Share

Rubah Api ch. 10 : Api

Chapter 10 : Api

“Dia terlambat.”

Luc mengetuk jarinya ke kemudi mobil dengan tidak sabar. Aku mendongak sambil lalu, dan melihat jam. Setengah jam berlalu sejak kami sampai di sini, dan kembali membaca kertas penyelidikan kepolisian yang kucuri tadi siang. Tidak ada hal baru yang bisa kudapatkan. Setidaknya, dengan mengambil kertas penyelidikan mereka menggambarkan kondisi korban apa adanya.

“Kau dengar tidak?” ketus Luc tidak sabar. Aku menatapnya malas. “Telepon dia! Kau punya nomornya.”

“Aku tidak akan meneleponnya,” gumamku, lantas kembali membaca. Sekalipun tidak ada hal baru yang bisa kutemukan. Korban tetap terbakar habis, tetapi pakaiannya tidak. Luc kembali menggeram, dan aku menjatuhkan kertas itu ke pangkuan dan menatapnya tajam. “Dengar, Luc! Selama dia tidak mengaku, aku akan tetap berpura-pura tidak mengetahuinya.”

Luc mengerang. “Kenapa kau selalu membuat segala hal lebih rumit, Hyde?”

“Kenapa tidak menceritakan semua yang kau tahu sekarang saja?”

Dia menyugar rambutnya. “Aku tidak mau menceritakannya dua kali.”

“Kalau begitu tunggu!” bentakku kesal. Luc diam. Aku mengambil kembali kertas itu dan membacanya sambil lalu. Akan tetapi, tangan Luc tidak pernah berhenti mengetuk kemudi. Sialan. Aku sudah berbaik hati membiarkannya merampas mobilku, jadi berhenti membuat keributan. “Oke. Aku akan menghiburmu.”

Luc mengangkat sebelah alisnya. “Dengan apa?”

“Ceritakan saja sesuatu,” gerutuku. “Kau selalu punya sesuatu untuk diceritakan dulu.”

“Sesuatu untuk diceritakan, huh,” gumamnya. Dia menyandarkan diri ke kursi mobil dan merentangkan tangannya ke balik bahuku. Aku melirik tangannya, tetapi dia hanya tersenyum miring. “Itu pendekatan terbaik yang bisa kudapatkan setelah dua tahun terakhir.”

“Kau bisa melupakannya kalau mau,” ketusku.

“Yang benar saja,” gelaknya. “Aku selalu mencari waktu untuk bicara tentang gadis itu.”

Aku menatap Luc lekat-lekat. Tidak ada sorot bercanda di matanya. Hanya ada kabut yang tidak bisa kubaca. Matanya yang merah membalas tatapanku, dan pernahkah aku mengatakan Luc adalah lelaki yang tampan? Dia berkata Daniel adalah lelaki cantik, tetapi bagiku dialah yang menyerupai lelaki cantik. Dia memiliki pesona yang lebih tidak manusiawi. Sesuatu yang lebih agung. Sesuatu yang membuat seseorang kehilangan akal ketika terjerat pesonanya.

Luc memiliki sejumput misteri yang membuatnya terasa lebih seksi. Dia tidak memiliki bahu bidang seperti Daniel, atau tangan-tangan yang panjang, atau leher yang kencang. Dia tidak memiliki itu semua. Dia cenderung ringkih. Lebih kurus, tetapi aku tahu. Di balik kausnya itu ada dada bidang yang pucat, yang menunjukkan jalur kebiru-biruan. Tangannya yang kurus itu bisa melempar seorang tukang pukul ke sudut ruangan tanpa benar-benar mengerahkan tenaga.

Bibirnya yang pucat terasa menggoda. Aku penasaran, apakah dia hanya akan memberikan rasa dingin seperti mayat, atau kehangatan seperti seluruh ciuman yang pernah kurasakan? Aku segera membuang pikiran itu jauh-jauh.

“Kalau begitu, bicaralah!”

Luc memiringkan kepalanya. Aku bisa merasakan pesonanya melingkupiku. Setiap garis lehernya terasa begitu jelas di mataku. Rahangnya yang kuat. Kemudian bibirnya, bibirnya, dan bibirnya lagi. Aku merasakan dorongan kuat untuk mencium Luc. Pikiranku berkabut, tidak fokus, dan ... kemudian semua itu menghilang dalam satu jentikan jari.

Aku terbelalak, dan menjauhkan Luc yang tergelak.

“Brengsek, Luc!” bentakku. “Sudah kukatakan berkali-kali, berhenti melakukannya.”

“Kau berkata akan menghiburku,” katanya. “Itu adalah hiburan terbaik yang bisa kudapatkan darimu.”

“Aku yang bodoh karena menawarkanmu hiburan, Luc!”

Luc tergelak. Kerinduan menyeruak di benakku. Rasanya seperti kembali ke tahun-tahun kami yang damai. Aku merindukan saat-saat dimana kami saling tertawa saat menjalankan misi. Ketika Luc merampas mobilku, dan Gadis Rembulan akan tertawa terbahak-bahak dan menggodaku. Mengingat Gadis Rembulan membuat kesedihan menggebu di benakku. Aku membuang wajah ke jendela.

Mengerti akan perubahan sikapku, Luc berhenti tertawa. Keheningan kembali menyelimuti kami seperti tali-tali yang mencekik. Aku memang merindukan saat kebersamaan kami, tetapi saat-saat itu juga mengingatkanku pada dirinya, dan hatiku belum mampu mengendalikannya.

Kalau saja hari itu aku bisa menyelamatkannya. Kalau saja hari itu aku bisa menghentikannya. Kalau saja Luc tidak membunuhnya. Kalau saja kejadian itu tak pernah terjadi, apakah kita akan kembali duduk bertiga. Dengan Gadis Rembulan yang bermain ponsel sepanjang malam seperti remaja kebanyakan? Apakah dia akan mengeluh kelaparan di belakang sana?

Mataku terasa panas, dan memejamkannya.

“Hei, Hyde!” kata Luc ragu. Aku tidak mengalihkan perhatianku. “Tentang Gadis Rembulan itu ....”

Ucapan Luc terhenti ketika seseorang membuka pintu belakang dengan keras. Aku berbalik. Wajah gadis itu tetap tidak bisa kumengerti, karena dia tetap menggunakan masker. Akan tetapi, dari gerakan dadanya yang naik turun dengan cepat, aku tahu dia sedang panik. Dia segera menjatuhkan diri ke kursi.

“Adam Taylor,” katanya sembari terengah-tengah. “Dia akan memburunya.”

Luc mengumpat. Dia segera menyalakan mobil, dan segera meluncur cepat. Caranya berbelok yang serampangan membuat suara decit, dan aku serta Gadis Rubah terbanting ke pintu. Aku tidak memprotes, ketika akhirnya dia menginjak pedal gas dalam-dalam.

“Kau tahu dimana dia?” tanyaku tenang.

“Tentu,” desisnya kesal. “Sialan! Aku seharusnya tahu.”

Gadis Rubah menatap bingung.

“Jelaskan, Luc!” perintahku.

Dia tidak menunggu lampu merah, dan terus memacunya di jalan yang sepi. Dia menyalip mobil-mobil yang tersisa di jalanan, dan tidak menurunkan kecepatannya ketika berbelok. Aku melirik sekeliling, berharap tidak ada polisi yang mengejar kami. Akan tetapi, sekalipun mereka melakukannya, Luc pasti akan menggunakan pengaruhnya untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Makhluk itu mengambil jiwa-jiwa yang hampir terlepas dari tubuhnya,”  jelasnya tidak mau repot-repot melirik. “Begitulah dia melakukannya. Akan ada kecelakaan bus, Clarissa akan mati, tetapi kemudian tempat duduknya digantikan oleh Juliet, sekarang Adam. Nama itu baru saja muncul beberapa jam yang lalu, dan siapa pun orang itu memiliki akses melihat buku kematian.”

“Itu mustahil. Selain Malaikat Maut, tidak ada yang bisa melakukannya.”

Luc melirikku sinis. “Itu yang ingin kukatakan sejak tadi.”

“Maksudmu, orang yang membantu Rubah Api itu Malaikat Maut?” tanya Gadis Rubah hati-hati.

“Kemungkinan besar,” jawab Luc. “Hanya itu satu-satunya kemungkinan.”

“Akan tetapi, bagaimana dia melakukannya?” tanyaku heran. “Kalian memiliki peraturan yang ketat tentang mengubah takdir.”

“Dia tidak menggunakan tangannya sendiri. Makhluk-makhluk hidup memiliki kesempatan sendiri dalam mengubah takdir. Jika Rubah Api itu hanya membunuh manusia, tidak ada alasan bagiku ikut campur. Akan tetapi jiwa-jiwa itu tidak kembali. Itu menjelaskan kenapa dia membakar orang-orang itu hati-hati.”

Gadis Rubah itu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku tidak mengerti.”

“Makhluk itu membakar hanya tubuhnya. Dia sangat berhati-hati melakukannya, dan memerangkap jiwa itu dalam sesuatu. Kemungkinan besar batu malam. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya menggunakan jiwa-jiwa itu. Percayalah! Jiwa manusia tidak bisa membuat makhluk menjadi kuat.”

“Berarti lelaki itu menipunya sejak awal.”

“Mungkin.” Luc berbelok cepat, sehingga Gadis Rubah terlempar ke belakang. Dia berhenti di sebuah gang di antara restoran Prancis yang tidak bisa lagi dimasuki mobil, dan segera membuka pintu. “Dia ada di sana.”

“Orang-orang itu, kenapa mereka senang sekali ada di tempat sepi?”

Aku segera mengikuti Luc.

Ada teriakan dipenuhi rasa takut yang menggema di dalam. Saat itulah aku melihatnya, gadis itu lebih tinggi daripada Gadis Rubah di belakangku. Lebih kuat, serta lebih mengancam. Dia menjulang tinggi dengan api yang menjilat-jilat tubuhnya. Seluruh kulitnya berupa lahar panas, dan nadinya berwarna merah menyala. Setiap jengkal tubuhnya berupa api-api yang siap melahap, seolah api itu memiliki kesadaran sendiri untuk bergerak.

Matanya menyala-nyala, dan aku bisa melihat kebencian tak berujung yang ditampilkan di sana. Bajunya berupa gaun dari keliman api, menjuntai hingga lututnya. Kakinya berupa cakar-cakar tak beralas, dan di belakang tubuhnya ekor api meliuk-liuk seperti api unggun yang terlampau panas. Rambutnya panjang di balik punggungnya, dan menghilang seperti ujung api. Seluruh tubuhnya tak ubahnya seperti roh api berwujud dengan cakar, mulut yang tersenyum, dan kekejaman serta kebencian tak berujung di matanya yang membara.

Tangannya terangkat pada lelaki yang dengan menyedihkan terjatuh di tanah. Wajahnya pucat pasi, dan seluruh tubuhnya bergetar lumpuh. Keringat membasahi tubuhnya, dan kulitnya mulai melepuh.

“Hyde!”

Aku mengangguk, dan seketika itu juga seluruh sihir berdesir dari seluruh pembuluh darah. Gerakan itu begitu cepat dan familier di saat yang bersamaan, sehingga ketika merasakan dorongan kuat di ujung-ujung jari, aku membiarkan mereka meledak begitu saja. Asap hitam melayang-layang di sekitarku. Kemudian bergerak cepat. Dari udara yang kosong, aku bisa merasakan pegangan dingin busur panah, dan punggung anak panah di jemariku.

Aku tidak menunggu waktu lama untuk merasakan sensasi pembentukan itu. Anak panah sihir segera melesat ke sisi lain gang, dan hampir menancap di kepalanya. Makhluk itu menoleh cepat, dan melompat ketika merasa api-apinya tidak bisa membakar anak panah bentukanku. Luc melompat dengan kecepatannya yang mengagumkan dan mencoba untuk memukulnya. Dia seharusnya menggunakan senjatanya, tetapi Luc tidak terlihat akan melakukannya. Akan tetapi, dia lagi-lagi menghindar. Semburan panasnya terasa hingga sudut gang, dan Luc harus mundur.

“Pergi!” bentak Luc pada Adam yang terpaku.

Lelaki itu tersentak dari ketakutannya, lantas mencakar-cakar tanah. Gerakannya sarat keputus asaan, dia mencoba lari ke arahku. Gadis Rubah di belakangku masih terpaku. Kemudian makhluk itu menjerit membelah langit.

“Bantu dia!” perintahku padanya.

Gadis Rubah itu menganguk terkejut, kemudian mencoba mendekatinya. Gerakannya terlalu lambat, begitu terlihat tidak kompeten dan tidak pernah melakukan pertarungan sebelumnya. Aku mencoba membantunya dengan anak-anak panah, tetapi Rubah itu terlalu cepat. Dia melompat, dan menyemburkan api-api untuk menghalau Luc.

“Sialan!” bentakku. Dua orang itu masih tertatih-tatih menjauh. Luc—sekalipun dia Malaikat Maut, serangan makhluk itu ternyata berefek padanya—kesulitan mendekat. Hanya panahku yang efektif menembus apinya, tetapi gerakannya terlalu cepat. Dia melompat dari satu tempat ke tempat lain, dan kami tidak bisa bergerak seleluasa itu. “Cepat!”

Teriakanku menarik perhatian si Rubah Api. Dia berlari begitu cepat, dan segera menerkam Adam begitu saja. Mereka berguling dan Rubah Api itu terlempar tempat sampah restoran Prancis sembari menjerit ngeri. Sialan.

“Hyde! Jangan!”

Aku mengabaikan teriakan Luc, dan melompat pada Rubah Api. Gadis itu mengayunkan ekornya seperti cambuk yang mengerikan, dan aku kehilangan pijakan untuk menghindar. Aku menangkisnya dengan cambuk, tetapi tidak memiliki apa pun untuk bertahan dari hantamannya. Rasa sakit berdenyut-denyut di punggung dan kepalaku.

Kepalaku berkunang-kunang. Aku bisa merasakan hangat darah menurun dari belakang kepala. Mahkluk itu menatapku sinis, dan memberi menyemburkan api pada Luc yang hendak mendekat. Begitu pula dari semua sisi, dan mengisolasi mereka berdua dari kami semua. Dari sisi tempat sampah, Gadis Rubah itu tidak kelihatan akan keluar, dan Adam dalam bahaya besar.

“Hentikan!” bentakku padanya, tetapi hal itu malah menjadi motivasinya. “Jangan!”

Adam terbakar dengan lolongan yang membelah langit. Seluruh tubuhnya mulai hangus dari ujung-ujung jarinya. Dia mencakar-cakar tanah, dan mencoba melarikan diri. Akan tetapi api itu tidak pernah padam. Di tangan makhluk itu, bola yang berwarna hitam pekat mulai membara. Seperti bola meteor yang mengerikan. Api itu mulai membakar Adam yang berguling-guling perlahan, dan semakin dai terbakar habis bola hitam itu semakin terang benderang.

Aku memaksakan diri bangkit, tetapi yang bisa kulakukan adalah tertatih-tatih. Darah semakin menetes-netes di balik punggungku. Seperti air hujan yang panas, dan pening mulai menggerogoti kesadaranku.

Adam melolong untuk yang terakhir kalinya dan seluruh terbakar habis, hingga meninggalkan sisa seragam kerjanya yang utuh. Makhluk itu tersenyum puas, sementara wajahku pucat pasi.

Hanya sesingkat itu. Dia membakarnya hanya adalah beberapa detik. Api-api menjilat dan menjilat dan menjilat. Menghanguskan tubuh tanpa bisa dipadamkan. Tidak dengan tanah, tidak dengan apa pun. Sementara aku hampir kehilangan kesadaranku di sini. Pemburu Artemis macam apa aku yang tak bisa menyelematkan satu orang lagi?

Aku membiarkan amarah meledakkan sihir. Gelombang hitam sihir meledak di tangan, dan aku bisa telah bersiap membidikkan anak panah.

“Lari!” teriak Luc terasa begitu jauh.

Rubah Api itu menyeringai. Tangannya terangkat padaku seolah siap menyambut anak panah, atau membakarku. Desisan api terdengar di tangannya. Dan aku siap melesatkan anak panah. Sayangnya pandanganku yang berkunang-kunang tidak membuat bidikanku lebih baik. Anak panah itu melesat lambat, menggores bahunya, menancap pada dinding di belakangnya sebelum menghilang kembali menjadi debu-debu hitam. Aku terengah-engah sihir surut dan seluruh tubuhku terasa berat.

“Kau seharusnya tidak kemari, Pemburu Artemis. Gadis itu seharusnya tidak pernah memihakmu, dan sekarang tidak akan ada lagi yang menghalangiku membunuh seluruh keluarganya.”

Suaranya menggema seperti jeritan burung-burung. Aku tidak bisa menangkap mana suaranya yang asli, sementara desisan api itu semakin kencang. Dia akan membakarku, entah apakah jiwaku akan kembali ke Negeri Orang Mati atau tidak. Intinya aku akan tetap mati.

Rasa panas memanggang kulitku, tetapi kemudian seseorang memelukku dari kehampaan. Luc melompat dengan teleportasinya yang rumit, dan memelukku. Melindungiku secara protektif dari api yang menjilat-jilat. Tangannya yang panjang membenamkan wajahku ke dadanya. Lompatannya dari teleportasi membuatku terhuyung, terduduk ke tanah.

Aku menghintung dengan menggunakan dentum jantungku yang gila-gilaan. Kami akan mati bersama? Kenapa dia melakukannya?

Ketika kupikir kami akan mati. Suara seseorang terdengar dari api. Sebuah motor melompat dari api-api yang melingkari kami. Seluruh gerakan itu sangat cepat. Dalam waktu yang sama aku terkejut dengan dua hal. Luc yang melindungiku dengan amat protektif, dan Daniel yang melompat dari api menggunakan motornya dan menabrak Rubah Api itu hingga terpental.

Daniel membuka kaca helmnya. “Kalian tidak apa-apa?”

Tubuhnya tidak terbakar sama sekali.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status