Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya.
Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka.
Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut.
Tiba di dermaga yang dekat dengan istana, hampir sebagian besar penumpang keluar dari kapal. Damian melompat lebih dahulu, kemudian dia mengulurkan tangannya untuk membantuku. Saat aku sudah berada di dermaga, dia tidak melepaskan genggaman tangannya.
Melihat ramainya pengunjung di sekitar kami, mungkin dia khawatir kami akan terpisah. Aku terpaksa mengikuti ke mana dia melangkah. Mendengar dari beberapa percakapan rombongan di sekitar kami, aku menangkap beberapa orang yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Aku tersenyum. Aku mendadak rindu rumah.
“Permisi,” sapa seorang ibu yang mendekati kami. Aku dan Damian menoleh. “Kamu, Damian Yunadi, ‘kan?” tanya ibu itu mengonfirmasi. Damian melihat ke arahku dengan tatapan arogannya. Aku meresponsnya dengan memutar bola mataku.
“Iya, Bu.” Dia memberikan senyuman menawannya kepada wanita tersebut. Ibu itu segera memekik senang, lalu melihat ke arah belakangnya.
“Benar! Ini Damian Yunadi!” Kalimat itu langsung membuat kami berada dalam kepungan ibu-ibu separuh baya yang mengenakan kaus seragam. Mereka berteriak histeris layaknya fans bertemu dengan artis favoritnya, berebut ingin berfoto bersamanya. Aku menarik tanganku, tetapi Damian tidak mau melepaskan genggamannya. Aku pun terpaksa berfoto bersama mereka.
Entah sudah berapa jepretan yang mereka ambil, mereka masih belum puas juga. Apa tidak bisa satu kali berfoto, lalu mereka mengirim foto itu ke semua teman-temannya? Masa iya kami harus berfoto untuk semua kamera dan ponsel yang mereka punya?
“Kamu sedang apa di sini? Apakah kamu juga sedang berlibur? Bagaimana dengan siaran berita yang kamu bawakan kalau kamu sedang berada di sini? Kamu pembawa berita favoritku! Apa benar kata berita terbaru yang mengatakan bahwa kamu sedang dekat dengan seorang wanita? Apakah ini wanita yang beruntung itu? Kalian sedang berlibur bersama?”
Mereka mengajukan begitu banyak pertanyaan yang tidak dijawab oleh Damian. Bagaimana dia bisa menjawabnya, mereka tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Untunglah seorang wanita yang sepertinya adalah pemimpin rombongan atau pemandu wisata mereka datang. Dia segera meminta para wanita itu untuk berkumpul dan mengikutinya.
“Apa sekarang kamu tahu siapa aku? Begitulah orang-orang biasanya bereaksi saat melihat aku.” Damian membusungkan dadanya. Aku memukul tubuhnya itu yang segera membuatnya mengaduh kesakitan. “Mengapa kamu memukul aku?”
“Supaya kamu segera sadar. Aku ingin mengunjungi istana bukan mendengar kamu pamer mengenai para fansmu,” ucapku mengingatkan. Dia tertawa kecil. “Lagi pula aku hampir saja kehabisan udara karena ulah mereka tadi.” Aku berkali-kali terhimpit tubuh mereka saat kami berfoto bersama.
Ketika kami melewati gerbang memasuki kawasan istana, aku berdecak kagum melihat kebersihan dan keindahan taman di sekitarku. Kami mendekati loket dan bertengkar sejenak mengenai biaya tiket yang semuanya dia yang bayar. Aku jelas keberatan tetapi dia tidak peduli.
Rombongan ibu-ibu tadi tidak memasuki istana, sepertinya mereka sudah selesai berkeliling. Tetapi aku tetap waspada andai ada rombongan atau orang lain yang juga mengenalnya di tempat ini. Berjalan berdua saja dengan artis memang kurang menyenangkan.
“Kamu sudah pernah ke tempat ini?” tanyaku menyadari dia menghapal lokasi mana yang sebaiknya kami kunjungi terlebih dahulu. Dia mengangguk.
“Bagaimana aku bisa tahu bahwa tempat ini panas kalau bukan karena aku sudah pernah ke sini?” jawabnya acuh tak acuh. Aku tertawa kecil.
“Jika kamu tidak menyukai tempat ini, mengapa kamu datang ke sini?” Aku menggeleng tidak mengerti. Cuaca cerah memang membuat tubuh berkeringat. Tetapi ada banyak pohon sebagai tempat berteduh, jadi tempat ini tidak sepenuhnya panas.
Damian tidak banyak bicara atau mengeluh saat aku memasuki satu demi satu tempat yang ada dalam lingkungan istana tersebut. Dia menawarkan untuk mengambil fotoku, tetapi aku menolak. Aku hanya ingin memotret bangunan dan hal yang menarik perhatianku, bukan mengoleksi foto pribadi. Saat dia membujuk untuk berfoto bersama, aku pun mengalah.
Bangunan paling indah dari semua bangunan yang ada di lingkungan istana itu adalah tentu saja istana utama. Ada banyak sekali orang yang mengantri untuk berfoto di posisi yang tepat di mana bangunan itu bisa terlihat seutuhnya. Aku berdiri beberapa saat mengagumi bangunan tersebut.
Beberapa penjaga berpakaian tentara adalah satu-satunya bukti yang menunjukkan bahwa bangunan megah itu adalah tempat tinggal raja. Meskipun kompleks ini menjadi tempat wisata, keamanannya tidak dikendurkan.
Aku menoleh ke arah Damian untuk mengatakan sesuatu. Tetapi tatapan matanya membuatku lupa dengan kalimat yang hendak aku sampaikan. Aku tidak buta dan aku melihat bayanganku setiap hari di cermin. Cara pria dan wanita yang melihat ke arahku juga setuju dengan pendapatku. Aku adalah wanita yang cantik. Dan begitulah dia menatapku, terpesona dengan pemandangan di depannya.
“Kamu akan terus menatapku seperti itu atau kita sudah bisa keluar dari tempat ini?” godaku. Dia mengedipkan matanya, terbangun dari lamunannya, lalu tertawa kecil.
Saat kami menaiki kapal lagi menuju Wat Arun, dia kembali melakukan hal yang sama. Membayar kedua tiket kami. Aku suka bila ada yang mau membayar setiap pengeluaranku, aku tidak akan munafik. Tetapi kami baru bertemu satu hari, sikapnya ini membuatku tidak nyaman. Aku tahu dia akan meminta sesuatu sebagai imbalannya nanti.
“Aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak akan membiarkan perempuan yang ikut bersamaku yang membayar sendiri biaya yang harus dia keluarkan. Kalau kamu segan, traktir aku makan siang.” Nah, benar, ‘kan? Ada udang di balik batu.
Pikiran itu segera pergi dari kepalaku begitu kakiku mencapai tingkat teratas candi. Aku terpukau kagum menyaksikan pemandangan indah kota Bangkok dan sungai Chao Phraya dari atas. Bukan hanya pemandangan pada bagian atas candi yang menarik perhatian. Dekorasi pada dinding candi itu juga berbeda dari candi lainnya.
“Pantas saja candi ini terlihat berbeda dari jauh. Mereka menggunakan pecahan piring cina sebagai dekorasi tembok bagian luarnya.” Aku berdecak kagum.
“Dan pada malam hari, candi ini akan semakin cantik dengan lampu berwarna keemasannya. Kita bisa melihatnya dari hotel.” Dia masih menggandeng tanganku saat kami menuruni tangga dan mengamati lukisan juga patung pada setiap tingkat sambil kembali ke lantai bawah.
“Benarkah?” tanyaku tidak percaya. “Aku akan membuka tirai kamarku agar bisa menikmatinya.”
“Tergantung di mana posisi kamarmu. Kamu bisa melihatnya dari kamarku. Jendelanya menghadap langsung ke sungai ini.” Dia mempercepat langkahnya. Apa maksudnya berkata begitu? Apa dia mengundang aku untuk melihat candi ini lewat jendela kamarnya? “Ayo, kita segera pergi dari tempat ini. Aku lapar dan kamu harus mentraktirku makan. Aku sudah menjadi pemandu yang baik.”
“Kamu sengaja melakukan ini agar kita bisa bersama lebih lama, ya?” tanyaku curiga.
“Bukankah aku sudah mengatakan itu semalam dengan menanyakan hotel tempat kamu menginap? Kamu yang tidak mau meneruskan pertemuan tidak disengaja kita.” Dia membantuku menuruni tangga demi tangga untuk kembali ke dermaga. “Bagi kamu, pertemuan seperti ini mungkin tidak berarti. Tetapi bagiku, ini bukan sebuah kebetulan.” Aku mendengus menahan tawa.
“Kamu bukan ingin mengatakan bahwa kamu percaya pada cinta pada pandangan pertama, ‘kan?” kataku menyindirnya. Dia menghentikan langkahnya sehingga aku ikut berhenti. Kami berdiri begitu dekat sehingga aku harus sedikit menengadahkan kepalaku agar bisa melihat wajahnya.
Dia menatapku dengan serius. Tangannya menarikku mendekat. “Bagaimana kalau aku bukan hanya percaya, tetapi sedang mengalaminya? Bagaimana jika aku jatuh cinta kepadamu?”
~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir
~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j
Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk
~Damian~ Aku sangat terkejut dengan dorongan yang begitu kuat yang aku rasakan saat kami berdiri di pagar pembatas bar di atap hotel tadi. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Berapa kali pun wanita menggoda dan memberikan diri mereka secara rela kepadaku, aku tidak tertarik. Apa yang ada pada diri seorang Nia sehingga aku begitu terpesona kepadanya? Aku seperti terbius tidak bisa membuang dia dari kepalaku. Wajah cantik, senyum manis, sikap yang sedikit menjaga jarak, dan suara indahnya selalu menghiasi benakku. Ini tidak mungkin. Apa iya aku sedang jatuh cinta? Secepat ini? Kami baru bertemu beberapa jam saja. Ini bahkan belum genap empat puluh delapan jam dan aku sudah menciumnya seperti remaja puber yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun tetapi tidak bisa menahan keinginanku sendiri. Seandainya saja dia marah atau menamparku dengan keras, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, dia hanya marah sesaat dan
~Nia~ Aku membutuhkan satu kalimat terakhir darinya untuk tahu bahwa dia serius dengan ajakannya. Dan dia akhirnya mengatakannya juga. Aku tidak perlu mengkhawatirkan biaya apa pun selama berada di Chiang Mai nanti. Dia membeli tiket kelas satu dan aku pikir kami akan berada pada satu ruangan yang sama, ternyata aku salah. Kami mendapat bilik masing-masing lengkap dengan tempat tidurnya. Ruangan kecil itu memiliki penyejuk ruangan, meja dan kursi untuk satu orang, stop kontak bila ingin menggunakan alat listrik, tempat tidurnya juga dilengkapi dengan bantal dan selimut. “Kamar kamu di mana?” tanyaku setelah meletakkan koperku di dalam. “Di sini.” Dia menunjuk pintu di sampingku. “Ini pintu penghubung antara bilik kita.” Dia mendorong gerendel, membukanya, dan melewatinya. Ruangan itu mirip cerminan dari kamarku. Semuanya sama hanya berbeda posisi saja. “Ini ide yang bagus dibandingkan naik pesawat,” kataku pelan. “Kita tidak perlu membayar kam
Orang-orang yang ada di sekeliling kami menarik napas terkejut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti berjalan. Aku hanya bisa bersikap panik karena mendadak menjadi pusat perhatian. “Nia, menikahlah denganku. Aku berjanji aku akan membuat kamu bahagia. Kita memang belum lama saling mengenal, tetapi aku pastikan kepadamu bahwa aku akan menyayangi kamu dan tidak akan pernah menyakiti kamu,” katanya mengucapkan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak dengan cincin bertatahkan berlian di dalamnya. Aku belum selesai dari rasa terkejut mendengar pernyataan cintanya, malah dilanjutkan dengan mendengarkan lamarannya? Ini benar-benar cepat sekali. Damian menatapku penuh harap. Aku melihat ke sekeliling kami. Mereka juga memberiku tatapan serupa. Damian adalah pria yang tampan, berbakat, mapan, baik hati, dan pantang menyerah. Oh, satu lagi. Dia pencium yang hebat. Aku percaya bahwa semua yang dia ucapkan akan dia tepati. Tetapi ini terlalu cepat. Kami baru bertemu
Damian begitu antusias membawaku menemui keluarganya. Pada hari terakhir kami di Chiang Mai, dia mengajak aku ke sebuah pusat kecantikan. Rambut panjangku dicat berwarna pirang kemerahan oleh Namboru karena permintaan pihak laki-laki yang ingin menikahkan aku dengan anak mereka. Damian mengembalikan warna alami rambutku. Setelah mendapatkan perawatan rambut, kaki, dan tangan, aku juga mendapatkan perawatan kulit serta pijat. Total sepanjang hari itu kami habiskan di tempat tersebut. Ketika aku keluar mengenakan dressberwarna hitam, rambut yang dibiarkan tergerai, dan wajah yang sedikit diberi riasan, dia nyaris tidak bisa berkata-kata. Penerbangan kami kembali ke Jakarta masih dengan kelas yang sama. Dia mengalami serangan panik, dan aku menolong untuk menenangkannya dengan memegang tangannya. Saat kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku menolak untuk pulang bersamanya. “Baiklah,” katanya mengalah. Dia mencium bibirku, lalu membukakan pintu mo