“Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya.
“Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti.
“Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung.
“Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku.
“Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat menarik!” godaku.
“Ya, ya, ya. Silakan ejek aku sesukamu.” Dia pura-pura marah.
Makanan pesanan kami datang, kami saling berbagi pendapat kami mengenai rasa dan tekstur makanan tersebut. Dia merasa bersalah saat mengintip jumlah tagihan kami dan berniat untuk membagi dua tagihannya, tetapi aku menolak. Janji adalah janji.
“Apa kita tidak bisa bertemu lagi?” tanyanya untuk kesekian kalinya.
“Maafkan aku, Damian. Pertemuan kita cukup sampai di sini.” Aku kembali menolak tawarannya. “Seharusnya kamu tidak membuang nomor pramugari tadi.” Dia tertegun sejenak sebelum kami tertawa bersama.
Dia menunggu sampai aku masuk ke taksi, lalu mencari tumpangan untuk pergi ke hotelnya. Aku akhirnya bisa menikmati pemandangan malam kota Bangkok yang seramai siang hari. Ada banyak sekali pelancong dari berbagai belahan dunia yang berkunjung ke kota ini setiap tahunnya. Dan bulan ini semakin istimewa karena ada festival besar yang akan berlangsung di seluruh negeri ini.
Aku bergegas menuju resepsionis ketika tiba di hotel. Seorang pelayan mengambil alih koperku saat aku melewati pintu masuk utama. Dia menunggu hingga urusanku selesai dan menerima kartu untuk masuk ke kamarku.
Aku berterima kasih kemudian membalikkan badan. Tanpa memerhatikan keadaan, ada seseorang berdiri di depanku, menghalangi langkahku. Kami hampir saja bertabrakan. Aku mengangkat wajah dan tertawa saat bertemu pandang dengannya. Aku sudah berusaha secepat mungkin untuk kabur, ternyata tetap ketahuan juga.
“Kamu sengaja tidak memberitahu aku di mana kamu menginap. Mengapa? Kamu tahu bahwa aku menginap di hotel ini, mengapa kamu diam saja tadi?” katanya marah. “Kita bisa berangkat bersama ke sini dari restoran tadi.”
“Untuk apa, Damian? Urusan kita sudah selesai. Aku sudah menepati janjiku untuk membalas kebaikanmu. Lalu untuk apa lagi kita meneruskan pertemuan yang tidak disengaja ini?” tanyaku ingin tahu. Dia terdiam. “Aku akan ke kamarku sekarang. Selamat tinggal.”
Aku bersyukur dia tidak mengikuti aku. Aku hanya bisa berharap bahwa dia tidak mencari tahu nomor kamarku. Itu hal yang mudah baginya. Karena aku yakin bahwa pegawai resepsionis itu bisa saja tergoda pesonanya dan memberi nomor kamarku meskipun itu melanggar peraturan.
Ishana memesan kamar yang sangat bagus untukku. Hanya ada satu tempat tidur tetapi kamar itu lengkap dengan bufet, sofa, konter dan kulkas mini, lemari pakaian, televisi berlayar datar, juga kamar mandi dengan toilet, wastafel, dan pancurannya.
Dia hanya memberiku waktu selama tiga hari untuk berkeliling di tempat wisata yang sangat terkenal di kota ini. Kami akan membuka usaha bersama dan kami membutuhkan ide-ide segar untuk menginspirasi usaha baru tersebut.
Aku akan menghancurkan kakiku bila aku mengenakan sepatu berhak tinggi. Maka untuk misi pada hari pertama, aku memakai sepatu kets yang cocok dengan kemeja dan celana jins panjangku. Aku menuju restoran untuk menikmati sarapan dan seorang pria berwajah cemberut menyambut aku.
“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini?” Aku tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Kita tidak punya janji apa pun, bukan teman perjalanan, hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu di bandara dan satu pesawat.”
“Benar. Tetapi apa salahnya memberitahu aku di mana kamu menginap?” protesnya. Dia mengikuti aku menuju meja yang menyediakan berbagai nasi goreng.
“Memangnya kamu mau apa? Bukankah kamu ada rencana sendiri di tempat ini? Aku juga sudah punya rencanaku sendiri.” Aku mengisi piringku dengan salah satu nasi goreng menggunakan resep khas Thailand, lalu menuju meja yang menyediakan sosis, telur, dan lauk lainnya.
“Hari ini kamu akan ke mana?” tanyanya ingin tahu.
“Pertama, aku perlu pergi ke Grand Palace, kemudian ke Wat Arun,” jawabku dengan antusias.
“Untuk apa pergi ke lokasi di alam terbuka begitu? Kamu tidak takut kepanasan?” tanyanya. Aku menoleh dan menatapnya tidak percaya. Kedua tempat itu adalah dua pilihan teratas obyek wisata di Bangkok. Itu artinya kedua tempat itu punya keistimewaan.
“Memangnya kamu ke sini mau berkunjung ke mana?” Aku mendekati meja yang menyajikan makanan ringan. Fried spring roll khas Thailand dengan bumbu cabainya adalah yang terbaik. Aku mengambil beberapa potong, begitu juga dengan bumbunya.
“Museum Madame Tussauds. Apa kamu tidak tahu bahwa di museum itu ada patung lilin Bung Karno? Siam Paragon, galeri seni, mansion, ada banyak.” Dia mengambil makanan yang sama yang aku letakkan ke atas piringku. “Tetapi yang paling utama, aku mau ikut Festival Songkran.”
“Mulai dari hari Rabu depan, ‘kan?” tanyaku tertarik. Dia mengangguk cepat.
“Aku akan pergi ke Chiang Mai. Kamu akan pergi ke mana untuk melihat festival itu?” tanyanya dengan mata berbinar-binar. Kami berjalan menuju salah satu meja yang kosong.
“Aku harus kembali ke Indonesia. Aku di sini hanya untuk tiga hari.” Aku meletakkan kedua piring yang aku bawa di atas meja.
“Sayang sekali. Kamu tahu bahwa orang-orang akan berdatangan ke sini demi mengikuti acara itu.” Dia bicara seolah-olah aku tidak tahu-menahu mengenai festival besar tersebut.
“Kamu mau minum apa? Akan aku ambilkan.” Aku melihat ke arah antrian minuman yang tidak panjang. Syukurlah.
“Biar aku saja. Kamu yang menjaga makanan kita,” katanya. Aku mengalah.
“Jus jeruk dan air putih.” Aku duduk, sedangkan dia pergi ke meja yang menyajikan beberapa jenis minuman. Aku segera memotong spring roll tersebut dan menggumam pelan saat mengunyahnya.
Damian kembali dengan membawa baki. Dia meletakkan segelas jus jeruk dan air putih di depanku, lalu secangkir kopi dan segelas air untuknya. Kami menikmati makanan sambil membicarakan rencana kami masing-masing selanjutnya. Dia masih memamerkan tentang festival itu sehingga aku harus membungkam mulutnya dengan sepotong telur.
Karena jarak hotel ke dermaga bisa ditempuh dengan jalan kaki, aku memutuskan untuk berjalan. Aku makan terlalu banyak, jadi aku perlu membantu tubuhku untuk mencerna sarapan tadi. Damian masih berjalan menempeli aku.
“Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu tidak suka mengunjungi tempat yang membuat kamu kepanasan?” kataku menyindir.
“Aku hanya ingin tahu apa yang begitu menarik dari sebuah bangunan istana raja sampai banyak turis yang rela berpanas ria ke sana,” katanya acuh tak acuh.
“Kamu bercanda, ‘kan? Siapa pun pasti mau tinggal di istana raja,” ujarku keberatan.
“Kamu terikat peraturan yang sangat ketat bila hidup di istana. Sampai apa yang kamu pakai saja sudah ada protokolernya. Apa enaknya hidup seperti itu? Jangan bandingkan kehidupan dalam dongeng dengan kerajaan dalam kehidupan nyata.” Dia tidak mau kalah.
“Ah!” Aku melihat ke arah kapal yang akan segera berlabuh. “Kita harus mengejar kapal itu. Kapal berikutnya akan datang setengah jam lagi. Cepat!”
Aku bersyukur memakai sepatu kets sehingga langkah kakiku cukup cepat. Aku terkejut ketika Damian menggandeng tanganku dan mengajakku berlari bersamanya. Kami berteriak meminta mereka menunggu kami. Aku baru bisa merasa lega setelah berdiri di atas kapal.
Orang-orang melihat ke arah kami sambil bicara dengan teman di sampingnya dengan senyum penuh arti. Menyadari bahwa kami masih bergandengan tangan, aku menarik tanganku darinya. Damian tertawa kecil. Aku menatapnya dengan bingung.
“Kamu salah paham. Bukan itu yang membuat mereka menatap kita,” katanya pelan.
“Lalu apa lagi yang membuat mereka menertawakan kita seperti itu?”
Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut. Tiba di de
~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir
~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j
Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk
~Damian~ Aku sangat terkejut dengan dorongan yang begitu kuat yang aku rasakan saat kami berdiri di pagar pembatas bar di atap hotel tadi. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Berapa kali pun wanita menggoda dan memberikan diri mereka secara rela kepadaku, aku tidak tertarik. Apa yang ada pada diri seorang Nia sehingga aku begitu terpesona kepadanya? Aku seperti terbius tidak bisa membuang dia dari kepalaku. Wajah cantik, senyum manis, sikap yang sedikit menjaga jarak, dan suara indahnya selalu menghiasi benakku. Ini tidak mungkin. Apa iya aku sedang jatuh cinta? Secepat ini? Kami baru bertemu beberapa jam saja. Ini bahkan belum genap empat puluh delapan jam dan aku sudah menciumnya seperti remaja puber yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun tetapi tidak bisa menahan keinginanku sendiri. Seandainya saja dia marah atau menamparku dengan keras, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, dia hanya marah sesaat dan
~Nia~ Aku membutuhkan satu kalimat terakhir darinya untuk tahu bahwa dia serius dengan ajakannya. Dan dia akhirnya mengatakannya juga. Aku tidak perlu mengkhawatirkan biaya apa pun selama berada di Chiang Mai nanti. Dia membeli tiket kelas satu dan aku pikir kami akan berada pada satu ruangan yang sama, ternyata aku salah. Kami mendapat bilik masing-masing lengkap dengan tempat tidurnya. Ruangan kecil itu memiliki penyejuk ruangan, meja dan kursi untuk satu orang, stop kontak bila ingin menggunakan alat listrik, tempat tidurnya juga dilengkapi dengan bantal dan selimut. “Kamar kamu di mana?” tanyaku setelah meletakkan koperku di dalam. “Di sini.” Dia menunjuk pintu di sampingku. “Ini pintu penghubung antara bilik kita.” Dia mendorong gerendel, membukanya, dan melewatinya. Ruangan itu mirip cerminan dari kamarku. Semuanya sama hanya berbeda posisi saja. “Ini ide yang bagus dibandingkan naik pesawat,” kataku pelan. “Kita tidak perlu membayar kam
Orang-orang yang ada di sekeliling kami menarik napas terkejut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti berjalan. Aku hanya bisa bersikap panik karena mendadak menjadi pusat perhatian. “Nia, menikahlah denganku. Aku berjanji aku akan membuat kamu bahagia. Kita memang belum lama saling mengenal, tetapi aku pastikan kepadamu bahwa aku akan menyayangi kamu dan tidak akan pernah menyakiti kamu,” katanya mengucapkan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak dengan cincin bertatahkan berlian di dalamnya. Aku belum selesai dari rasa terkejut mendengar pernyataan cintanya, malah dilanjutkan dengan mendengarkan lamarannya? Ini benar-benar cepat sekali. Damian menatapku penuh harap. Aku melihat ke sekeliling kami. Mereka juga memberiku tatapan serupa. Damian adalah pria yang tampan, berbakat, mapan, baik hati, dan pantang menyerah. Oh, satu lagi. Dia pencium yang hebat. Aku percaya bahwa semua yang dia ucapkan akan dia tepati. Tetapi ini terlalu cepat. Kami baru bertemu