Sesampainya di kasir, Meida dan kedua temannya langsung disambut oleh kasir dengan ramah dan sopan. "Selamat siang! Ini daftar menu kami, kak." Kasir memberikan sebuah daftar menu berbentuk lembaran yang dilapisi plastik dan sebuah buku untuk mencatat menu yang akan dipesan. "Silahkan kakak mencari tempat duduk, lalu mengisi nomor tempat duduk pada kolom yang telah disediakan dan menulis menu yang akan kakak pesan," jelas kasir wanita yang cantik tersebut.
"Baik kak," balas Meida dan kedua temannya secara bersamaan. Kemudian mereka bertiga mencari tempat duduk.
"Kita cari tempat duduk di mana?" tanya Meida.
"Kukira di pojokan dekat pintu masuk itu." Clara menunjuk tempat duduk di pojokan yang ia maksud.
Fane tersenyum. "Aku baru saja mau bilang begitu. Menurutku di sana kita tidak akan menjadi pusat perhatian pengunjung lain," kata Fane menyetujui saran Clara.
Meida juga menyetujuinya. "Baiklah, ayo ke sana."
Pengunjung sudah tidak menatap mereka lagi. Memang benar mereka bertiga memakai pakaian yang sederhana, tetapi bukan berarti mereka tidak boleh datang ke kafe yang agak mewah hanya karena penampilan, 'kan?
Meida dan kedua temannya sudah duduk dan mulai membicarakan menu yang akan mereka beli.
"Nah, aku duluan ya?" Meida ingin mencatat pesanan dulu. Fane dan Clara juga tidak keberatan tentang hal itu.
***
Mereka sudah memesan menu. Meida memesan macchiato dan siomay. Lalu Fane memesan latte dan juga roti bakar rasa anggur. Dan yang terakhir, Clara memesan jus melon dan hamburger. Clara tidak membeli minuman yang mengandung kopi karena Clara kurang suka dengan kopi. Meja Meida dan kedua temannya bernomor 12.
Setelah catatan menu sudah ditulis, Meida memberikannya kepada kasir. "Pesanannya silahkan ditunggu dulu ya, kak?" kata Kasir tersebut sambil berjalan menuju dapur. Lalu Meida kembali ke tempat duduknya.
Saat Meida akan duduk, dia mulai merasakan perasaan aneh tadi di hatinya yang membuat dia terbelalak.
"E-eh?! Meida? Ada apa?" Clara yang menyadari tatapan aneh Meida langsung reflek untuk bertanya.
"Apakah aku ceritakan saja pada teman-temanku ya? Tentang perasaan aneh ini?" batin Meida.
"M-Meida? Kau mendengarku? Kau tidak apa-apa, 'kan?" Clara tambah panik melihat Meida yang hanya diam saja.
Meida tersadarkan kembali. "Ah, i-iya maaf. Aku membuat kamu merasa khawatir."
"Perlu menceritakannya kepada kami? Aku kasihan melihatmu seperti ini. Hanya saja jika kamu mau, tapi kalau kamu memilih untuk menyembunyikannya juga tidak apa-apa." Fane berniat membantu Meida.
"Haruskah aku bercerita dengan teman-temanku? Apakah ini berisiko? Atau aku simpan saja? Ah! Membingungkan!" Meida berkelahi dengan pikirannya sendiri. "Sepertinya lebih baik jika teman-temanku mengetahui ini."
Meida menghela napas sejenak. "Maukah kalian mendengarkan apa yang kualami? Sebenarnya ini baru saja terjadi. Dan ini terjadi pada kondisi tertentu saja."
"Tentu saja. Jika mengatakannya pada kami membuatmu merasa lega, silahkan. Kami akan mendengarkannya." Clara mempersilahkan Meida. Fane hanya mengangguk menyetujui Clara.
Posisi duduk Meida berlawanan dengan Clara dan Fane. Meida duduk sendiri, sedangkan Clara duduk bersama Fane. Jadi, ketika Meida mengatakan apa yang ia alami, pasti kedua temannya bisa mendengarnya dengan fokus.
"Jadi awalnya begini, kalian ingat, 'kan? Hari di saat kita dapat jam lembur sebelum kita dipecat?" tanya Meida. Clara dan Fane mengangguk ingat. "Nah, waktu pulang malam, aku sempat mampir ke supermarket untuk membeli bubur ayam instan untuk sarapan hari esok. Aku terburu-buru sampai menabrak seseorang laki-laki, dan aku terpental jatuh," jelas Meida.
"Lalu apa yang terjadi? Apakah laki-laki tersebut memarahimu? Memukulimu?" tanya Clara, penasaran dengan kelanjutan cerita Meida.
"Tidak kok. Dia baik. Aku minta maaf padanya, dia juga memaafkanku." Meida tersenyum. "Oh, iya! Saat aku terpental, kacamataku juga jatuh. Aku meraba-raba lantai, tetapi aku tidak menemukannya."
"Terus, terus? Apakah dia mengambilkan kacamatamu?" Clara mencoba menebak kelanjutan cerita Meida.
Meida mengangguk dan melanjutkan ceritanya. "Iya, benar. Dia memberikan kacamataku. Saat penglihatanku sudah jelas, aku menatap ke arah wajahnya yang seketika membuatku terpana. Apakah aku jatuh cinta padanya? Bisa dibilang iya. Aku sempat basa-basi sebentar dengannya, lalu...,"
"Ini pesanan kalian, kak." Tiba-tiba seorang pelayan muda yang tampan, dan berpenampilan rapi memberikan pesanan sekaligus memotong Meida yang sedang bercerita.
"Oh, terima kasih, kak," balas Meida dan kedua temannya bersamaan. Pelayan pun tersenyum, dan kembali pergi meninggalkan mereka bertiga.
"Lalu?" Clara menanyakan kelanjutannya.
"Lalu, saat dia berbalik arah, aku melihat dia dari belakang membuatku kagum karena dia sangat keren. Dan juga aku belum pernah melihat laki-laki lain seperti dia. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh itu. Rasanya agak menyenangkan, tetapi waktu aku dulu saat masih pacaran dengan pria lain aku belum pernah merasakan perasaan aneh ini sama sekali. Entah apa penyebabnya, apalagi perasaan aneh ini muncul setelah mengenal dia. Perasaan ini muncul ketika mengendarai motor, mandi, sebelum tidur, bahkan saat di kafe ini." Meida menjelaskan masalahnya panjang lebar, dan juga mudah dipahami oleh kedua temannya. "Jadi, menurut kalian ini bagaimana? Apakah terlihat aneh?" lanjut Meida, bertanya kepada kedua temannya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan Meida, Clara menjawab, "Lumayan aneh sih, bagaimana menurutmu, Fane?"
Fane memejamkan mata dan menundukkan kepalanya, ia sedang mencerna perkataan dari Meida. "Perasaan aneh... perasaan yang tiba-tiba muncul...." Fane merenung. "Yah, sepertinya... dia jodohmu," pungkas Fane sambil membuka matanya, dan mengangkat wajahnya dengan ekspresi datar.
Apa? Jodoh? Fane bercanda, 'kan? Oh, ayolah.
"Jo-jodoh? Apa maksudmu? K-kami saja baru bertemu, mana mungkin kami berdua jodoh?" Meida tersentak saat mendengar kata 'jodoh'.
"Kau bilang tadi kau mencintainya, 'kan?" balas Fane dengan tenang.
Meida terpojok. "I-iya, itu benar," ujarnya, sedikit tenang.
"Kau bilang perasaan aneh itu muncul saat kau sudah mengenal dia, 'kan?"
Meida mengangguk.
"Yah, bisa jadi dia jodohmu. Tapi ini masih menurut opiniku ya? Soalnya ceritamu tadi aneh dan unik menurutku. Teman-temanku yang lain belum pernah cerita padaku seperti ceritamu. Yah... bisa dibilang ini pertama kali aku mendengarnya." Fane tersenyum tipis.
Mendengar penjelasan Fane membuat Meida menjadi bingung. Tetapi, di sisi lain juga merasa agak senang. Apakah karena dia dengan Morgan beneran jodoh? Apakah itu benar? Nah, Meida berusaha tetap tenang.
Beberapa detik kemudian, Meida merasakan perasaan aneh itu lagi. "Aku... merasakan perasaan aneh itu lagi...," lirih Meida dengan tatapan kosong.
"Lagi? Apakah sebelumnya kamu pernah mengalaminya berulang kali dalam waktu cepat?" tanya Clara.
"Tidak pernah. Aku baru saja mengalaminya saat di kafe ini," jawab Meida, agak sedikit bingung.
"Yah... bisa jadi ada kaitannya kafe ini dengan orang yang kamu maksud, Meida," sahut Fane.
"Kaitannya dengan kafe ini? Apakah itu mungkin benar?" tanya Meida.
"Entahlah, itu cuma firasatku saja. Bisa jadi benar, dan bisa juga tidak," jawab Fane dengan ekspresi menatap tajam ke arah Meida.
"Wah, rumit juga, tapi unik. Apakah kamu sudah lega, Meida?" tanya Clara.
"Iya, tapi sedikit," jawab Meida sambil memperlihatkan senyum palsu.
"Sudah, ayo kita makan. Lalu kita nanti tanya tentang lowongan pekerjaan sama kasir di sana saat kita membayar," ajak Clara. Kedua temannya mengangguk setuju.
Mereka bertiga akhirnya mulai makan hidangan yang telah disiapkan dari tadi di kafe tersebut.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di benak Clara. "Oh iya, Meida. Siapa nama pria yang kamu ceritakan tadi? Aku jadi penasaran."
Meida bangun dari tidur siangnya. Ia segera pergi menuju dapur. "Tidur siang adalah salah satu nikmat yang diinginkan oleh para orang dewasa," kata Meida, meregangkan tubuhnya. Kebanyakan orang dewasa yang sudah memasuki dunia kerja, mereka menginginkan istirahat yang cukup. Capek di dunia kerja memang hal yang wajar. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa anak-anak atau remaja, masa-masa tidak terlalu memikirkan hal berat. Meida mencampur bahan yang ia beli tadi. Pertama-tama ia ingin memasak waffle. Bahan sudah tercampur," ujar Meida. "Di mana aku menyiman alat pemanggang waffle, ya?" Meida melihat-lihat ke arah lemari pernyimpanan, lalu Meida menghampirinya. "Nah, ketemu." Meida mengambil pemanggang waffle. Penggunaan benda tersebut cukup mudah, yakni dengan cara mencolokkannya ke listrik. Meida menuangkan adonan ke pemanggang waffle. Pemanggang waffle tersebut memiliki bentuk atau wadah yang bisa mencetak 4 waffle sekaligus. "Oke, tinggal menungg
Meida merasakan perasaan aneh itu kembali. Ia langsung reflek melihat ke arah kanan dan ke arah kiri. Dan ternyata, Morgan sudah ada disampingnya. Meida tidak bisa berkata-kata saat melihat Morgan berada disampingnya. Perasaan aneh yang ia alami, menghilang entah kemana layaknya dibawa pergi oleh angin yang berada di sekitarnya. Meida ingin bicara, tapi entah kenapa dirinya hanya membeku seperti es batu. Morgan juga. Dia sama membekunya seperti Meida. Tetapi, Morgan langsung mencairkan suasana tersebut dengan memulai obrolan. "Eh? Meida? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Morgan. Pertanyaan Morgan membuat Meida yang tadinya membeku, menjadi cair layaknya es batu yang terkena panasnya matahari siang hari. Meida menjadi sedikit lebih rileks. "Saya belanja bahan-bahan untuk membuat hidangan yang akan saya buat besok. Bukankah tadi saya sudah bilang ke Anda tentang hal ini? Apakah Anda lupa?" kata Meida, dan bertanya kembali. Morgan ingat bah
Morgan yang melihat Meida tersandung, segera berlari ke arahnya. Ia pun menangkap Meida yang hampir terjatuh. "K-kamu tidak apa-apa, Meida?" tanya Morgan, khawatir. Morgan menahan Meida dengan menempelkan lengan kanannya di bagian perut Meida. Meida terbelalak, kaget karena hampir terjatuh. Untung saja Morgan segera menangkapnya. Kalau tidak, bisa menambah masalah lagi nantinya. Meida segera berdiri tegak. "S-saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah menahan saya." Meida gugup. Morgan tersenyum tipis. "Sama-sama," balas Morgan. "Oh, ini kuncimu," lanjut Morgan, memberi Meida sebuah kunci. Meida mengambil kunci. "Syukurlah, saya menemukan kunci ini di sini. Terima kasih karena Anda menyimpannya. Saya tadi sempat panik saat kunci ini tidak berada di saku saya." "Benarkah? Sudah berapa lama kamu mencari kunci ini?" tanya Morgan. "Sepertinya... sekitar 45 menitan, saya mengendarai motor dengan lambat supaya kuncinya bisa saya
Meida melihat sekelilingnya, terutama tempat duduk yang tadi ia duduki. Tapi, dia tidak melihat kuncinya di sana. Lalu dia terus berjalan menuju ke kasir. Kasir tersebut terlihat melamun dan agak kesal. Berbeda dari awal saat Meida berkunjung ke sini bersama Clara dan Fane. Meida mencoba bertanya kepadanya. "Uhm... halo, Kak," panggil Meida. Si kasir tersentak, sadar dari lamunannya. "O-oh?! I-iya? Ada yang... eh? Bukankah Anda yang tadi berkunjung ke kafe ini, 'kan? Apakah Anda mencari sebuah kunci?" tanya kasir tersebut. Ekspresi wajah kasir tersebut berubah menjadi bahagia. Meida bingung. "Kok tahu jika saya sedang mencari kunci?" Meida balik bertanya. "Tadi bos saya menemukan sebuah kunci. Kata bos saya tadi beliau menemukannya di tempat duduk di bagian sana," jawab kasir tersebut sambil menunjuk ke arah yang ia maksud. "Itu kan tempat Anda tadi duduk dengan kedua teman Anda. Iya, 'kan?" "Oh, iya benar. Tadi saya duduk di sana. Sek
Morgan membuka pintu. Dia ingin bertanya dengan Tania tentang data yang Tania tulis. Dia melewati Robert dan Antonio di dapur. Robert dan Antonio menyadari ada yang aneh dengan raut wajah Morgan. "Hei, Antonio," panggil Robert. "Ya? Ada apa?" tanya Antonio. "Apakah kau melihat raut wajah Bos Morgan? Sepertinya ada masalah." tanya Robert. "Iya, aku melihatnya," jawab Antonio. "Apakah kita perlu bertanya apa masalahnya kepada Bos Morgan?" "Tidak perlu. Ini kan belum tentu ada masalah. Aku hanya menduganya saja. Kayaknya kita tidak perlu ikut campur urusan dia," kata Robert. "Ah, baiklah," balas Antonio singkat. Robert dan Antonio melanjutkan pekerjaan mereka kembali *** "Tania," panggil Morgan. Tania menoleh ke arah Morgan. "Iya, Bos? Ada apa?" tanya Tania. "Tadi aku mengecek data yang kamu letakkan di meja ruanganku. Data yang kamu berikan tidak sama dengan uang hasil penjualan menu kafe k
Morgan masih berdiri di samping jendela. Dia mengintip Meida dan kedua temannya lagi. Dan ternyata mereka sudah mengendarai motor menuju pintu keluar area kafe. Morgan menghela napas. "Apakah aku hanya terlalu banyak pikiran? Yah, mana mungkin aku menyukai Meida? Aku kan sudah punya Jennifer," batin Morgan. Lalu Morgan berjalan menuju teras kafe untuk mencari udara segar. Namun dia jadi teringat sesuatu. "Jennifer? Entah kenapa akhir-akhir ini dia seperti sudah berubah. Aku jadi curiga padanya, biasanya dia ikut aku pergi ke kafe. Tapi kali ini dia tidak ikut, dan juga dia tidak menghubungiku," batin Morgan. Sesampainya di teras kafe, Morgan memejamkan matanya erat-erat, dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Haaah, rumit sekali." Morgan membuka matanya. Morgan tidak menyangka usaha kafenya berjalan dengan lancar. Lalu dia menatap ke arah sebuah kertas. Kertas yang berisi tentang lowongan pekerjaan. "Ak