Home / Romansa / Api Dendam Brianna / Bab 4 - Ketahuan

Share

Bab 4 - Ketahuan

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2021-12-25 22:32:55

“Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya.

“Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti.

“Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung.

“Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku.

“Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat menarik!” godaku.

“Ya, ya, ya. Silakan ejek aku sesukamu.” Dia pura-pura marah.

Makanan pesanan kami datang, kami saling berbagi pendapat kami mengenai rasa dan tekstur makanan tersebut. Dia merasa bersalah saat mengintip jumlah tagihan kami dan berniat untuk membagi dua tagihannya, tetapi aku menolak. Janji adalah janji.

“Apa kita tidak bisa bertemu lagi?” tanyanya untuk kesekian kalinya.

“Maafkan aku, Damian. Pertemuan kita cukup sampai di sini.” Aku kembali menolak tawarannya. “Seharusnya kamu tidak membuang nomor pramugari tadi.” Dia tertegun sejenak sebelum kami tertawa bersama.

Dia menunggu sampai aku masuk ke taksi, lalu mencari tumpangan untuk pergi ke hotelnya. Aku akhirnya bisa menikmati pemandangan malam kota Bangkok yang seramai siang hari. Ada banyak sekali pelancong dari berbagai belahan dunia yang berkunjung ke kota ini setiap tahunnya. Dan bulan ini semakin istimewa karena ada festival besar yang akan berlangsung di seluruh negeri ini.

Aku bergegas menuju resepsionis ketika tiba di hotel. Seorang pelayan mengambil alih koperku saat aku melewati pintu masuk utama. Dia menunggu hingga urusanku selesai dan menerima kartu untuk masuk ke kamarku.

Aku berterima kasih kemudian membalikkan badan. Tanpa memerhatikan keadaan, ada seseorang berdiri di depanku, menghalangi langkahku. Kami hampir saja bertabrakan. Aku mengangkat wajah dan tertawa saat bertemu pandang dengannya. Aku sudah berusaha secepat mungkin untuk kabur, ternyata tetap ketahuan juga.

“Kamu sengaja tidak memberitahu aku di mana kamu menginap. Mengapa? Kamu tahu bahwa aku menginap di hotel ini, mengapa kamu diam saja tadi?” katanya marah. “Kita bisa berangkat bersama ke sini dari restoran tadi.”

“Untuk apa, Damian? Urusan kita sudah selesai. Aku sudah menepati janjiku untuk membalas kebaikanmu. Lalu untuk apa lagi kita meneruskan pertemuan yang tidak disengaja ini?” tanyaku ingin tahu. Dia terdiam. “Aku akan ke kamarku sekarang. Selamat tinggal.”

Aku bersyukur dia tidak mengikuti aku. Aku hanya bisa berharap bahwa dia tidak mencari tahu nomor kamarku. Itu hal yang mudah baginya. Karena aku yakin bahwa pegawai resepsionis itu bisa saja tergoda pesonanya dan memberi nomor kamarku meskipun itu melanggar peraturan.

Ishana memesan kamar yang sangat bagus untukku. Hanya ada satu tempat tidur tetapi kamar itu lengkap dengan bufet, sofa, konter dan kulkas mini, lemari pakaian, televisi berlayar datar, juga kamar mandi dengan toilet, wastafel, dan pancurannya.

Dia hanya memberiku waktu selama tiga hari untuk berkeliling di tempat wisata yang sangat terkenal di kota ini. Kami akan membuka usaha bersama dan kami membutuhkan ide-ide segar untuk menginspirasi usaha baru tersebut.

Aku akan menghancurkan kakiku bila aku mengenakan sepatu berhak tinggi. Maka untuk misi pada hari pertama, aku memakai sepatu kets yang cocok dengan kemeja dan celana jins panjangku. Aku menuju restoran untuk menikmati sarapan dan seorang pria berwajah cemberut menyambut aku.

“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini?” Aku tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Kita tidak punya janji apa pun, bukan teman perjalanan, hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu di bandara dan satu pesawat.”

“Benar. Tetapi apa salahnya memberitahu aku di mana kamu menginap?” protesnya. Dia mengikuti aku menuju meja yang menyediakan berbagai nasi goreng.

“Memangnya kamu mau apa? Bukankah kamu ada rencana sendiri di tempat ini? Aku juga sudah punya rencanaku sendiri.” Aku mengisi piringku dengan salah satu nasi goreng menggunakan resep khas Thailand, lalu menuju meja yang menyediakan sosis, telur, dan lauk lainnya.

“Hari ini kamu akan ke mana?” tanyanya ingin tahu.

“Pertama, aku perlu pergi ke Grand Palace, kemudian ke Wat Arun,” jawabku dengan antusias.

“Untuk apa pergi ke lokasi di alam terbuka begitu? Kamu tidak takut kepanasan?” tanyanya. Aku menoleh dan menatapnya tidak percaya. Kedua tempat itu adalah dua pilihan teratas obyek wisata di Bangkok. Itu artinya kedua tempat itu punya keistimewaan.

“Memangnya kamu ke sini mau berkunjung ke mana?” Aku mendekati meja yang menyajikan makanan ringan. Fried spring roll khas Thailand dengan bumbu cabainya adalah yang terbaik. Aku mengambil beberapa potong, begitu juga dengan bumbunya.

“Museum Madame Tussauds. Apa kamu tidak tahu bahwa di museum itu ada patung lilin Bung Karno? Siam Paragon, galeri seni, mansion, ada banyak.” Dia mengambil makanan yang sama yang aku letakkan ke atas piringku. “Tetapi yang paling utama, aku mau ikut Festival Songkran.”

“Mulai dari hari Rabu depan, ‘kan?” tanyaku tertarik. Dia mengangguk cepat.

“Aku akan pergi ke Chiang Mai. Kamu akan pergi ke mana untuk melihat festival itu?” tanyanya dengan mata berbinar-binar. Kami berjalan menuju salah satu meja yang kosong.

“Aku harus kembali ke Indonesia. Aku di sini hanya untuk tiga hari.” Aku meletakkan kedua piring yang aku bawa di atas meja.

“Sayang sekali. Kamu tahu bahwa orang-orang akan berdatangan ke sini demi mengikuti acara itu.” Dia bicara seolah-olah aku tidak tahu-menahu mengenai festival besar tersebut.

“Kamu mau minum apa? Akan aku ambilkan.” Aku melihat ke arah antrian minuman yang tidak panjang. Syukurlah.

“Biar aku saja. Kamu yang menjaga makanan kita,” katanya. Aku mengalah.

“Jus jeruk dan air putih.” Aku duduk, sedangkan dia pergi ke meja yang menyajikan beberapa jenis minuman. Aku segera memotong spring roll tersebut dan menggumam pelan saat mengunyahnya.

Damian kembali dengan membawa baki. Dia meletakkan segelas jus jeruk dan air putih di depanku, lalu secangkir kopi dan segelas air untuknya. Kami menikmati makanan sambil membicarakan rencana kami masing-masing selanjutnya. Dia masih memamerkan tentang festival itu sehingga aku harus membungkam mulutnya dengan sepotong telur.

Karena jarak hotel ke dermaga bisa ditempuh dengan jalan kaki, aku memutuskan untuk berjalan. Aku makan terlalu banyak, jadi aku perlu membantu tubuhku untuk mencerna sarapan tadi. Damian masih berjalan menempeli aku.

“Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu tidak suka mengunjungi tempat yang membuat kamu kepanasan?” kataku menyindir.

“Aku hanya ingin tahu apa yang begitu menarik dari sebuah bangunan istana raja sampai banyak turis yang rela berpanas ria ke sana,” katanya acuh tak acuh.

“Kamu bercanda, ‘kan? Siapa pun pasti mau tinggal di istana raja,” ujarku keberatan.

“Kamu terikat peraturan yang sangat ketat bila hidup di istana. Sampai apa yang kamu pakai saja sudah ada protokolernya. Apa enaknya hidup seperti itu? Jangan bandingkan kehidupan dalam dongeng dengan kerajaan dalam kehidupan nyata.” Dia tidak mau kalah.

“Ah!” Aku melihat ke arah kapal yang akan segera berlabuh. “Kita harus mengejar kapal itu. Kapal berikutnya akan datang setengah jam lagi. Cepat!”

Aku bersyukur memakai sepatu kets sehingga langkah kakiku cukup cepat. Aku terkejut ketika Damian menggandeng tanganku dan mengajakku berlari bersamanya. Kami berteriak meminta mereka menunggu kami. Aku baru bisa merasa lega setelah berdiri di atas kapal.

Orang-orang melihat ke arah kami sambil bicara dengan teman di sampingnya dengan senyum penuh arti. Menyadari bahwa kami masih bergandengan tangan, aku menarik tanganku darinya. Damian tertawa kecil. Aku menatapnya dengan bingung.

“Kamu salah paham. Bukan itu yang membuat mereka menatap kita,” katanya pelan.

“Lalu apa lagi yang membuat mereka menertawakan kita seperti itu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Riana Ve
menarik...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Api Dendam Brianna   Bab 92 - Sayangku untuk Selamanya

    ~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.

  • Api Dendam Brianna   Bab 91 - Pulang

    ~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga

  • Api Dendam Brianna   Bab 90 - Penebusan Dosa

    ~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb

  • Api Dendam Brianna   Bab 89 - Keputusan yang Berat

    Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka

  • Api Dendam Brianna   Bab 88 - Tidak Sehati

    Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam

  • Api Dendam Brianna   Bab 87 - Apa Adanya

    Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status