Ting! Tong!
Suara bel mengambil alih perhatian Hanna. Melirik Arimbi di sebelahnya, tanpa berkata apapun Hanna bangkit menuju pintu. Jika pagi seperti ini Marlina tidak bisa diganggu, sehingga Hanna yang mengurus Arimbi dan menjaga-jaga jika ada tamu datang. Sementara Sultan sudah berangkat kerja setengah jam yang lalu. Dengan cepat Hanna menarik kenop pintu, memunculkan Ratih yang tersenyum.
"Halo, Nona. Apa kabar?" Sapanya ramah. Begitu hangat dan sopan.
Membalas senyumannya, Hanna pun mempersilakan wanita berseragam perawat itu masuk. "Ratih, apa ibumu sudah sembuh?"
"Alhamdulillah, sudah, Non. Saya pikir Tuan Sultan masih membutuhkan jasa perawat, sehingga saya lekas kembali."
"Apa kamu sudah memberitahu Mas Sultan? Beliau sudah berangkat kerja." Hanna menoleh ke arah Ratih yang berjalan di sebelahnya, karena Sultan tidak meninggalkan pesan apapun.
Kedatangan
Hanna menghidangkan segelas kopi susu, dan bolu pisang yang tadi dia masak. Mereka sedang duduk di balkon kamar menikmati pemandangan ibu kota yang gemerlap. Cuaca malam sangat indah jika dilihat dari atas, Sultan mengajak Hanna untuk menebus rasa bersalahnya tadi sore. Ketakutan Sultan kehilangan Arimbi telah mencuri seluruh perasaannya, sehingga tidak ada yang tersisa untuk Hanna. Kewajibannya yang memiliki dua istri mengharuskan Sultan mencintai Arimbi dan Hanna, sampai saat ini dia masih terus berusaha.Jatuh cinta lagi adalah tantangan terberat bagi Sultan. Apalagi, Hanna bukan tipenya, tapi bagaimanapun dia harus mencoba. Namun, Arimbi tetap menjadi yang pertama dan terbaik. Hanna tidak lebih dari seorang istri yang akan memberikannya keturunan."Mas ..." Hanna menyentuh punggung tangan Sultan yang terasa dingin.Lelaki itu menoleh, tersadar dari lamunan panjangnya, dan tersenyum hangat. "Iya, Sayang. Maafin aku ya."
Suasana hati Sultan sedang baik, raut wajahnya yang biasa menegang kini memancarkan aura positif. Lelaki itu tersenyum di sepanjang jalan, banyak karyawan menyapanya dengan ceria. Hari ini Sultan ada pertemuan yang sangat penting, dengan jajaran tinggi sampai pimpinan besar. Undangan seperti ini jarang Sultan dapatkan, menghadirinya akan menjadi suatu hal yang membanggakan.Membuka berkas di atas meja, Sultan berdecak kagum atas proposal yang baru saja diajukan oleh seseorang. Di samping menawarkan kerja sama menjanjikan, angka keuntungan juga cukup fantastis. Tanpa membaca keseluruhan Sultan menandatangani proposalnya, dan langsung menelpon kepala cabang untuk menyetujuinya."Ya, setujui kerja sama itu, aku akan segera mengurusnya setelah pulang dari undangan makan malam." Pesan Sultan tanpa ada penolakan, lantas lelaki itu bangkit seraya membenarkan dasi yang dia kenakan.Telepon di atas meja berdering, Sultan meliriknya
Adzan subuh berkumandang, Sultan bangun dengan kepala yang terasa sangat pusing. Tadi malam sepertinya Sultan salah memilih minuman. Dia tidak pulang semalam, tubuhnya jatuh saat hendak masuk ke mobil, itu yang Sultan ingat terakhir kali. Menyingkirkan selimut, spontan Sultan berjengit ketika melihat tubuh telanjangnya. Apa-apaan ini? Pikiran Sultan mulai kemana-mana, yang jelas dia tidak mengingat apapun setelah pingsan.Wajah Arimbi dan Hanna otomatis muncul di matanya, seakan-akan Sultan sedang berhadapan langsung dengan kedua istrinya yang tampak begitu sedih. Ini sebuah pengkhianatan, dan Sultan merasa sangat bersalah."Hai, selamat pagi." Seorang wanita keluar dari toilet dengan handuk kecil yang digunakannya untuk mengeringkan rambut.Sultan melotot, bahkan bola matanya nyaris keluar. Saking kagetnya begitu mengetahui dia telah bercinta dengan siapa. "Ratih? Kamu menjebakku?!"Sontak wanita itu tert
Berulang kali Leo mengecek sinyal di ponselnya, yang sama sekali tidak berubah. Berada di desa ternyata sangat menyulitkan seseorang untuk berhubungan lewat telepon. Selama dua hari Leo hidup tanpa menelepon atau menerima panggilan dari rekan kerjanya, termasuk Sultan dan Ratih. Leo yakin sekali jika kedua orang itu kewalahan mencarinya, karena dia pun juga tidak memberitahu Marlina atas kepergiannya. Hanna tidak ingin melihat wanita yang sudah dianggap ibunya sendiri menangis."Paman, sepertinya siang nanti saya akan balik ke kota." Leo berkata pada Hasan saat lelaki paruh baya itu baru datang dari arah dapur."Loh, Nak. Kenapa buru-buru? Padahal sore ini Paman ada niat ingin potong kambing." Beritahu Hasan, berharap sekali Leo mengundur kepulangannya."Ada banyak pekerjaan yang harus saya tangani, Paman. Jadi tidak bisa lama."Hasan tampak kecewa, tetapi dia juga tidak ingin memaksa. Wajahnya yang mulai
Begitu melihat punggung belakang Leo yang menghadap jendela, Ratih langsung berlari dan mengagetkannya dengan pelukan erat. Hampir tiga hari Ratih tidak bertemu Leo, wanita itu merindukannya. Mengecup pipi Leo dari samping Ratih meninggalkan cap bibir di sana, dia pun terkekeh geli. Namun, Leo masih tetap pada posisinya, seakan enggan menanggapi kehadiran Ratih yang selalu riang.Menyadari itu Ratih memberengut sebal, dengan jengkel ditariknya jambul Leo hingga sang empunya menoleh. Ketika tatapan mereka bertemu, Ratih melihat kekecewaan di bola matanya yang redup. Ratih jadi bingung, mengingat Leo sendiri yang memintanya datang ke apartemen."Hei, ada apa dengan dirimu?"Tidak menjawab Leo malah membuang muka. Menghindari tuntutannya Ratih."Leo, ceritakan padaku. Apa kamu ada masalah?" tanyanya menggebu, perasaan Ratih jadi tidak enak."Aku marah denganmu Ratih, karena kamu melakukan ses
Begitu mendapat telepon dari kepala Kades, Sultan dan Leo langsung bergerak cepat. Keduanya melupakan apa yang sedang mereka rencanakan. Tidak Sultan maupun Leo menunjukkan kekhawatiran masing-masing. Wanita itu mempunyai tempat di pikiran Sultan dan Leo, meskipun kadarnya berbeda, tetapi mereka satu tujuan. Yakni, ingin memiliki Hanna seutuhnya dengan ruang perasaan yang berbeda pula."Aargh! Ini semua salahku." Sultan membanting stir mobil, kepalanya yang pusing terasa semakin berat.Perasaan bersalah semakin menggerogoti pikiran Sultan, yang tengah kacau dan berantakan. Jika malam itu tidak terjadi, maka Hanna akan tetap tinggal di rumah. Tidak pulang ke desa, apalagi sampai dirinya celaka. Sultan takut sesuatu yang sudah lama dia nantikan terancam pergi."Jangan terus menyalahkan dirimu. Fokuslah menyetir, kita harus segera tiba di rumah sakit." Tegur Leo, sejak tadi lelaki itu memang lebih memilih diam dan berdoa untu
Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau."Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus."Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu.""Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa."Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."Sesorang suster memij
Mengenakan gaun terbaik miliknya, Arimbi tersenyum lebar di dalam cermin. Wajah cantiknya semakin bersinar setelah dipoles oleh perias andal. Malam ini Sultan mengajaknya kencan, sekaligus dinner dengan kedua sahabatnya Angga dan Leo. Sejak mengenal Sultan kehidupan Arimbi memang berubah drastis. Wanita itu semakin berani menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya, sehingga banyak lelaki tertarik dan ingin mempersunting. Angga menjadi salah satunya, sayangnya dia kalah cepat oleh Sultan."Astaga! Aku hampir tidak mengenali pacarku sendiri." Sultan bergurau, memeluk pinggang Arimbi, lalu mengecup keningnya mesra."Aku hanya ingin membahagiakanmu, Mas. Agar kamu tidak malu di saat menggandeng tanganku di hadapan banyak orang," jawab Arimbi. Wanita itu memang pandai memainkan kata."Hmm, yaa, ya. Hanya saja aku tidak suka mereka menatapmu dengan tatapan lapar, terutama sahabatku Angga." Nada suara Sultan terdengar k