Share

Rubah Api ch. 2 : Kedatangan

Black Stone High School tampak seperti beberapa bangunan berbaris yang dijadikan sekolah. Mereka tidak memiliki gedung berlantai dua, sehingga sekolah ini terlihat luas dengan dinding yang mengitarinya masih baru. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya, karena Black Stone bukanlah kota besar. Aku harus melewati hutan tak berkesudahan selama dua jam. Jalan yang berkelok-kelok dan curam membuat kota ini semakin terpencil. Sebuah kota yang tepat untuk hidup sebagai makhluk supernatural yang tersembunyi.

Cahaya terasa terik meskipun ini masih pagi. Tempat parkir masih sedikit terisi. Diisi oleh mobil-mobil cukup tua, hingga membuat mobilku tampak mencolok. Haruskah aku membeli mobil yang lebih membaur? Sebaiknya tidak. Aku tidak ingin membuang uangku hanya untuk berbaur.

Pagar besi itu berbau karat dan kelupas cat lama. Dinding-dinding berbata merah itu berbau lumut. Aku turun dari mobil dan menyibak rambut. Hawa panas bukanlah favoritku, tetapi memulai hari di pagi yang cerah tetaplah lebih baik. Lagi pula, angin di area ini sangat sejuk, jadi secara keseluruhan aku menyukai tempat ini.

“Kalau saja aku tidak berkali-kali memasuki SMA, ini pasti hari pertama yang menyenangkan.”

Saat aku berjalan ke arah kantor staff, siswa-siswa menatap penasaran. Selalu begitu di setiap tempat. Orang-orang yang jarang kedatangan orang baru, kecuali mereka yang telah lahir dan tinggal di sini. Selain itu, ada kejadian yang tak mengenakkan. Tentu saja mereka akan langsung penasaran.

Ngomong-ngomong kejadian, aku berhenti di majalah dinding. Ada kertas berita yang dipajang tanpa izin. Headline ‘Apa yang terjadi pada Black Stone yang damai?’ terpasang besar. Ditambah dengan foto amatir korban kebakaran yang disensor. Serta banyak tulisan yang menarik. Aku tersenyum tipis. Para remaja di sini bagus juga.

Jadi, biar kulihat apa yang mereka tulis. Gadis tak berdosa kembali terbunuh. Kali ini korban tidak menghilang atau tercabik-cabik seperti biasa, tetapi terbakar hingga habis. Apakah ini ada kaitannya dengan makhluk yang dilihat para pemancing di hutan?

“Ada yang melihat makhluk itu di hutan,” gumamku.

“Jangan percaya tulisan itu!” tegur seseorang di belakangku. Suaranya begitu dekat, hingga napasnya terasa hangat di tengkuk. Aku terlonjak. Sial, bagaimana aku tidak menyadarinya? “Oh! Maaf, aku mengejutkanmu?”

Lelaki itu mundur selangkah. Namun karena badannya yang besar, perbedaan satu langkah itu tidak membuat segala hal lebih baik. Rambutnya coklat gelap, seperti pohon tua, dan sedikit lebih terang di setiap ujungnya, agak panjang daripada kebanyakan lelaki dan sedikit ikal. Matanya seperti coklat panas yang penuh energi. Berkilat demi mengimbangi senyum jahilnya. Pandangannya menilai sekilas, kemudian kembali pada mataku. Hidungnya mancung, agak bengkok di depan. Wajahnya diwarnai sedikit bintik yang manis, sementara kulitnya putih.

Lehernya agak terlalu panjang tetapi kencang. Bahunya lebar, tidak membungkuk, dan dari kausnya yang tipis tampak dipenuhi otot. Aku tidak akan terkejut jika diberitahu dia adalah punggawa suatu olah raga. Dia cocok untuk itu. Tangannya panjang dan tampak kuat. Begitupula kakinya. Pakaian yang digunakannya hanyalah celana jeans dan kaus berlengan pendek, tetapi terlihat bagus karena mereka mengekspos seluruh keunggulan lelaki ini. Sepatunya berwana hitam, dengan tali yang bisa lepas kapan saja. Tas yang dibawanya menggantung serampangan.

Saat tahu aku sedang mengamatinya, dia tersenyum lebar. Bagus. Sepertinya aku tahu bagaimana orang ini dipandang rekan-rekannya.

“Kau murid baru itu, ya?” tanyanya. Aku mengangguk, sembari membenarkan tas punggungku yang melorot. “Sudah tahu kelasmu yang mana? Ingin kuantar? Oh benar, namaku Daniel Steel. Panggil saya Danny.”

“Aku Hyde. Hydenia,” aku menjilat sudut bibirku. Selalu tidak menyenangkan memperkenalkan diri menggunakan nama belakang. “Scott.”

“Hyde,” ulangnya sembari mengangguk. “Sekolah ini cukup luas. Aku bisa mengantarmu ke kelas. Di mana kelas pertamamu?”

“Aku belum ke kantor staff,” jawabku acuh. “Dan aku bisa membaca petunjuk jalan. Jadi, kau tidak perlu repot.”

Kukira Daniel akan menyerah, tetapi dia malah menyeringai lebar. “Nah, bukankah lebih senang jika kau ada teman.”

Mataku memicing. Mulai jengkel dengan semua ini. Mereka selalu sama, dan didekati orang yang kemungkinan populer di sebuah sekolah bukanlah hal yang bagus. Aku ingin fokus dengan penyelidikanku, dan berdasarkan pengalamanku, memiliki seseorang seperti Daniel yang mendekatiku tidak akan berjalan bagus.

Aku menyilangkan tangan dan mengganti tumpuan kaki, lantas melihatnya dengan tatapan paling skeptis yang kumiliki.

“Dengar, Steel!”

“Danny,” koreksinya tidak peduli.

“Okay, Danny. Aku tidak perlu teman, dan sejujurnya orang sepertimu bukanlah orang ingin kujadikan ‘teman’. Aku tahu kau penasaran dengan anak baru, tetapi kurasa tidak ada gunanya mendekatiku.”

Daniel tersenyum miring. Tidak termakan ucapan pedasku. “Itu benar tentang penasaran pada anak baru. Kota ini bukan destinasi yang tepat untuk hidup remaja. Tentu saja kami penasaran, pelarian seperti apa yang masuk ke kota ini.”

Aku mengangkat sebelah alis. “Dan?”

“Aku ingin menyapa,” katanya sembari mengangkat bahu. “Aku lebih baik dari pada orang-orang lain.”

Daniel menunjuk beberapa siswa lelaki yang baru datang di balik bahunya. Mereka tampak saling bergermbol dan mencuri pandang. Orang-orang yang mencoba mencari peruntungan dengan anak baru. Tentu saja itu terjadi di banyak tempat.

“Apa maksudmu dengan kau lebih baik?”

“Percaya padaku. Teman-temanku sudah berspekulasi banyak sebelum ini. Seperti yang kukatakan, mereka yang kemari sebagian besar adalah pelarian. Tidak jarang seorang pecandu lari ke sini setelah dikeluarkan dari sekolahnya.” Dia tersenyum. Sekarang senyumnya hanya diisi keramahan tanpa niat terselubung. “Aku hanya tidak ingin kau ditanya-tanya.”

“Terima kasih,” kataku tidak bisa menahan diri. Kebaikannya begitu manis sehingga sulit untuk tidak menyukainya. “Akan tetapi, kau tidak perlu melakukannya.”

Dia mengangkat bahunya. “Tidak masalah. Kalau kau ingin bertanya sesuatu ....”

“Tidak. Tidak perlu,” tolakku segera. Akan tetapi, mataku kembali tertuju pada kertas berita di majalah dinding. “Ada apa dengan itu?”

Daniel menampilkan wajah terkejut, lantas tertawa. Tawanya sangat menyenangkan untuk didengar. Rasanya memang tidak bagus untuk berteman dengannya. Dia seperti pangeran dari negeri dongeng yang diberi nyawa. Tentu banyak sekali yang menyukainya.

“Ini pertama kalinya seorang gadis bertanya hal mengerikan seperti itu.”

“Aku penasaran,” kataku. Lantas menunjuk kalimat tentang menemukan makhluk saat sedang memancing. “Apa yang terjadi padanya?”

“Yang itu hanya rumor. Kau tahu? Dari mulut ke mulut. Sebaiknya jangan terlalu mempedulikannya. Rumor selalu dibesar-besarkan,” jelasnya dengan senyum jahil yang lucu. “Dan yang ini, gadis ini benar-benar terbakar. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia sudah ditemukan terbakar oleh orang yang lewat. Dugaannya seseorang dendam dengannya, dan yah ... kau tahu? Seseorang terkadang bisa gelap mata.”

“Tetapi orang yang menghilang dan tercabik-cabik?”

“Kota ini dikelilingi hutan. Kami tidak tahu apa saja yang ada di hutan, kan?”

“Kau benar,” gumamku, sembari meletakkan tangan di bawah bibir. “Tidak ada yang tahu apa saja yang ada di dalam hutan.”

Daniel menunduk sembari menyeringai jahil. “Sudah menyesal pindah ke mari?”

“Yang benar saja,” gerutuku. “Oke. Terima kasih informasinya.”

“Mau kutunjukkan kelasmu?”

“Tidak,” ketusku membuat Daniel tertawa.

“Kau memang unik, Hyde. Nah, aku tidak akan memaksamu lagi. Mari bertemu lagi nanti.”

Mari bertemu lagi?

Tentu saja kami akan bertemu lagi. Aku mendesah lelah saat akhirnya selesai dengan semua berkas administrasiku. Guru yang sudah mengajar tampak kesal, tetapi dia memberiku kesempatan untuk lepas sekarang. Lagi pula bukan salahku terlambat. Petugas Staff menanyaiku macam-macam tentang kehidupan dan sebagainya. Agaknya, beliau memastikan aku bukan pecandu yang baru selesai rehabilitasi. Ternyata Daniel tidak bohong, juga tentang bertemu lagi.

Orang itu sudah tahu kita akan sekelas, karena itulah dia mengatakannya. Daniel tampak tersenyum lebar dan melambai padaku. Sehingga aku membuang muka, tetapi kemana pun aku menatap semua orang melihatku penasaran. Mereka pasti merasa aku tontonan yang menyenangkan. Sudahlah. Aku segera duduk di kursi nomor tiga yang tersisa.

Teman sebangkuku tersenyum malu-malu. Dia gadis dengan kepang ke samping yang indah. Rambutnya tebal dan hitam sehingga model rambut itu sangat cocok untuknya. Matanya kecil, pipinya sedikit chubby, tetapi tangannya pendek. Dia menggunakan baju yang sedikit kebesaran, tetapi tampak manis untuknya.

“Hai!” sapanya. “Aku Naomi Brown.”

“Hydenia,” balasku singkat. Dia memberikan bukunya padaku. “Trims.”

Dia tersenyum sebelum kembali menghadap ke depan. Ternyata aku memiliki teman sebangku yang menyenangkan. Sepanjang jam pelajaran itu, alih-alih berkonsentrasi penjelasan Kromosom di depan, aku lebih memikirkan tentang kasus terbakar itu. Aku sudah menduga tentang kota ini tidak hanya bermasalah dengan orang yang terbakar itu, tetapi tercabik-cabik dan menghilang? Seberapa sering? Sebelum peristiwa Gadis Rembulan itu terjadi, ada banyak orang menghilang di kota itu. Karena itulah kami ditugaskan di sana.

Lalu di kota ini, apakah pelakunya ada di sini?

Aku menggigit bibir gugup, lantas berjengit ketika bel pergantian kelas berbunyi. Sebaiknya aku memikirkannya nanti. Aku bangkit, meminta lembar tanda tangan yang harus kukumpulkan nanti, lantas pergi ke luar kelas sebelum seseorang mengekoriku.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status