Share

Arimbi 3 - Kecurigaan Hanna

"Nona ..." panggil sebuah suara, halus.

Dengan berat Hanna mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Rambutnya yang acak-acakkan, serta wajah penuh lebam membuat Ratih merasa kasihan. Perawat itu tidak pernah mengerti dengan tingkah laku dan perasaan Sultan. Dia bisa lembut kepada Arimbi yang pertama, tetapi menyiksa Arimbi kedua begitu tega.

"Makanlah," pinta Ratih mendekati Hanna, lalu menaruh makanannya di lantai. Tepat di hadapannya Hanna.

Menggeleng lemah Hanna mendorong piring di depannya hingga agak jauh, dan berkata. "Aku hanya ingin pulang."

Mengingat kondisinya Hanna kembali menangis, terlebih merasakan rasa sakit yang hampir menyiksa seluruh tubuh. Sultan tidak hanya memboikot dirinya, tetapi juga melukai perasaan. Setelah puas menghajar tubuh Hanna, dia mengikat kakinya di kaki ranjang, seperti seekor binatang. Sungguh keji.

"Nona Arimbi ..." Ratih mensejajarkan diri dengan Hanna, menatapnya pilu.

"Tolong aku." Hanna merintih.

Ratih meraih sebelah tangan Hanna yang dingin, lalu berkata. "Kamu hanya perlu mengikuti apapun perkataan Tuan Sultan, jangan sekali membantah. Dia tidak menyukai wanita yang enggan diatur dan pembangkang. Sosoknya sulit mengontrol perasaan, beliau bisa menjadi amat baik dan sangat kejam. Patuhilah aturannya."

Setelah memberi pengertian kepada Hanna, wanita muda itu berlalu pergi. Tugasnya hanya mengantar makanan, dan memastikan Hanna tidak kabur. Sesaat kepergiannya ketukan sepatu muncul, Hanna yang malang langsung bersidekap. Memeluk dirinya sendiri. Berbagai doa Hanna lantunkan, agar pemilik dari sepatu tersebut tidak lagi bertingkah semengerikan monster.

Cklek! Bahkan bunyi knop pintu yang dibukanya pun sudah menghantarkan hawa kengerian. Hanna meraba detak jantungnya yang mulai menggila. Saat Sultan menampakkan diri kulit wajah Hanna berubah warna. Menjadi pucat.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Tangan kasar Sultan menyentuh kedua pipi Hanna dengan hati-hati, meringis pelan kala wanita itu menggigit bibir. Menarik tangannya Sultan pun bangkit menuju lemari, membuka salah satu lacinya dan mengeluarkan kotak P3K. Tanpa Hanna mengerti Sultan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi, dan bukan dia pelakunya. Lelaki berumur 28 tahun itu membersihkan luka Hanna dengan sangat lembut, serta mengobati lukanya yang tampak ruam memerah.

"Ini pasti sangat sakit, maafkan aku." Sultan berkata lirih, terdengar amat menyesal. Hanna bertambah bingung.

Setelah beres Sultan melepaskan rantai yang mengikat kaki Hanna, kemudian membantunya duduk di ujung ranjang. Perubahan sikap Sultan membuat Hanna bertanya-tanya, tapi wanita itu tidak mengutarakannya. Sultan Bhayangkari tidak hanya mengobati luka yang terlihat, dia juga berhasil mengembalikan keadaan hati Hanna.

Mengambil sepiring makanan yang masih utuh, Sultan memberikannya pada Hanna yang terheran-heran. "Makanlah, aku tidak ingin melihatmu sakit. Itu sangat menyakitiku."

Sebelum beranjak tidak lupa Sultan membelai kepala Hanna, lalu pergi meninggalkannya yang masih tertegun. Sebenarnya Sultan tidak tahu apa yang telah dia lakukan sebelumnya pada wanita malang itu, yang jelas begitu sadar Hanna sudah terkulai lemas. Semua itu di luar kendalinya terlepas rasa jengkel yang membuncah otak. Melihat Hanna seperti tadi membuat Sultan iba, bahkan merasa sangat menyesal. Akan tetapi Sultan tidak mempunyai pilihan selain mentawan Hanna untuk menghidupkan kembali keluarganya dari kekosongan Arimbi.

***

Seharian Hanna tidak melihat Sultan, maksudnya lelaki itu tidak menjenguk dirinya di kamar seperti biasa. Hampir satu harian penuh Hanna berada di ruangan yang tertutup yang tidak bisa dibukanya sendiri. Pintu itu terbuka hanya dua kali saat Marlina mengantar makan siang dan makan malam. Di dalam kamar gerakan Hanna juga sangat terbatas akibat lukanya yang bertambah parah, semalaman ia tahan.

"Aww," rintihnya saat hendak bangun.

Hanna memegangi kaki kirinya yang sudah membiru. Semalam Sultan tak punya perasaan membanting barang pecah belah ke arahnya hingga habis.

"Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan.

Dalam hitungan detik lelaki itu muncul dengan bingkisan di kedua tangannya. Sultan tersenyum manis pada Hanna, ditaruhnya bingkisan itu di hadapan sang istri lalu dibukanya dengan cepat. Ternyata Sultan membayar janjinya, beliau tak lupa menghadiahkan Hanna seperangkat alat salat, dan Al-Qur'an.

"Aku tadi membelinya sendiri pulang kerja, dan semoga kamu suka," tutur Sultan memberikannya kepada Hanna.

Dengan susah payah Hanna berusaha mengeluarkan suaranya, dia berkata. "Te-rima kasih. A-ku sangat suka."

Mendengar suara Hanna yang seperti ketakutan dahi Sultan mengernyit, dia pikir sikapnya tidak lagi membuatnya takut. Menatap Hanna dengan tajam, Sultan berusaha menahan amarahnya yang sudah menyala dan membakar.

"Kenapa kamu masih takut padaku?" tanya Sultan terdengar berat, dalam.

Dituding seperti itu bukan menjawab, tubuh Hanna malah bergetar semakin ketakutan. Semampunya ia merangkak naik menjauhi Sultan yang wajahnya sudah memerah seakan siap meledak.

"Apakah aku menyakitimu, hah?!"

Hanna pun terlonjak. Dengan tiba-tiba Sultan menarik tangannya bangkit dan plaak! Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Monster jahat itu kembali menguasai Sultan, dia menyerang jiwa Hanna yang rapuh. Menyakitinya lagi bertubi-tubi hingga sebuah suara menyadarkannya ke dunia sekitar.

"Tuan, nona Arimbi sedang sakit." Ratih bergegas menghampiri Hanna yang terperosok di lantai dan membantunya.

"Beritahu padanya aku bukan monster yang harus ditakuti." Sultan menunjuk Hanna yang sudah terisak, "dan kamu katakan padanya aku ini suaminya."

Ratih hanya mengangguk, lalu menatap kepergian Sultan yang meninggalkan luka di hati Hanna. Dengan tangan gemetaran Hanna menerima segelas air yang diberikan oleh Ratih, perlahan diminumnya hingga setengah. Menyeka sudut matanya Hanna bersandar lelah pada dipan, menatap penuh antisipasi ke arah pintu. Takut sosok mengerikan itu datang lagi menyerang tiba-tiba.

"Nona, apa ada yang ingin kamu tanyakan?" Ratih menarik perhatian Hanna yang sedang melamun.

Tentu saja Hanna mengangguk. Sejak awal memang kesempatan ini yang paling Hanna nantikan. Bertanya banyak hal mengenai sosok Arimbi pada orang yang benar-benar sedia.

Ingatan Hanna langsung tertuju pada hari pertama kedatangannya, melihat Ratih yang sedang mengejar seorang wanita. "Nyonya Arimbi, waktu itu kamu memanggilnya dengan nama itu."

"Nyonya Arimbi?" tanyanya bingung.

"Iya, kamu mengejar dan memanggil wanita itu Nyonya Arimbi. Sekarang aku ingin bertanya, siapa sebenarnya Arimbi?" Hanna menatap penasaran.

"Apakah kamu bertanya mengenai dirimu sendiri, Nona?" Ratih malah balik tanya, Hanna pun tercegang.

Menggeleng pelang Hanna memijat pelipisnya yang mendadak pusing, dan dia berkata. "Kalian memanggilku dengan sebutan Nona Arimbi, dan memanggilnya Nyonya Arimbi. Kupikir itu adalah orang yang berbeda."

"Jangan membuat dirimu berpikir hal yang mengada-ada. Tidak ada Arimbi selain dirimu di sini. Bersikap wajarlah untuk kehidupan yang normal. Nona hanya belum bisa menerima dan terbiasa dengan segala aturan Tuan Sultan. Dengarkan apa saja yang diinginkannya, jangan takut padanya, dan patuhi semua perintahnya. Maka, hidupmu akan berjalan sempurna."

"Tapi, aku bukan Arimbi."

"Hanya sebuah nama, itu tidak akan merugikanmu," katanya penuh arti.

Akan tetapi Hanna tidak menerimanya begitu saja, karena dia merasa Sultan sedang memanfaatkan dirinya tanpa penjelasan yang jelas. Itu pelanggaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status