Dalam sujud terakhir Hanna berdoa, cukup lama dan panjang. Air matanya merembes kemana-mana saat Hanna mengadu pada sang Khaliq. Setelah salam wanita itu pun bersimpuh lagi di hadapan-Nya dengan pandangan ke atas. Hanna menceritakan berulang kali kegundahan hatinya berikut rasa tertekan yang semakin menggunung.
"Ya Rabb, sesungguhnya Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui. Hamba sedang berada dalam kesulitan yang nyata, yang menyiksa jiwa raga dan batin. Kehidupan yang hamba impikan tak sesuai dengan kenyataan." Hanna menangis sesegukan, terasa sulit membicarakan semua yang di dada.
Mengambil napas sejenak, Hanna pun menyeka air matanya yang terjangkau. "Ya Rabb, suamiku telah ingkar, dan dia tidak seperti yang aku bayangkan. Aku lelah, sikap dan sifatnya membuatku tertekan. Segala bentuk penyiksaannya melukai dan meremukkan tubuhku."
Sekali lagi Hanna mengatur napasnya yang tidak beraturan, dengan air mata yang semakin deras mengiringi doa. "Tolong hambamu ini ya Allah, aku ingin kembali ke desa. Jika perpisahan akan membuat perasaanku lebih baik tentu aku sangat menginginkannya."
Terlalu banyak dan berat untuk Hanna utarakan dalam sekali duduk. Butuh waktu yang lama, satu harian pun tidak akan selesai. Tempat curhat terbaiknya saat ini hanya Allah Ta'ala. Hanna pun berharap masalah hidup segera usai.
"Ehem." Sultan berdehem saat Hanna mengakhirkan doanya yang panjang.
Sontak Hanna terperanjat, jelas kaget.
Tanpa berkata apapun Sultan menatap Hanna, memerhatikan wajahnya yang sembap karena menangis. Sejak Hanna mengangkat takbir Sultan telah datang, tapi lelaki itu hanya diam mengamati sampai akhir salam dan selesai berdoa. Seluruh pemintaan Hanna didengar jelas oleh Sultan tanpa ada yang samar.
"Sudah berdoanya?" Sultan bertanya dengan wajah sedatar mungkin.
Hanna mengangguk, terlalu polos. Di depannya Sultan masih berdiri tanpa ekspresi. Percaya atau tidak hatinya sedikit rapuh mendengar permohonan Hanna yang begitu menyayat hati. Akan tetapi rasa jengkel itu tetap ada, entah mengapa setiap kali melihat wajah melas Hanna kepala Sultan jadi seperti ingin meledak dan berapi-api.
"Apa kamu ingin kita segera berakhir?" tanyanya kemudian sembari berjalan mendekati Hanna, menatapnya dalam.
Dengan cepat Hanna mengangguk, dia sangat berharap Sultan melepaskannya dan mengakui kesalahannya yang di luar batas. Hanna masih muda, impiannya untuk masa depan yang indah belum berakhir. Di balik Sultan yang kejam tentu Hanna tahu jika terdapat kebaikan di hati lelaki itu, meski hanya sedikit bahkan tertutup.
"Coba katakan padaku apa yang kamu inginkan selain perpisahan? Sungguh! Aku sangat membutuhkan kehadiran dirimu Arimbi, aku mohon padamu."
"Aku bukan Arimbi, namaku Hanna." Untuk sekian kali Hanna menegaskan.
Langkah Sultan terhenti, tatapannya berubah gelap. Nyalang. Seakan tahu apa yang terjadi selanjutnya Hanna berlari ke sudut ruangan, menghindari Sultan sebisa mungkin walaupun sulit.
"Hanna sudah mati, kamu itu Arimbi!" Praang! Dengan kekuatannya Sultan meninju kaca rias yang berada di sisi kirinya, lalu mengejar langkah Hanna.
"Le-pass." Hanna berteriak, meronta.
"Tidakkah kamu takut padaku? Kenapa kamu selalu membuatku marah, hah?!"
"Lepaskan aku, lepaskan aku!" Hanna berteriak semakin keras, bahkan dia mulai berani memberontak di dalam cengkraman Sultan yang mengencang.
"Diam atau kamu akan kupukul?!" Sultan membentaknya lebih keras.
Tidak memedulikan ancaman Sultan, Hanna terus memberontak dengan seluruh kekuatan yang dia punya. Saat ini yang Hanna inginkan hanya bebas dari jeratan Sultan. Hanna juga tidak ingin selalu terlihat lemah dan rapuh.
Melihat pemberontakan Hanna yang semakin menjadi kesabaran Sultan habis, tangannya mendorong wanita malang itu tanpa aba-aba. Hanna pun terjerembab dengan wajah menempel pada lantai. Sultan menatap kedua tangannya yang mengencang, ketika dia hendak menghantam kepalanya Hanna teriakkan Marlina terdengar.
"Tuan Sultan, Tuan ..." teriaknya dari luar, terdengar panik dan menggebu.
"Katakan ada apa?" tanya Sultan.
Wanita gempal itu menyeka peluhnya, dan mengatur napasnya yang tidak beraturan. Dia berkata, "Nyonya besar Ningsih penyakitnya kambuh, dia terus memanggil Tuan dan Nona Arimbi."
Setelah memberitahu tuannya Marlina langsung pergi. Hanna dapat melihat perubahan wajah Sultan yang panik. Dengan perasaan kalut Sultan menarik Hanna bangkit, saat wanita itu sudah berdiri tegak ditatapnya dengan sendu.
"Sekarang kamu ikut aku," pintanya.
***
"Arimbi ..." lirihnya parau dan terbata.
Dengan perasaan hancur Sultan berlari menghampiri ibundanya saat melihat dokter sudah angkat tangan. Sultan menggenggam tangan sang bunda dan menangis hebat. Hidupnya tidak akan terbayangkan jika tanpa ibundanya itu, Sultan sangat mengharapkan karomah.
"Bunda, bertahanlah." Sultan berkata dalam tangisnya. Dia menjadi rapuh serapuh-rapuhnya di hadapan bunda. "Sultan mohon, Bunda jangan pergi."
Napas Ningsih sudah tidak terkendali, putus-putus dan semakin melemah. Rasanya ingin sekali berkata sesuatu pada anaknya Sultan dan Arimbi, tapi dia tidak mampu. Bahkan, memanggil Arimbi pun suaranya tidak lagi keluar, hanya lirihan pendek yang amat halus.
"A-rimbi anakku," lirihnya sekali lagi.
Kali ini Sultan mendengarnya, tanpa berpikir panjang dia membawa Hanna menghadap sang bunda. Hanna tidak berkata apapun, dan tak juga menolak. Ditatapnya wanita tua itu dengan iba, seakan terbawa suasana Hanna pun membelai rambut putihnya lembut.
"Arimbi?" Ningsih bertanya dengan suara yang sangat lemah, bergetar.
"Iya, Bun, ini Arimbi," jawab Sultan.
"Ya Allah, akhirnya kamu menjenguk, Bunda sangat merindukanmu, Nak." Ningsih menangis penuh haru, Hanna langsung memeluknya dengan kasih.
Pelukan Hanna ternyata meluruhkan kegelisahan hati Ningsih, perasaannya yang bahagia memberikan efek baik bagi tubuh beserta pikirannya. Dokter bahkan sampai takjub dan tak percaya. Saat dokter meminumkan dua butir obat, jantung Ningsih kembali stabil.
"Bunda istirahat dulu, ya? Sore nanti Arimbi datang lagi menjenguk Bunda." Dengan penuh kasih Hanna mengecup dahi Ningsih, menemani wanita tua itu sampai benar-benar tertidur lelap.
Sultan menatap Hanna dengan kagum. Jikalau saja tidak ada dirinya mungkin bundanya tercinta sudah tiada. Di balik sikap keras kepala Hanna, Sultan tidak menyangka atas apa yang dia lakukan baru saja. Hanna bersikap bagaikan malaikat dan mengaku sebagai Arimbi.
Tanpa Hanna mengerti Sultan datang mendekatinya, lalu memeluknya erat. Sekali lagi Sultan memeluknya untuk pertama kali. Hanna tidak menolak, apalagi Sultan melakukannya dengan kesungguhan. Tidak ada yang Hanna pikirkan selain Sultan merasa bahagia melihat sang bunda telah membaik.
"Aku mencintaimu," bisik Sultan tepat dikuping Hanna, dikecupnya lembut.
Deg! Jantung Hanna seakan berhenti detak. Tentu saja ini adalah kata cinta pertama yang Hanna terima. Sultan mengucapkannya dengan nada serius dan bergetar sampai ke hati. Namun, Hanna tidak ingin berperasaan, dia tetap mengontrol dirinya dengan hal apa yang akan Sultan katakan lagi.
"Mulai detik ini aku mencintaimu." Sultan mengulangnya, menyakinkan keraguan Hanna yang terlihat jelas.
Membelai lembut rambut putih yang disisirnya Hanna tersenyum lebar. Di saat Hanna menyentuhnya Ningsih juga ikut menyunggingkan senyum bahagia. Keduanya tampak begitu bersahabat dalam waktu yang singkat. Meski tahu kehadirannya bukanlah sebagai Hanna melainkan Arimbi, tapi dia bersyukur telah membuat sang bunda bahagia."Minumnya, Bun." Hanna membantu Ningsih bersandar, lalu menempelkan sedotan pada mulutnya yang kering."Kamu sudah makan, Nak?" tanyanya."Sebentar lagi, Bun, Hanna memang sengaja mendahulukan Bunda dulu. Nanti Hanna pasti makan kok, Sultan tadi sudah ngajak dinner bersama.""Hanna? Sultan?"Sontak Hanna terdiam, bingung ingin menjawab apa, sementara Bunda telah menaruh rasa curiga. Hanna lupa atas perannya, dan lupa bertanya pada Sultan yang biasa dipanggil dengan sebutan apa? Di saat Hanna tengah kesulitan, Sultan datang bak Ksatria penyelamat, dia langsung mengetahui apa yang telah terjadi pada istrinya."Hmm, maksudnya kucing y
Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja."Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pem
Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna."Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan."Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya."Pergilah, aku masih mengantuk.""Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata t
"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara."Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli."Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka."Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.
Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya."Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah."Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan."Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.Setelah itu dia berlari membuka pintu."Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.Di de
"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat."Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan."Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini.""Tuan, saya mohon ...""Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, me
Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun."Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan."Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan."Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu.""Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.Sambil mendengark
Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.Mereka semua membutuhkan Hanna."Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu.""Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir."Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu.""Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan.