Share

BAB 3

Pagi telah tiba, dan Meida bangun tidur pukul 6 lewat 30 menit seperti kemarin. Mendengar alarmnya berbunyi, Meida langsung mematikannya dan ia mencari telepon genggam miliknya. 

Mengingat kemarin ada informasi pemecatan 50 karyawan, Meida menjadi deg-degan saat akan membuka grupnya. Ketika Meida sudah membuka grupnya, ia langsung melihat daftar 50 orang yang dipecat. Ia mengarahkan layar telepon genggamnya dan membaca daftar 50 orang satu per satu.

Tiba-tiba, matanya tertuju pada nomor urut 10 dan 11. Nomor 10 tertulis nama Clara dan nomor 11 tertulis nama Fane. "Oh, tidak. Teman-temanku... dipecat?" Meida tidak percaya. Ia semakin deg-degan. Apakah ia juga akan dipecat seperti kedua temannya?

Setelah membaca satu per satu daftar tersebut, akhirnya Meida sedih. Dia tertulis di nomor 45. Air mata kesedihan mulai keluar dari pelupuk matanya. Ia menangis dalam sunyinya kamar miliknya. Lalu Meida mengambil bantal, dan berbaring di tempat tidurnya.

"Tidak mungkin...." Meida menyangkal kenyataan. "Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah tidak punya pekerjaan dan uangku hanya tersisa 1 juta rupiah saja." Meida berbicara sendiri sambil menangis.

Kemarin Meida dan kedua temannya memang berniat untuk tidak bekerja di pabrik sepatu tersebut, dan sekarang menjadi kenyataan. Mereka sudah tidak bekerja di tempat itu lagi.

Meida sudah berhenti menangis. Lalu dia menghubungi kedua temannya lewat grup mereka yang berisi 3 orang, yaitu Meida, Clara, dan Fane.

"Teman-teman, bagaimana ini? Kita bertiga sudah tidak memiliki pekerjaan lagi." Meida mengawali percakapan di grupnya.

"Iya, Meida. Aku juga bingung." Clara menjawab pesan Meida.

"Uangku tinggal 500 ribu rupiah, entah bisa bertahan sampai dapat pekerjaan baru atau tidak." Fane curhat pada teman-temannya.

Meida menemukan ide di kepalanya. "Baiklah, nanti kita berkumpul di taman kota untuk mendiskusikan ini. Bagaimana? Apakah kalian setuju? Kalau setuju nanti berkumpul jam 10 pagi." Meida memberikan saran.

"Baik."

"Baik."

Percakapan di dalam grup sudah berakhir. Meida mematikan telepon genggamnya. Kemudian dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya sejenak.

***

Ketika membuka matanya, Meida telah berada di taman yang penuh bunga matahari yang sangat indah dan menyejukkan pemandangan. "Aku... di mana ini?" tanya Meida, sambil melihat di sekelilingnya.

Tiba-tiba, ada suara seorang pria dari belakang Meida. "Hai, Meida." Pria tersebut menyapa Meida yang sedang kebingungan.

Suara itu tidak asing bagi Meida. Ia membalikkan badannya untuk melihat sosok pria tersebut. "A-Anda...." Meida tergagap. "Morgan? apa yang Anda lakukan di sini?" Ternyata sosok pria tersebut adalah Morgan.

"Aku ingin membantumu," balas Morgan dengan senyum tipis menatap Meida yang dipenuhi kebingungan.

"Membantu? Membantu saya dalam hal apa?" tanya Meida penasaran. Meida juga berkata dengan menggunakan perkataan yang sopan karena Meida lebih muda dari Morgan.

"Ikuti aku." Morgan mengajak Meida. Dia berbalik dan berjalan menyusuri bunga matahari diikuti oleh Meida.

"Ada apa ini? Ini di mana? Aku belum pernah melihat taman bunga matahari ini," batin Meida. "Dan kenapa Morgan juga ada di sini?" 

Namun, Meida menyukai suasana ini. Seorang pria keren yang ia cintai diam-diam ada di sisinya membuat perasaannya sedikit senang. Meida merasa aman saat berada di belakang Morgan.

Lalu Meida menatap pria yang lebih tinggi darinya. "Kita akan pergi ke mana, Morgan?" tanya Meida.

"Pokoknya ikuti aku saja, Meida," jawab Morgan dengan sabar.

Tak banyak bicara, Meida langsung menurut lagi apa yang dikatakan Morgan.

Tiba-tiba jarak Meida dengan Morgan semakin jauh. "Morgan, kenapa Anda meninggalkan saya? Katanya saya harus mengikuti Anda." Meida memanggil Morgan dari kejauhan.

Morgan menjawab, "Iya, benar. Ikuti saja aku." Morgan mengatakannya dengan santai, dan fokus berjalan ke depan.

"Hei, tunggu. Kenapa Anda tiba-tiba bisa jauh? Hei! tunggu saya, Morgan!" Meida berteriak sekeras yang dia bisa, tetapi Morgan tidak berhenti menunggunya.

Meida terpaksa berlari mengejarnya di tengah-tengah bunga matahari. Lalu ia tersandung batu membuat ia jatuh, dan terbangun dari mimpinya.

***

Meida terbangun dengan napas ngos-ngosan, dan seluruh tubuhnya berkeringat. "Mimpi apa itu tadi? Duh, sudah seru bertemu dengan Morgan, tapi dia aneh. Haha, dasar," ujarnya. "Membantuku? Tapi dia malah jauh dariku." Meida menepuk jidatnya sembari tersenyum tipis. Dia bersyukur bisa bertemu Morgan walaupun hanya di dunia mimpi. 

"Ternyata aku ketiduran ya?" Meida melirik jam. "Oh, tidak!" teriak Meida terkejut saat melihat jam. "Sudah pukul 9 lewat 30 menit. Aku masih punya waktu 30 menit lagi." Dia langsung beranjak dari tempat tidur, dan bergegas menuju ke kamar mandi.

***

"Astaga... bisa-bisanya aku ketiduran," kata Meida menggerutu saat mengendarai motor.

Jarak rumahnya dengan taman kota sekitar 5 km tidak sejauh pabrik sepatu tempat ia bekerja dulu. Namun, dia melihat seseorang dari kejauhan. Yang dimaksud Meida adalah...

"Morgan? Kenapa selalu bertemu dengan dia sih? Tidak di dunia nyata atau di dunia mimpi selalu saja bertemu dengan dia." Meida menggerutu lagi, tetapi di sisi lain dia juga senang bisa bertemu dengan Morgan. Walaupun hanya berpapasan, Meida bersyukur bisa melihatnya di dunia nyata. Morgan juga tidak membawa seorang perempuan seperti kemarin.

"Semoga saja dia tidak melihatku," batin Meida sambil memalingkan pandangannya dari Morgan, dan fokus melihat ke depan.

Lalu Meida melihat jam tangannya. "Bagus, Meida. Sekarang kamu terlambat," kata Meida dan segera menyusul teman-temannya yang pasti sudah menunggunya.

***

"Duh, anak ini kemana sih? Lama banget," tanya Clara pada Fane.

"Mana aku tau? Coba tanya sama pohon di sana," canda Fane sambil menunjuk ke arah pohon di dekatnya.

Seketika Clara memukul pundak Fane dengan main-main. "Kamu juga. Astaga... bagaimana kamu bisa tenang dalam kondisi seperti ini?" Clara menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Ya... mau bagaimana lagi? Tapi aku yakin kalau kita bisa mendapatkan pekerjaan lagi," balas Fane membuat Clara menjadi agak lega, dan membuka wajahnya.

"Kau benar, Fane," lirih Clara.

***

"Ah, hampir sampai," ujar Meida melihat taman kota dari kejauhan.

***

"Hei, lihat! Itu Meida," seru Fane menunjuk Meida.

Clara langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Fane. "Iya, benar. Astaga... terlambat 15 menit," kata Clara sambil cemberut.

Meida sudah sampai di taman kota dan mengarahkan motornya di parkiran yang telah disediakan. Lalu ia berjalan ke arah kedua temannya yang sedang menunggunya.

"Hai... eh? Ada apa dengan kalian?" Belum selesai Meida menyapa, ia dikejutkan ekspresi wajah kedua temannya.

"Hmm...." Clara menunjuk jam tangannya.

"Haha, iya. Maaf aku terlambat," kata Meida meminta maaf.

Fane bertanya, "Kenapa kamu terlambat, Meida? Apakah kamu ketiduran?"

"Iya, benar. Bagaimana kamu bisa tahu?" Meida balik bertanya sambil duduk.

"Cuma menebak saja, hehe," jawab Fane sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Lalu sekarang kita mau ngapain berkumpul di sini?" sahut Clara.

"Ah, sebelum itu aku mau bertanya kepada kalian. Apa keahlian kalian berdua? Kalau aku bisa memasak, tapi tidak terlalu profesional." Meida memulai diskusi.

"Kalau aku juga bisa memasak," balas Fane dengan riang.

"Kalau kamu Clara?" tanya Meida.

"Rebahan," canda Clara membuat Fane cekikikan di sampingnya.

"Ya ampun, Clara. Ayolah... yang serius jawabnya." Meida cemberut. "Kalau kamu bisa memasak apa, Fane?" tanya Meida.

"Masak air." Fane juga ikut bercanda, memancing emosi Meida.

"Astaga! Kalian berdua sama aja!" Meida mulai meluapkan emosinya.

Clara dan Fane hanya tertawa melihat Meida yang sedang marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status