Share

Rubah Api ch. 3 : Korban ke Dua

Ada korban ke dua.

Aku berdesak-desakan di antara para penonton yang penasaran. Para polisi mencoba mendorong kerumunan untuk mundur dan memasang garis polisi. Beberapa orang tengah memotret mayat itu dari dekat, bukan para wartawan, mereka melakukannya di belakang garis polisi sembari mencondongkan tubuh sebisa mungkin untuk mendapat gambar yang lebih baik. Beberapa yang lainnya mengejar polisi yang keluar dari garis, mencoba mengorek informasi sebanyak mungkin.

Dilihat dari kebingungan mereka, para polisi belum menemukan petunjuk apa pun. Aku menatap mereka skeptis. Bukan bermaksud jahat, tetapi hal ini memang tidak berada dalam jangkauan kalian. Orang-orang saling membisikkan ketakutan, kemungkinan, dan spekulasi. Tidak banyak yang berarti. Hanya sayup-sayup tentang apakah Kuda Setan itu yang melakukannya.

Aku sudah mendengar tentang Kuda Setan itu beberapa kali. Dia adalah legenda yang ada bahkan lebih tua dari kota ini sendiri. Konon kuda itu tinggal di seluruh hutan demi menjaga kota ini, dan/atau menghukum para pengacau. Aku belum mengecek kebenaran itu. Beberapa menganggap Kuda Setan itu jahat karena menyesatkan orang, beberapa menganggap dia baik karena merasa hanya menghukum mereka yang salah.

Bagiku, tidak ada bedanya. Mau dia baik atau tidak, mereka yang berpotensi mengumbar keberadaan makhluk supernatural perlu dibereskan.

Mayat itu sendiri benar-benar terbakar. Mereka tidak bohong tentang baju atau apa pun selain tubuhnya utuh. Tidak tersentuk api sama sekali. Sebaliknya api itu membakar habis setiap kulit dan jaringan tubuhnya. Hampir menghanguskan tulangnya. Hanya menyisakan keriput hitam kering yang mengerikan. Mayat itu ditemukan tidak lama, masih ada sisa-sisa bau terbakar dan asap yang terasa mengerikan.

Beberapa orang melihat sekilas kemudian wajahnya memucat, lantas mundur sembari menutup mulutnya hendak muntah. Ini memang bukan pemandangan yang bagus untuk dilihat setelah makan malam. Kalau ini terus berlanjut, FBI pasti segera dilibatkan. Aku harus menyelesaikannya sebelum itu.

Sekilas, aku bisa merasakan seseorang memperhatikanku. Oleh karena itu, aku segera mengedarkan pandangan dan bersirobok dengan seseorang yang menutup mulutnya menggunakan masker serta menggunakan tudung jaket di sisi lain kerumunan. Sekilas, darah terasa berdesir cepat. Aku sudah hidup cukup lama untuk mengetahui reaksi tubuh, dan percaya pada instingku.

Orang itu tiba-tiba berbalik. Tidak ingin kehilangannya, aku segera menembus keramaian dan menyebabkan orang-orang bersumpah serapah. Siapa pun orang itu telah pergi saat aku sampai ke sisi lain kerumanan. Aku menatap sekeliling. Di antara lautan manusia ini, sangat sulit untuk menemukannya ... tidak juga. Orang itu berdiri di bagian belakang kerumunan seolah menungguku.

“Tunggu!”

Aku menyenggol beberapa bahu, hingga akhirnya bisa melompat keluar dari kerumanan. Orang bertudung itu berlari ke sisi gang yang lebih dalam. Ini bisa jadi jebakan, tetapi satu-satunya petunjukku adalah orang itu. Sehingga, tanpa membuang waktu, aku segera berlari mengejarnya.

Dia tidak berlari terlalu kencang. Bahkan sesekali menoleh ke belakang, seolah memastikan aku mengikutinya. Suara keramaian semakin jauh di belakang sana. Aku segera mengejarnya ketika berbelok, dan menemukan dirinya berdiri menghadapku. Matanya berwarna merah terang seperti sudut api. Bau bara api terasa pekat, padahal di sekitar kami terasa lembab dan dipenuhi aura sampah.

Aku menunduk, refleksku ketika siap bertarung, dan membiarkan gelenyar sihir berkumpul di tanganku. Anak panah? Pedang? Belati? Kurasa belati cocok untuk sekarang. Aku tidak tahu apakah dia bisa membakarku dari jauh, tetapi aku tidak yakin bisa memanahnya sekarang. Dengan medan pertempuran sesempit ini.

 “Apa yang kau inginkan?” tuntutku. “Sepertinya kau sudah tahu siapa aku.”

“Pemburu Artemis,” katanya lirih. Dia segera mendongak. Tatapannya beralih dariku menjadi sesuatu di belakangku. Suara gemersik terdengar, dan seketika orang itu segera berbalik. “Aku akan segera menemuimu.”

“Tunggu!”

Dia berlari ke sudut dinding dan melompat dengan lincah. Tangannya meraih anak tangga darurat terbawah yang digantung ke lantas dua, sebelum menarik dirinya. Gerakannya begitu cepat sehingga hanya perlu dua lompatan kuat baginya untuk melompat ke lantai tiga gedung itu, dan memasuki jendela. Aku berdecak. Dia kabur.

Ketika ingin mengejarnya, aku dikejutkan dengan seseorang yang telah menangkap pergelangan tanganku. Belum sempat menyentaknya, orang itu berkata, “Wow ... Relaks, Hyde. Ini aku!”

Hal yang lebih mengejutkanku bukanlah kehadirannya yang tiba-tiba, melainkan bagaimana sentuhannya menghilangkan gelenyar sihir yang ada di telapak tanganku. Aku mendongak dan menatapnya menuntut.

“Daniel! Apa yang kau lakukan di sini? Lepaskan tanganku!”

Daniel mengangkat kedua tangannya tanda menyeras sekaligus menuruti perintahku.

“Semua orang penasaran,” jawabnya santai. “Aku yang seharusnya bertanya padamu, aku melihatmu terburu-buru mengejar sesuatu. Itu kan berbahaya. Bisa jadi pembunuhnya masih ada di tempat ini.”

“Aku akan baik-baik saja,” gumamku. Aku menatap tempat orang itu melompat masuk. “Tidak ada apa-apa.”

“Tidak ada apa-apa?” ulangnya tidak percaya. “Hyde! Kau tidak ada hubungannya dengan pembunuh itu, kan?

Aku menatap Daniel tepat pada matanya. Biasanya melakukan hal itu akan membuat kebohonganku lebih meyakinkan. Kemudian berkata, “Tidak. Apa aku terlihat seperti orang gila yang akan membakar orang sembarangan? Kalau iya, bagaimana aku membakarnya? Menggunakan air liur?”

Daniel memutar bola matanya. “Bukan sebagai pelaku, Hyde. Kau tahu apa kau mengejar orang yang mencurigakan, atau bagaimana, kalau iya, jangan langsung mengejarnya, dan beritahu ayahku saja.”

“Ayah?”

“Sheriff.”

“Benar,” gumamku. “Aku seharusnya bisa menebaknya.”

Daniel tertawa dengan manis, dan itu sungguh mempesona. Sebagai remaja abadi, aku tentu saja memiliki hormon remaja abadi, dan menyukai seseorang adalah hal yang menyenangkan. Daniel, menjadi dirinya yang menyenangkan, adalah orang yang akan dengan mudah membuatku jatuh hati. Kalau saja, aku tidak pernah mengalaminya—berkali-kali—sebelum ini dan berada di tengah kerumitan makhluk supernatural, aku pasti tidak akan keberatan dekat dengannya. Seperti yang dilakukan semua gadis.

Tidak seharusnya aku memikirkan hal itu sekarang. Aku melihat ke arah kerumunan orang-orang yang mulai meninggalkan tempat kejadian perkara, dan sayup-sayup aku bisa mendengar suara ambulan menjauh. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyelinap ke kamar mayat, dan mencari sesuatu? Lagipula orang itu pasti sudah pergi jauh. Percuma untukku mengejarnya sekarang.

Aku menyisir rambut yang kusut dengan jemari, dan mulai berjalan ke luar gang bersama Daniel yang menyejajariku.

“Nah, sepertinya aku akan pulang saja.”

“Mau kuantar?”

“Manis sekali.” Aku tersenyum pada tawarannya. “Tapi tidak, terima kasih.”

“Ini sudah malam, dan pembunuh itu mengincar gadis yang berjalan sendiri,” ucapnya penuh kekhawatiran. Rasanya manis dikhawatirkan seperti ini, karena meskipun Daniel merasa dia lebih kuat, sebenarnya yang memiliki kemungkinan menjadi korban yang lebih tinggi adalah dirinya.

“Dua pembunuhan tidak bisa disebut pola. Bisa jadi dia tidak hanya menargetkan gadis yang pulang sendiri. Bisa jadi laki-laki, orang tua, anak kecil, siapa pun yang kebetulan bertemu dengannya dan sendirian.”

“Tetapi dua orang ini jelas gadis yang sedang sendirian, kemungkinan kau diserang lebih besar.”

Aku mengerti  tentang kekhawatirannya, tetapi kekeras kepalaannya membuatku sedikit jengkel. Aku berhenti, melipat tanganku, tersenyum miring, dan menatapnya sungguh-sungguh.

“Katakan padaku, Daniel! Kau ingin mengantarku karena khawatir tentang keselamatanku, atau karena kau ingin tahu apartemenku?” Wajah Daniel sedikit memerah. Campuran antara tersinggung dan malu. Rupanya dia benar-benar hanya mengkhawatirkanku. Aku jadi sedikit merasa bersalah karena menyerangnya seperti itu. Aku menepuk bahunya dan tersenyum. “Aku akan baik-baik saja. Okay? Jangan khawatir!”

“Tapi ....”

Perdebatan ini tidak akan berakhir. Sehingga, belum sempat Daniel menjawab aku telah mundur, melambai, dan segera berlari pada arus manusia yang mulai menipis. Di belakangku, aku bisa merasakan tatapan Daniel masih mengikutiku. Dia benar-benar manis. Aku tidak pernah bertemu seseorang yang benar-benar mengkhawatirkanku sebagai gadis. Senyum yang tampan itu terbesit di pikiranku, tetapi aku segera mengenyahkannya bagai serangga pengganggu.

Sial. Aku tidak bisa terlibat percintaan picisan di saat genting seperti ini. Akan tetapi, Daniel tetap tidak bisa keluar dari pikiranku, bahkan ketika aku kembali ke apartemen. Aku menatap telapak tanganku, sihir kembali berdesir ketika aku memanggilnya, lantas sihir itu memadat. Perlahan-lahan sihir itu keluar dari pori-pori telapak tangan seperti butiran debu halus berwarna hitam. Debu-debu itu bergerah, berdesir, memutar, melayang-layang, kemudian membentuk.

Mereka saling menguatkan satu sama lain, lantas membentuk benda sesuai dengan pemikiranku. Mulai dari ujung belati yang tajam dan berkilat, hingga gagangnya yang dingin, seolah terbuat dari baja. Tidak perlu waktu lama, sihirku telah membentuk belati kecil yang melengkung dengan mata pisau yang tajam. Genggamannya terasa mantap di tanganku, seperti yang seharusnya.

Akan tetapi, bagaimana sihirku tadi menghilang saat Daniel menyentuhnya? Apakah aku menghilangkan sihirku tanpa sengaja ketika mendengar suara gemersak di belakangku? Kemungkinan ke dua cukup tinggi, terkadang tubuhku bergerak tanpa kusadari. Akan tetapi, Daniel jelas membingungkan. Tadi siang dia tiba-tiba berada di belakang, dan tadi, kalau saja bukan karena suara dan padangan orang itu, aku pasti tidak menyadarinya.

Dan orang bertudung itu. Siapa dia? Apa yang diinginkannya? Aku tidak terkejut bisa makhluk supernatural mengenaliku, tetapi ingin bicara? Pelaku tidak pernah mengajakku bicara. Jangankan mengajak, dia bahkan lebih sering menyembunyikan dirinya. Makhluk yang mengajak bicara biasanya untuk meminta bantuan, dan hal itu membuat segala hal lebih mudah, karena biasanya mereka memiliki informasi yang kubutuhkan. Hanya saja tidak cukup kuat untuk menyelesaikannya sendiri.

Apa pun itu, aku hanya bisa menunggu orang itu menemuiku lagi, dan semoga saja kami berada di pihak yang sama.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status