Share

BAB 4

Meida mulai menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Sabar... sabar, Meida." Meida memejamkan matanya. "Punya teman kok gak ada akhlak," canda Meida sambil membuka matanya.

"Haha, iya maaf. Aku memang bisa memasak kok," ujar Fane. "tapi entah enak atau tidak itu tergantung yang merasakan. Yang kukira rasanya enak bukan berarti rasanya enak bagi orang lain." Fane selalu mengatakan sesuatu dengan sangat bijak. Perkataannya yang selalu bijak membuat Meida dan Clara menjadi betah berteman dengan Fane.

"Ah, baguslah kalu begitu." Meida merasa lega. "Kalau kamu Clara? Kau bilang 'rebahan' lagi akan kupukul kau dengan spion motor," canda Meida agak marah, tapi juga tersenyum tipis.

"Duh, galak amat, haha, Aku bisa memasak juga seperti kamu dan juga Fane," jawab Clara.

Meida berpikir sejenak. Mereka bertiga memiliki kesamaan, yaitu memasak. Sepertinya mereka bertiga bisa melamar pekerjaan di sebuah restoran atau kafe.

"Bagaimana kalau kita melamar kerja di sebuah restoran atau kafe? Dulu aku pernah berniat untuk bekerja di sebuah kafe, tapi setiap aku melamar selalu di tolak karena pelamarnya juga banyak." Meida menyarankan kepada teman-temannya, dengan menambahkan sedikit informasi ketika dia pernah melamar pekerjaan dan akhirnya ditolak.

"Kalau aku setuju saja denganmu, Meida. Tetapi... adakah sebuah restoran atau kafe yang saat ini membuka lowongan pekerjaan?" Fane setuju sekaligus bertanya.

"Eh, aku pernah lihat ada kafe baru yang baru buka sekitar 1 bulan yang lalu. Aku juga melihat ada lembaran kertas yang ditempel di kaca depan kafe mereka, tapi entah sekarang masih apa tidak," sahut Clara. Lembaran yang ia maksud adalah tentang lembaran lowongan pekerjaan.

Meida senang mendengar informasi dari Clara. "Benarkah? Bagaimana jika kita melamar ke sana saja? Siapa tau kita diterima," ajak Meida dengan semangat.

"Boleh saja." Fane menyetujui ajakan Meida. "Kalau saran dariku sebaiknya kita nongkrong di sana saja dulu. Aku mau mengamati kafe baru tersebut. Siapa tau ada yang menarik."

"Haha, sesuatu yang yang menarik? Bilang saja kalau kamu mau bertemu dengan gadis cantik," canda Clara, membuat Meida cekikikan.

"Haha, tentu saja tidak. Di usiaku yang masih 25 tahun ini, aku masih ingin melajang," balas Fane dengan percaya diri.

"Wah, jarang sekali aku melihat pria di usia sepertimu yang masih ingin melajang. Kebanyakan dari mereka sudah sibuk mencari pasangannya." Meida memuji Fane. "Kenapa kamu masih ingin melajang Fane?" tanya Meida.

Fane menggaruk bagian belakang kepalanya. "Yah... aku lebih suka sendirian sih untuk saat ini. Dulu pernah pacaran sama wanita yang memiliki kepribadian ekstrovert, sedangkan aku introvert. Alhasil kami berdua putus karena tidak cocok." Fane curhat.

"Berapa lama kamu pacaran dengan wanita itu?" tanya Meida.

"Sekitar 1 minggu saja kalau tidak salah," jawab Fane.

"Hahaha! Astaga, Fane." Meida menepuk jidatnya. "Pacaran hanya sekitar 1 minggu? Baru kali ini aku punya teman konyol sepertimu." 

"Haha, konyol? Kurasa iya juga sih, sebenarnya mau kujelaskan kenapa aku bisa dengan wanita itu, tapi lain kali aja lah, hehe." Fane terkekeh.

Clara yang tidak diajak bicara tiba-tiba menyahut perbincangan mereka berdua. "Hei, ayolah... kita di sini ingin membicarakan cara mendapatkan pekerjaan. Ingat, saat ini kita menganggur dan aku tidak mau menganggur walaupun  hanya seminggu," ujar Clara.

"Baik. Bagaimana kalau kita mengikuti saran Fane? Kita nongkrong di sana. Nanti kalau  lembaran lowongan pekerjaan yang ada di kaca kafe masih ada. Nanti aku akan bertanya pada orang yang bekerja di sana," kata Meida sebijak Fane.

"Baik," balas Clara dan Fane bersamaan.

Mereka bertiga akan menuju ke kafe baru yang dimaksud oleh Clara.

***

Sesampainya di kafe baru, mereka dikejutkan oleh luasnya halaman kafe tersebut.

"Apakah ini kafenya? Luas sekali." Meida takjub melihat kafe tersebut. "Apa nama kafe ini?"

"Kafe ini bernama 'MORGAFE'," balas Clara,

Morgafe? Mendengar kata 'Morgafe' membuat Meida kepikiran nama seseorang. "Morgafe? namanya hampir mirip dengan Morgan. Apa jangan-jangan kafe ini milik Morgan?" batin Meida. Ia melamun.

"Hei, Meida. Kenapa kamu melamun?" panggil Fane, sekaligus bertanya kepada Meida.

Meida sadar dari lamunannya ketika ia dipanggil oleh Fane. "E-eh... aku tidak melamun kok." Meida berbohong, tapi digagalkan oleh Fane.

"Kau kira kau bisa membohongiku, Meida? Haha," balas Fane sambil menekan bagian tengah kacamatanya, seolah-olah berhasil membongkar kebohongan Meida.

"Iya, iya. Aku melamun. Puas?" jawab Meida sedikit kesal.

"Jadi marah, 'kan? Haha, kamu terlalu serius sih, Fane. Meida melamun ataupun jungkir balik itu terserah dia," canda Clara, membela Meida.

Meida terkekeh mendengar perkataan Clara.

"Haha, iya deh." Fane pasrah.

"Sudah, ayo kita masuk ke dalam," ajak Meida pada kedua temannya. Mereka mendekati pintu masuk kafe.

Sebelum mereka memasuki kafe, mereka masih melihat lembaran lowongan pekerjaan yang menempel di kaca depan kafe dengan ukuran yang sangat besar. "Syukurlah, mereka masih membuka lowongan pekerjaan," ucap Meida dengan lega.

Tetapi, mata Fane fokus membaca tulisan-tulisan yang ada di lembaran lowongan pekerjaan tersebut. "Iya, mereka masih membuka lowongan pekerjaan. Tapi... hanya membutuhkan 2 orang saja," kata Fane agak sedih, tetapi dia menutup-nutupi kesedihannya.

"Eh, benarkah?" Clara membaca ulang, dan yang dikatakan oleh Fane memang benar.

"Jadi... di antara kita bertiga... salah satu tidak bekerja di sini, begitu?" tanya Meida, teman-temannya mengangguk.

"Kalian saja yang bekerja di sini, aku akan cari pekerjaan lainnya." Fane mengalah membuat kedua temannya sedih.

"Jangan begitu, Fane. Siapa tau ada keajaiban, sehingga kita bertiga bisa kerja di sini bersama-sama," ujar Meida, menyemangati Fane.

"Benar apa yang dikatakan oleh Meida, Fane. Sudah, ayo masuk saja dulu." Clara mendukung perkataan Meida, dan mengajak teman-temannya agar segera masuk ke dalam kafe tersebut.

Suara pintu bergerak membuat para pengunjung menatap Meida dan kedua temannya. Mereka terkejut melihat keindahan kafe tersebut, tetapi mereka fokus berjalan menuju kasir untuk memesan minuman ataupun makanan.

Mereka bertiga gugup saat berjalan karena merasa tatapan orang-orang yang melihat mereka, seolah-olah membenci mereka.

"H-hei. Apakah mereka membenci kita? Tatapan mereka aneh saat melihat kita," bisik Fane pelan pada kedua temannya yang berada di sebelah kanan dan kirinya.

"Sepertinya tidak, Fane. Itu hanya pikiran negatif yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saja," jawab Meida dengan santai, seolah-olah tidak ada masalah dengan tatapan para pengunjung kafe.

Tatapan aneh dari pengunjung tadi perlahan-lahan menjadi senyuman tipis. Mungkin saja tatapan tadi diekspresikan saat melihat tampilan mereka agak mencolok yang berbeda pada kebanyakan orang pada umumnya.

Tiba-tiba perasaan Meida menjadi aneh tanpa sebab apapun. "Eh? Perasaan aneh ini lagi? Kenapa bisa muncul di tempat seperti ini juga? Apakah ada kaitannya dengan Morgan? Astaga...," batin Meida. 

"Meida? Melamun lagi?" tanya Fane pelan, peduli pada Meida, tetapi Fane bertanya dengan nada yang dingin, seolah-olah Fane tidak sedang bercanda.

"Iya, kau benar," jawab Meida sedih, membuat tatapan Fane menjadi bingung. Fane merasa Meida benar-benar ada masalah.

Clara juga mendengar obrolan Meida dengan Fane, dan memutuskan untuk bertanya ketika mereka sudah memesan menu di kafe tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status