Perlahan, mata Elena terpejam. Dunia seperti menariknya ke dalam pelukan gelap yang tenang, menjauhkan dirinya dari rasa sakit, dari kekacauan di sekitarnya, dan dari suara jeritan serta dentuman yang masih terdengar samar di kejauhan. Dalam kegelapan yang membungkusnya, hanya ada satu harapan kecil yang tersisa—tipis, nyaris tak terlihat, seperti benang halus yang menahan kesadarannya agar tidak terputus. Kegelapan itu bukan sekadar kehampaan; rasanya seperti pusaran yang perlahan menghisapnya masuk. Di dalamnya, kesadarannya mulai melayang, mundur menembus waktu dan kenangan yang membawanya menyusuri kembali setiap bagian hidupnya—dari tawa dan luka, dari kehangatan hingga kehampaan, hingga ia tiba di titik terdalam masa lalunya, tempat segalanya bermula. Di sana, di kedalaman ingatannya yang paling sunyi, Elena seolah menyaksikan dirinya sendiri, atau mungkin lebih tepatnya, sosok dirinya dari kehidupan yang entah kapan—berwujud seorang wanita berpakaian bangsawan, berdiri
Di tangga besi yang berderit, Elena menarik napas terengah-engah. Telinganya masih dipenuhi gaung sirene dan gema langkah mereka yang tergesa. Tapi langkah Ren tiba-tiba terhenti, tubuhnya kaku seperti patung. Tangannya terangkat, menghentikan Elena agar tidak melangkah lebih jauh. “Ren, ada apa?” tanya Elena cemas, berbisik di belakangnya, belum sempat melihat apa yang ada di depan. Ren tidak menjawab. Rahangnya mengeras, dan satu kata keluar dari mulutnya, bukan untuk menjawab Elena, tapi seolah berbicara pada hantu masa lalunya. “Cecilia,” dengusnya, penuh kebencian yang mendidih. Elena menyipitkan mata, lalu mengintip ke sisi tangga yang terbuka ke koridor atas. Di sana, berdiri Cecilia dengan di kedua sisinya, dua penjaga bersenjata lengkap berdiri waspada, senjata mereka mengarah lurus ke tangga tempat Ren dan Elena berdiri. Jalan keluar—satu-satunya jalur menuju permukaan—tertutup. Cecilia mengangkat walkie-talkie ke mulutnya, suaranya tenang namun tajam, seolah s
Ren digiring oleh dua pria bertubuh kekar menyusuri lorong sempit yang menurun, menuju sebuah pintu baja berat yang tampak seperti akses ke ruang penyimpanan atau bunker tua. Setiap langkah mereka bergema di sepanjang dinding beton yang dingin dan lembap. Aroma zat kimia samar mulai tercium saat mereka semakin mendekat. Salah satu pria membuka pintu logam itu dengan suara berderit berat, dan Ren didorong masuk dengan kasar. Di balik pintu, terbentang sebuah ruangan bawah tanah yang luas—lebih besar dari yang Ren bayangkan. Ruangan itu terang benderang oleh cahaya putih dari lampu neon yang menggantung dari langit-langit. Di sekelilingnya, rak-rak penuh botol kaca berlabel, alat ukur laboratorium, centrifuge, serta tabung-tabung reaksi berjejer rapi. Suhu di dalam ruangan jauh lebih dingin, dan bau alkohol serta bahan kimia menyengat menusuk hidung. Ren berdiri kaku, matanya menyapu sekeliling ruangan. Di tengah, terdapat meja stainless besar yang dipenuhi dokumen, catatan rumus,
Saat Elena berusaha mencari cara untuk meloloskan diri dari jeratan tali yang membatasi geraknya, pikirannya berpacu untuk mencari celah, menyusun strategi, atau apa pun yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Napasnya teratur, tapi setiap hembusannya mengandung kewaspadaan. Jemarinya perlahan bergerak, meraba simpul kasar yang menahan pergelangan tangannya, mencoba mengukur apakah simpul itu cukup longgar untuk dilepaskan. Namun sebelum ia sempat membuat kemajuan berarti, suara keras terdengar dari arah pintu. Pintu ruangan terbuka dengan kasar, menimbulkan dentingan logam yang menggema ke seluruh ruang pengap itu. Cecilia muncul, disusul langkah kakaki dua orang di belakangnya. Langkah mereka cepat, berirama seperti regu eksekusi. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Elena, membuat kepalanya terpelintir ke samping. “Bangun, jalang sialan! Kau ikut dengan kami,” ujar Cecilia dengan nada tajam. Senyumnya tipis, namun sorot matanya penuh ancaman. Elena terperan
Selang beberapa jam telah berlalu, mobil terus melaju pelan menyusuri jalanan yang sepi dan panjang, seolah tak berujung. Hanya ada deru mesin yang sesekali terdengar berat, bercampur dengan suara angin malam yang menyusup melalui celah-celah kaca. Lampu-lampu jalan yang redup menerangi aspal dengan temaram kekuningan, menambah kesan muram dan dingin sepanjang perjalanan. Bayangan pohon-pohon tinggi di tepi jalan menjulang seperti sosok-sosok gelap yang mengintai dalam diam, menciptakan siluet menyeramkan yang bergerak samar setiap kali mobil melintas. Ren duduk tegak di kursi kemudi, tangannya masih menggenggam setir dengan erat. Setiap otot di tubuhnya terasa tegang, seolah menahan ledakan emosi yang terus berputar dalam benaknya. Ia nyaris tidak berkata apa-apa selama perjalanan, hanya sesekali melirik melalui kaca spion, memantau sosok penculik yang duduk di kursi belakang dengan tatapan tajam dan dingin. Wajah pria itu nyaris tak terlihat jelas dalam gelap, tapi keberadaannya t
“Apa kau tidak menginap saja malam ini?” tanya Bibi Louise dengan nada cemas, matanya menatap Ren penuh harap. Ren menggeleng pelan sambil tersenyum lelah. “Tidak usah, Bibi. Kalau aku merasa mengantuk di jalan, aku akan istirahat sebentar di rest area. Jangan khawatir.” Bibi Louise menghela napas, lalu menepuk bahunya perlahan sebelum menjauh. “Baiklah, kalau itu memang keputusanmu, aku tidak akan memaksamu. Tapi tetap hati-hati di jalan, ya, Ren.” Ren mengangguk sebagai jawaban. Senyum kecil terbit di wajahnya. Itulah yang selalu ia kagumi dari Bibi Louise karena kepekaannya yang memahami tanpa perlu banyak kata. Ia tahu Ren bukan tipe yang nyaman dengan pelukan atau sentuhan berlebihan. Bahkan aroma tubuh orang lain kadang bisa sangat mengganggunya. Dan Bibi Louise, dengan kelembutan yang tulus, selalu menghormati batas itu. Tepukan pelan di bahu sudah lebih dari cukup sebagai bentuk perhatian. Berbeda dengan Cecilia, yang seringkali bertindak tanpa berpikir panjang—memeluknya