya mahal. Seorang pria segera menyambut kedatangan kami. “Hai, Damian. Senang sekali bis
~Damian~ Aku lahir sebagai orang Batak, jadi aku tahu benar mengenai Dalihan Natolu. Mereka tidak perlu menjelaskan hal itu lagi kepadaku. Aku hanya ingin tahu apa kami punya kemungkinan untuk menikah tanpa ditentang oleh banyak orang. Setidaknya, aku berharap akan ada orang yang mau mengerti aku dan memberi jalan keluar yang aku harapkan. Aku tahu bahwa keputusanku ini salah di mata kebanyakan orang dalam suku kami. Tetapi benarkah aku dan Nia sama sekali tidak boleh bersatu dalam ikatan pernikahan? Masih ada satu jalan lagi. Semoga saja ada kabar baik dari pendeta di gereja kami. Walaupun aku sudah mulai merasa putus asa. Apa mungkin gereja suku di mana selama ini aku beribadah akan mengizinkan aku dan Nia diberkati di sana? Pendeta itu orang Batak juga, apa iya dia akan memberi jawaban yang berbeda dari yang lain? Tunanganku benar ketika dia menolak aku. Hal ini bukan hal yang sulit baginya karena dia telah kehilangan orang tua, dan keraba
“Ian,” kata Bapak memulai pembicaraan. “Aku membesarkan kamu dan kedua saudaramu dengan baik dan mengajar kalian semua hal yang perlu kalian ketahui mengenai adat kita. Semuanya tanpa ada yang aku atau mamamu sembunyikan. “Apa lagi yang perlu kamu ketahui sehingga kamu mendatangi ketua punguankita? Kamu bahkan sampai datang menemui ketua punguanrumpun marga kita. Apa kamu ingin membuat aku dan mamamu malu? Apa belum cukup kamu membawa dia ke acara bahagia kami dan merusaknya dengan memamerkan dia di depan kami? “Kamu boleh bermain-main dengan dia. Mau tidur dengannya pun silakan. Tetapi hubungan kalian hanya sampai di situ. Tidak akan ada pernikahan. Jadi, kalau dia sampai hamil karena ulahmu, kami tidak akan menikahkan kalian,” ucap Bapak dengan tegas. “Mengapa Bapak berkata seperti itu? Aku menghormati Nia, Pak. Aku tidak akan menyentuh dia melewati batas. Hanya karena kami satu marga dan aku dianggap sedang menentang keluarga,
~Nia~ Aku tersenyum menemukan buket bunga lili putih di atas mejaku pada pagi hari. Ukuran bunga itu cukup besar, jadi delapan belas tangkai bukanlah jumlah yang sedikit. Aku terpaksa mencari vas bunga lain untuk meletakkan bunga tersebut agar bisa bertahan lebih lama. Bu Sharon meminta aku untuk membuat contoh tema lomba yang aku pikirkan cocok untuk ideku yang sudah diterima oleh direktur utama. Tugas yang sangat mudah. Aku mulai mencari gambar yang cocok untuk membuat presentasiku itu semakin menarik. Setiap kali Bintang atau Dilan lewat di depan dan belakangku, aku bisa merasakan tatapan tajam mereka yang ditujukan kepadaku. Dilan pasti butuh waktu yang lama untuk pulih dari rasa sakit pada alat vitalnya. Bintang tidak akan ada masalah dengan memar yang aku beri kepadanya. Dia bisa menutupinya dengan riasan tebal di wajahnya. Perhatianku teralihkan ketika seorang petugas keamanan memasuki ruangan kami dan berjalan langsung menuju ruang kerja Sharo
Damian mampir ke sebuah restoran untuk memesan beberapa porsi makanan, lalu kami membawa semua itu ke mobil. Aku segera mengenali jalan yang dia tempuh ketika kami hampir tiba di tujuan. Ini tidak mungkin. Untuk apa dia datang ke tempat ini? Setelah memarkirkan mobilnya, dia membawa satu kantong dan aku membawa kantong yang lain. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku menuju sebuah bangunan yang ada di balik gereja. Pintu rumah itu terbuka, jadi dia bisa memanggil penghuninya dari ambang pintu. Seorang wanita separuh baya datang tergopoh-gopoh menyambut kami dengan ramah. Dia mempersilakan kami duduk. Damian memberi sedikit dorongan di punggung bagian bawahku agar aku mengikuti wanita itu ke bagian dalam rumah. Aku menurutinya. Kami membuka setiap bungkusan makanan itu dan meletakkannya di atas piring saji. Wanita itu sangat ramah dengan menanyakan nama dan beberapa hal mengenai aku. Agak risi rasanya baru pertama bertemu sudah ditanya mengenai pernikahan, j