Share

BAB 2

Keesokan harinya, alarm berbunyi tepat pukul 6 lewat 30 menit membangunkan gadis berusia 23 tahun tersebut. Lalu gadis itu mematikan alarmnya sambil menguap dan mengucek matanya. "Sudah pagi ya?" tanyanya. "kukira aku baru saja tidur deh," lanjut gadis yang bernama Meida. Kemudian dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil handuk lalu menuju ke arah kamar mandi. 

Sesampainya di kamar mandi, Meida mulai menanggalkan pakaiannya. Kemudian dia menyalakan keran air. Dia mengambil gayung lalu mengisinya dengan air di bak dan mulai mengguyurkannya ke seluruh tubuhnya sampai semuanya terlihat basah.

Meida memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengingat kejadian tadi malam saat bertemu dengan Morgan di supermarket.

"Duh, kenapa jadi kepikiran dia sih?" Meida mengeluh, tetapi di sisi hatinya yang lain ia merasakan sebuah kegembiraan. Apakah Meida menyukai Morgan?

"Tidak bisa dipungkiri lagi. Tapi aku benar-benar menyukai Morgan. Tapi juga aku tidak terlalu berharap dengan apa yang tidak pasti. Aku sudah lelah patah hati berkali-kali dan aku tidak mau mengulanginya lagi seperti dulu." Meida mengakui bahwa dia menyukai Morgan, tetapi dia tidak mau mengungkapkannya dan lebih memilih untuk memendam perasaannya tersebut.

***

Meida sudah selesai mandi, dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang ia bawa tadi. Lalu Meida keluar dari kamar mandi berjalan menuju ke lemari pakaian untuk mengenakan pakaian yang akan ia pakai untuk bekerja nanti. 

"Duh, kok aku bekerja di pabrik malah tidak menambah kreatifitasku ya?" ucapnya. "Apakah aku harus mencari pekerjaan baru agar aku bisa menambah kreatifitasku?" tanya Meida pada dirinya sendiri sambil mengenakan pakaiannya.

Setelah selesai mengenakan pakaiannya, Meida mengikat rambutnya ke arah belakang sambil melihat ke arah cermin. "Haha, ternyata aku cantik juga." Meida memuji dirinya sendiri. Dia mengenakan baju kaos yang berwarna kuning dan celana panjang berwarna hitam.

"Aku harus cepat berangkat agar tidak terlambat." Meida langsung berjalan menuju dapur untuk memasak bubur ayam instan yang telah ia beli tadi malam.

***

Saat Meida sudah selesai sarapan, ia langsung mengambil tasnya lalu keluar rumah dan berangkat menuju tempat ia bekerja menggunakan motor miliknya.

***

Jarak rumah Meida dengan pabrik sepatu sekitar kurang lebih 7 km dapat ditempuh sekitar 15 sampai 20 menit. 

Dalam perjalanannya, Meida memikirkan sesuatu. "Sudah usia 23 tahun tapi aku masih melajang. Sepertinya aku harus mencari jodohku," ujarnya. "tapi di mana? Hahaha." Meida tertawa pelan sambil fokus berkendara.

Sesudah Meida membicarakan tentang jodoh, tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat Morgan dari arah yang berlawanan. 

"M-Morgan?"

Meida tidak percaya dengan apa yang dia lihat, tetapi memang benar yang dia lihat adalah Morgan. Padahal jalan raya lumayan ramai, bisa-bisanya Meida melihat Morgan dari arah yang berlawanan. 

Namun, Meida menjadi fokus dengan seorang perempuan yang dibonceng oleh Morgan. Perempuan itu terlihat mengobrol dengan Morgan. "Siapa perempuan itu?" tanya Meida. "Apakah dia pacarnya Morgan?"

Melihat Morgan dengan perempuan lain membuat hati Meida terasa sakit karena cemburu. Kenapa dia cemburu? Padahal Morgan bukan siapa-siapanya Meida. Dan juga Meida dan Morgan baru bertemu tadi malam. Pantaskah jika Meida cemburu?

Meida yakin itu Morgan, dan dia yakin bahwa Morgan tidak melihatnya.

Pikiran Meida diisi dengan perasaan cemburu yang amat menyayat hati, tetapi dia berusaha membuat dirinya tenang sekeras yang dia bisa agar tidak cemburu. Kemudian Meida fokus berkendara agar selamat sampai tujuan.

***

Sesampainya di pabrik tempat Meida bekerja, ia segera bertemu kedua temannya di parkiran. 

"Oh, Meida sudah sampai," kata seorang perempuan yang bernama Clara.

"Tumben agak terlambat. Apakah kamu ada masalah, Meida?" sahut laki-laki yang bernama Fane sambil menyisir rambutnya yang pendek dengan jarinya.

"Ah, tidak ada masalah kok." Meida berbohong. "Ayo, kita masuk kedalam tempat kita bekerja." Meida mengalihkan pembicaraan. Tidak mungkin dia akan memberitahu tentang masalah perasaan anehnya terhadap Morgan kepada kedua temannya.

Clara pun berkata, "Tenang, Meida. Masih ada waktu 15 menit lagi, kita di sini 10 menit saja. Aku agak malas bekerja di sini."

Mendengar kalimat terakhir Clara membuat Meida agak tersentak karena Meida memiliki niatan untuk keluar bekerja dari pabrik sepatu ini. "Apa kau bilang? Kamu agak malas bekerja di sini?" tanya Meida.

Clara menganggukan kepalanya. "Iya, malas banget pokoknya. Mau keluar juga mau kerja apaan? Jadi terpaksa bertahan di sini dulu," balas Clara sambil mengelus rambutnya yang keriting.

"Iya benar. Aku juga memiliki niatan mengundurkan diri dari pekerjaan ini karena aku agak merasa tertekan saat bekerja," sahut Fane dengan ekspresi sedih di wajahnya.

"Astaga," kata Meida terkejut. "kamu juga, Fane?" Meida bertanya dengan ekspresi seolah-olah ia tidak percaya yang dikatakan teman laki-lakinya.

Fane hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan dari pertanyaan Meida. "Kalau kamu? Apakah kamu tidak punya niatan seperti kami, Meida?" Fane balik bertanya.

Meida menghela nafas sejenak, dan berkata, "Kalau aku sebenarnya juga ada niatan seperti itu. Tapi... yang dikatakan Clara ada benarnya juga. Kalau keluar mau kerja apa? Masalahnya ada di sini."

"Sudah, kita terima saja kenyataannya kita bekerja di sini. Kita kerjakan dengan penuh kesabaran. Di luar sana banyak orang yang kesusahan mencari pekerjaan. Kita masih beruntung masih bisa mempunyai pekerjaan. Harusnya kita bersyukur." Fane berkata dengan bijak sambil memosisikan kacamatanya.

"Iya. Kamu benar, Fane. Ayo kita masuk ke dalam. Sudah, lupakan ajakan 10 menit untuk di sini yang kukatakan tadi." Clara mengiyakan perkataan Fane lalu mengajak kedua temannya masuk ke dalam pabrik.

"Baik!" jawab Meida dan Fane bersamaan.

Kemudian mereka bertiga berjalan bersama meninggalkan area parkiran menuju ruangan mereka bertiga bekerja.

Clara sudah lama tidak ingin bekerja di pabrik tersebut karena tidak cocok dengannya. Sedangkan Fane adalah seorang introvert, dan dia lebih sering berbicara kepada Meida dan Clara karena hanya dua orang itu yang bisa memahaminya daripada rekan-rekannya yang lain di dalam pabrik tersebut. Jika seandainya Meida dan Clara tidak bekerja di pabrik bersama dengan Fane, kemungkinan besar ia akan keluar dari pabrik sepatu tersebut dengan lebih cepat.

1 tahun bekerja sebagai buruh pabrik sangat membosankan bagi Meida, Clara, dan juga Fane. Sekarang mereka hanya berharap yang terbaik bagi mereka.

***

Hari ini Meida dan kedua temannya mendapatkan jadwal pulang sekitar pukul 3 sore. Namun, ketika waktu mereka bekerja, ternyata ada masalah yang sangat menegangkan bagi mereka. Lalu mereka berbincang saat menuju tempat parkir.

"Duh, gimana nih? 50 orang akan dipecat oleh atasan. Jumlah orang bekerja di pabrik ini sekitar 700 orang. Bagaimana jika kita bertiga masuk daftar orang yang akan dipecat?" Clara panik karena kebijakan baru dari pabrik tersebut.

Meida berusaha menenangkan Clara yang panik. "Clara, tenang saja. Kita harus yakin bahwa kita tidak akan dipecat."

"Betul apa yang dikatakan Meida, Clara. Yah, sebenarnya aku juga takut sih, haha," sahut Fane. 

"Dih, sempat-sempatnya kamu tertawa." Clara menepuk jidatnya sendiri.

Mereka sampai di tempat parkir. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing dengan kecemasan tentang pemecatan yang akan dilakukan besok melalui grup sosial media pabrik sepatu tempat mereka bekerja. Jika seandainya mereka bertiga dipecat, apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan baru? Atau mereka akan menjadi pengangguran? Itu membingungkan bagi mereka dan menjadi beban pikiran mereka di malam hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status