Setelah dirawat selama satu minggu, Elena akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Penyembuhannya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan para dokter. Awalnya mereka mengira ia akan butuh waktu lebih lama untuk pulih, mengingat luka tembak yang cukup serius dan banyaknya darah yang hilang. Namun, kondisi tubuh Elena membaik dengan cepat. Ia mulai bisa duduk, berjalan perlahan, dan menahan rasa sakit dengan lebih baik. Dokter menyebut proses pemulihannya luar biasa, sementara perawat menyebutnya sebagai hal yang jarang terjadi. Mobil hitam milik Rose sudah menunggu di depan lobi rumah sakit. Udara pagi Ottawa terasa sejuk, menyentuh kulit Elena dengan lembut, seperti menyambutnya kembali ke dunia hukum setelah seminggu yang terasa seperti terperangkap di ruang putih penuh aroma desinfektan. Di kursi depan, sopir pribadi Rose mengangguk sopan sebelum mulai menjalankan mobil. Jalanan pagi itu masih lengang, dan cahaya matahari menyelinap pelan di antara gedung-gedung, memantulkan
Perlahan, mata Elena terpejam. Dunia seperti menariknya ke dalam pelukan gelap yang tenang, menjauhkan dirinya dari rasa sakit, dari kekacauan di sekitarnya, dan dari suara jeritan serta dentuman yang masih terdengar samar di kejauhan. Dalam kegelapan yang membungkusnya, hanya ada satu harapan kecil yang tersisa—tipis, nyaris tak terlihat, seperti benang halus yang menahan kesadarannya agar tidak terputus. Kegelapan itu bukan sekadar kehampaan; rasanya seperti pusaran yang perlahan menghisapnya masuk. Di dalamnya, kesadarannya mulai melayang, mundur menembus waktu dan kenangan yang membawanya menyusuri kembali setiap bagian hidupnya—dari tawa dan luka, dari kehangatan hingga kehampaan, hingga ia tiba di titik terdalam masa lalunya, tempat segalanya bermula. Di sana, di kedalaman ingatannya yang paling sunyi, Elena seolah menyaksikan dirinya sendiri, atau mungkin lebih tepatnya, sosok dirinya dari kehidupan yang entah kapan—berwujud seorang wanita berpakaian bangsawan, berdiri
Di tangga besi yang berderit, Elena menarik napas terengah-engah. Telinganya masih dipenuhi gaung sirene dan gema langkah mereka yang tergesa. Tapi langkah Ren tiba-tiba terhenti, tubuhnya kaku seperti patung. Tangannya terangkat, menghentikan Elena agar tidak melangkah lebih jauh. “Ren, ada apa?” tanya Elena cemas, berbisik di belakangnya, belum sempat melihat apa yang ada di depan. Ren tidak menjawab. Rahangnya mengeras, dan satu kata keluar dari mulutnya, bukan untuk menjawab Elena, tapi seolah berbicara pada hantu masa lalunya. “Cecilia,” dengusnya, penuh kebencian yang mendidih. Elena menyipitkan mata, lalu mengintip ke sisi tangga yang terbuka ke koridor atas. Di sana, berdiri Cecilia dengan di kedua sisinya, dua penjaga bersenjata lengkap berdiri waspada, senjata mereka mengarah lurus ke tangga tempat Ren dan Elena berdiri. Jalan keluar—satu-satunya jalur menuju permukaan—tertutup. Cecilia mengangkat walkie-talkie ke mulutnya, suaranya tenang namun tajam, seolah s
Ren digiring oleh dua pria bertubuh kekar menyusuri lorong sempit yang menurun, menuju sebuah pintu baja berat yang tampak seperti akses ke ruang penyimpanan atau bunker tua. Setiap langkah mereka bergema di sepanjang dinding beton yang dingin dan lembap. Aroma zat kimia samar mulai tercium saat mereka semakin mendekat. Salah satu pria membuka pintu logam itu dengan suara berderit berat, dan Ren didorong masuk dengan kasar. Di balik pintu, terbentang sebuah ruangan bawah tanah yang luas—lebih besar dari yang Ren bayangkan. Ruangan itu terang benderang oleh cahaya putih dari lampu neon yang menggantung dari langit-langit. Di sekelilingnya, rak-rak penuh botol kaca berlabel, alat ukur laboratorium, centrifuge, serta tabung-tabung reaksi berjejer rapi. Suhu di dalam ruangan jauh lebih dingin, dan bau alkohol serta bahan kimia menyengat menusuk hidung. Ren berdiri kaku, matanya menyapu sekeliling ruangan. Di tengah, terdapat meja stainless besar yang dipenuhi dokumen, catatan rumus,
Saat Elena berusaha mencari cara untuk meloloskan diri dari jeratan tali yang membatasi geraknya, pikirannya berpacu untuk mencari celah, menyusun strategi, atau apa pun yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Napasnya teratur, tapi setiap hembusannya mengandung kewaspadaan. Jemarinya perlahan bergerak, meraba simpul kasar yang menahan pergelangan tangannya, mencoba mengukur apakah simpul itu cukup longgar untuk dilepaskan. Namun sebelum ia sempat membuat kemajuan berarti, suara keras terdengar dari arah pintu. Pintu ruangan terbuka dengan kasar, menimbulkan dentingan logam yang menggema ke seluruh ruang pengap itu. Cecilia muncul, disusul langkah kakaki dua orang di belakangnya. Langkah mereka cepat, berirama seperti regu eksekusi. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Elena, membuat kepalanya terpelintir ke samping. “Bangun, jalang sialan! Kau ikut dengan kami,” ujar Cecilia dengan nada tajam. Senyumnya tipis, namun sorot matanya penuh ancaman. Elena terperan
Selang beberapa jam telah berlalu, mobil terus melaju pelan menyusuri jalanan yang sepi dan panjang, seolah tak berujung. Hanya ada deru mesin yang sesekali terdengar berat, bercampur dengan suara angin malam yang menyusup melalui celah-celah kaca. Lampu-lampu jalan yang redup menerangi aspal dengan temaram kekuningan, menambah kesan muram dan dingin sepanjang perjalanan. Bayangan pohon-pohon tinggi di tepi jalan menjulang seperti sosok-sosok gelap yang mengintai dalam diam, menciptakan siluet menyeramkan yang bergerak samar setiap kali mobil melintas. Ren duduk tegak di kursi kemudi, tangannya masih menggenggam setir dengan erat. Setiap otot di tubuhnya terasa tegang, seolah menahan ledakan emosi yang terus berputar dalam benaknya. Ia nyaris tidak berkata apa-apa selama perjalanan, hanya sesekali melirik melalui kaca spion, memantau sosok penculik yang duduk di kursi belakang dengan tatapan tajam dan dingin. Wajah pria itu nyaris tak terlihat jelas dalam gelap, tapi keberadaannya t