Saat perjalanan bisnis ke Kanada, Elena Hadley memutuskan untuk menghabiskan waktu luangnya dengan mengunjungi Festival Winterlude Kanada. Di tengah lautan warna putih salju dan keramaian pengunjung, ia tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria asing yang memiliki aroma segar bagai musim panas di tengah dinginnya musim dingin. Sekilas, pertemuan itu tampak biasa. Namun, aroma pria itu begitu segar, maskulin, dan menggoda, seakan menempel dalam ingatannya. Selepas kembali dari Kanada, sesuatu yang aneh terjadi— setiap malam Elena mulai bermimpi tentang pria itu, mimpi-mimpi yang begitu nyata dan penuh gairah. Semakin hari, mimpi-mimpi tersebut semakin intens, membuatnya terjebak dalam batas tipis antara fantasi dan kenyataan. Siapa pria itu? Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar yang mengikat mereka berdua?
View MoreMalam terasa menusuk dengan dinginnya, tapi tidak bagi dua insan yang kini tengah terperangkap dalam kehangatan penuh gairah di dalam sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Dinding putih, sprei kasur putih, hingga perabotan yang semuanya bewarna seragam menciptakan nuansa steril yang justru kontras dengan panas yang mulai membakar di antara mereka.
Di atas ranjang, tubuh mereka saling melekat erat, napas memburu, dan kulit yang semakin lembab oleh keringat. Aroma hasrat memenuhi udara. Jari-jari mencengkeram erat, tubuh bergetar dalam irama yang semakin menggila. “Ahh...” erangan panjang meluncur dari bibir Elena Hadley, tubuhnya melengkung, dan matanya setengah terbuka dengan pandangan kabur oleh kenikmatan yang tak tertahankan. Pria di bawahnya, yang bertubuh kokoh selayaknya mahakarya pahatan patung yang sempurna, bergerak tanpa ampun. Ketebalan dan panjang penisnya yang luar biasa memenuhi dirinya dengan cara yang begitu menyesakkan, mendominasi ruang sempitnya dengan paksa namun memberi sensasi yang membuat tubuhnya ketagihan. Gerakan itu tidak terburu-buru, tapi dalam, keras, dan penuh kendali, membuat setiap dorongan terasa sampai ke dasar perutnya. Saat kepala penisnya berhenti di pintu masuk vaginanya, Elena menggigit bibir, jari-jarinya mencakar dada pria itu. Tapi sebelum sempat bernapas lega, pria itu kembali menusukkan dirinya dengan dalam, hingga membuatnya menjerit tertahan. “A-Ah! Lebih lambat, ugh...kau terlalu besar...!” keluhnya, tapi tangannya justru semakin erat menggenggam lengan kekar pria itu. Tak ada belas kasihan. Ritme itu terus menghantamnya tanpa henti, menciptakan suara basah yang menggema di ruangan yang sunyi. Plak! Plak! Plak! Tubuh Elena bergetar keras, kepalanya menengadah, dan bibirnya menganga saat sensasi membuncah dari dalam dirinya. Panas yang menekan dinding vaginanya semakin gila, setiap gesekan mempercepat ledakan yang menggerogoti kesadarannya. “Aah... ya... lebih dalam...!” Wajahnya memerah, tubuhnya terasa seolah terbakar, dan kakinya yang sebelumnya gemetar kini mencengkeram erat tubuh pria itu, seakan ingin menahannya lebih lama di dalam. Puncak itu datang deras, menyapu dirinya dalam gelombang kenikmatan yang membutakan. Tubuhnya terkulai lemas, tapi kehangatan di dalamnya masih terasa kokoh. Bahkan setelah ia klimaks berkali-kali, pria itu tetap belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Tangan besar itu meraih wajahnya, lalu bibirnya dilumat dalam ciuman yang liar dan panas. Lidah pria itu menyerbu ke dalam mulutnya, menari di langit-langitnya, menciptakan hisapan yang membuatnya kembali kehilangan kendali. Alih-alih menjauh untuk mengambil napas, Elena malah semakin menenggelamkan dirinya dalam ciuman itu, tangannya mencengkeram rambut pria itu dan menariknya lebih dekat. Kulitnya yang basah oleh keringat terasa licin di bawah sentuhan jemari pria itu, disertai aroma maskulinitas dari pria itu semerbak memasuki indra penciumannya. Aroma hijau yang segar, ringan dan sedikit tajam, mengingatkannya akan aroma udara pagi di pegunungan atau taman setelah hujan— Bip! Bip! Bip! Elena mematikan jam beker tersebut, ia menghela napas panjang, duduk di tepi ranjang sambil meremas pelipisnya yang terasa berdenyut. Keringat dingin masih melekat di kulitnya, dan seperti sebelumnya, bagian bawahnya terasa lembab—sebuah bukti bahwa mimpi itu bukan sekadar ilusi biasa. Matanya melirik jam di meja nakas. 06.30 pagi. Tidur semalaman pun tetap tidak bisa mengusir rasa lelah yang terus menumpuk. Elena mengusap wajahnya yang masih terasa panas, jantungnya berdetak cepat seakan tubuhnya masih mengingat setiap sensasi yang ia alami dalam mimpinya. Tangannya turun ke leher, lalu ke dadanya yang naik-turun dengan napas memburu. Aroma segar seperti dedaunan itu yang selalu tertinggal setelah mimpi masih terasa di hidungnya—aroma maskulin yang asing, namun entah bagaimana, terasa begitu akrab. “Brengsek...” gumamnya, menjatuhkan diri kembali ke tempat tidur. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail wajah pria itu, tapi seperti biasa, setelah bangun dari mimpinya sosok wajah pria itu menjadi buram dalam ingatannya. Hanya bentuk bibir dan tubuhnya yang kokoh, suaranya yang dalam, sentuhannya yang begitu nyata yang selalu tersisa dalam ingatannya dan aroma jejak yang pria itu tinggalkan. Elena menghela napas panjang. Selama lima bulan, mimpi ini terus menghantuinya. Setiap malam, tubuhnya terperangkap dalam kehangatan pria itu, tenggelam dalam gelombang gairah yang menguasai seluruh dirinya. Dan setiap pagi, ia terbangun dengan tubuh berkeringat, paha bergetar, serta rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Seluruh rangkaian kejadian aneh yang terus-menerus menghantuinya, mulai dari mimpi-mimpi yang begitu nyata dan menggoda hingga perasaan frustrasi yang semakin menumpuk setiap kali ia terbangun, semuanya mulai terjadi tepat setelah kepulangannya dari Kanada lima bulan yang lalu, seolah ada sesuatu yang tertinggal di sana, sesuatu yang masih berusaha menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Semua itu berawal saat ia bertabrakan dengan seorang pria asing di tengah festival musim dingin di Ottawa. Bukan wajah pria itu yang membekas, tapi aromanya—hangat, segar, dan maskulin, seperti sinar matahari yang menyinari padang rumput di musim panas. Aroma itu terus menghantuinya. Hadir dalam mimpi, terbayang dalam ingatan, dan tak mau hilang. Padahal ia bahkan tak tahu siapa pria itu. Lima bulan telah berlalu, tapi kesan itu justru semakin kuat.Mereka tiba di rumah sedikit lebih malam dari rencana semula. Perjalanan pulang memakan waktu lebih lama karena mereka sempat mampir untuk membeli perlengkapan liburan, beberapa pakaian berenang, tabir surya, dan camilan. Mobil berhenti perlahan di depan rumah. Langit mulai gelap, hanya tersisa cahaya oranye dari matahari yang hampir tenggelam. Ren turun lebih dulu dan membuka bagasi, mengangkat beberapa kantong belanja. “Banyak sekali yang kita beli,” kata Elena sambil ikut turun dari mobil. Ia mengambil dua kantong lainnya. Ren menoleh dan tersenyum. “Kau bilang harus siap untuk segala kemungkinan. Termasuk kalau tiba-tiba mau berenang di danau.” Elena tertawa kecil. “Kupikir kau akan menolak beberapa pilihanku tadi.” “Aku hanya ingin kau nyaman. Dengan melihat raut wajah betapa senangnya dirimu berbelanja tadi... menyenangkan juga,” balas Ren sambil menutup bagasi mobil. Mereka berjalan berdampingan ke pintu rumah. Suasana terasa tenang, hanya terdengar suara kantong belanj
“Apa Anda baik-baik saja, Miss Hadley?” tanya Audrey dengan nada khawatir. Wanita itu melirik Elena yang tampak lelah, sembari menyerahkan dokumen yang baru saja diperiksa. “Sejak tadi Anda terlihat tidak seperti biasanya… apakah Anda kurang sehat?” Elena menggeleng pelan, tersenyum tipis meski sorot matanya tampak sayu. “Aku tidak apa-apa, hanya sedikit kelelahan.” Sejak pagi, tubuhnya memang terasa letih. Sisa dari malam sebelumnya masih terasa di otot-ototnya, malam panjang yang mereka habiskan dalam kehangatan dan kedekatan penuh gairah. Setelah percakapan mendalam yang menenangkan hati, Ren tak membiarkannya pergi begitu saja. Lelaki itu mencurahkan perasaannya dengan cara lain: lewat sentuhan, belaian, dan kecupan yang tak henti-hentinya mengusik batas kendali Elena. Ren tetap menunjukkan kasihnya melalui kelembutan yang intens. Pria itu seolah bisa membaca setiap sisi bagian sensitif dari tubuhnya seperti lembaran kanvas kosong yang menyapunya dengan sentuhan halus penuh ran
Elena menutup matanya sejenak, membiarkan semua yang baru saja mereka bagi tenggelam dalam keintiman malam. Lalu, perlahan ia berbalik, kini menghadap Ren sepenuhnya. Wajah mereka hanya terpaut beberapa inci, dan cahaya bulan yang menyelinap masuk mempertegas garis lembut di wajah Ren, lelaki yang kini bukan lagi hanya sebuah misteri dalam mimpinya. "Apakah kau akan kembali ke Paris setelah satu bulan?" tanya Ren, suaranya terdengar pelan dengan nada yang mengandung ketidakrelaan. "Ya," jawab Elena sambil mengangguk pelan. "Itu pun jika seluruh pekerjaan di sini bisa diselesaikan tepat waktu dan tidak ada kendala yang berarti." Ren tidak langsung membalas. Pria itu hanya diam, sementara jemarinya perlahan memainkan helaian rambut Elena dengan gerakan lembut, seolah berusaha menenangkan kegelisahan yang diam-diam tumbuh di antara mereka. Setelah beberapa saat, Ren kembali bersuara. "Menurutmu… apakah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan baik?" Elena menatap mata Ren, men
Cahaya bulan yang lembut masuk lewat jendela, menerangi kamar dengan sinar temaram. Di atas tempat tidur, Ren memeluk Elena dari belakang. Tubuh mereka masih hangat setelah keintiman malam mereka. Malam terasa sunyi. Hanya suara burung hantu dari kejauhan dan angin yang berhembus pelan di luar jendela. Elena menggenggam tangan Ren yang melingkar di pinggangnya, erat, seolah tak ingin melepaskan Mereka tidak berbicara. Diam itu cukup. Dalam pelukan itu, mereka merasa tenang—seolah dunia hanya milik mereka berdua. Elena terus memainkan jemari Ren. Ia menyentuhnya pelan, menggulirkan jari di sepanjang telapak tangan itu. Sesekali ia meremasnya lembut, lalu meluruskan jari-jarinya satu per satu. Tangannya terasa hangat dan tenang. Elena seperti menemukan rasa nyaman hanya dengan menggenggamnya. Elena membuka mulutnya, hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepada pria di sebelahnya. “Apa kau bisa menceritakan sesuatu tentang dirimu?” tanyanya sambil membalikkan kepala, menatap pria it
"Percayalah... jangan takut, Elena," bisik Ren lembut di kening Elena yang sedikit berkeringat, bibir pria itu mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Ia merasakan tubuh Elena yang menegang di bawahnya dan berusaha memberikan ketenangan. "Aku akan melakukannya dengan perlahan, selembut mungkin. Percayalah padaku." Ren menatap mata Elena dalam-dalam, mata pria itu menyiratkan kejujuran yang mendalam. "Kau tahu, mungkin dalam mimpi-mimpi liar kita, kita sudah melakukan banyak hal hingga keintiman yang paling vulgar sekalipun. Tapi, menyentuhmu seperti ini, dan melakukan hubungan seksual adalah pengalaman pertama yang sesungguhnya bagiku juga, Elena. Kau adalah yang pertama bagiku untuk melakukan hal seperti ini." Dengan hati-hati, Ren mulai memposisikan penisnya di vagina Elena yang sudah basah. Ujung kepala penisnya yang besar dan keras menyentuh bibir vagina Elena, terasa begitu panas dan mengundang. Ren dengan sengaja menggesekkan kepala penisnya yang licin di se
Ren melepaskan tautan bibirnya dari puting Elena yang memerah, meninggalkan jejak basah yang berkilauan. Tanpa jeda, kepalanya merendah terus menurun, napas pria itu terasa panas menerpa kulit perut Elena yang menegang. “Ah!” Seru Elena dengan kaget, akibat tindakan pria itu. Tangan Ren telah membuka lebar kedua paha Elena yang gemetar, memperlihatkan dengan lebih jelas lubang basah miliknya yang sudah berdenyut tak sabar. Lubang vagina Elena terbuka dan tertutup dengan cairan menetes yang keluar dari lubang sempit itu. Mata Ren menggelap oleh hasrat saat ia menatap keindahan yang tersembunyi itu. Elena menutup wajahnya malu, karena dilihat begitu intens oleh Ren. “Cukup melihatnya.” “Sial, kau lebih basah dari sebelumnya,” setelah mengatakan kata-kata cabul tersebut pria itu langsung membenamkan wajahnya di antara lipatan-lipatan lembut yang sudah basah oleh cairan kenikmatan miliknya. Elena menggeliat di bawah sentuh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments