“Sudah aku duga kau akan menanyakannya, Aruna. Aku tak salah memilihmu sebagai murid.” Legawa kembali menepuk pundak Aruna yang tersenyum sebab sebentar lagi mengetahui jati diri gurunya.“Jadi apa kau benar-benar seorang pangeran, Guru?” tanya Aruna berbinar-binar. Legawa hanya tertawa hingga wajahnya mendongak mendengar tanya muridnya itu.“Bagiku itu sudah tak penting lagi, Aruna.” Legawa melangkah menjauh dari makam Sanggageni. Kedua tangannya sibuk menyibak ilalang demi mendapatkan jalan yang bisa dilalui. Pria itu berhenti manakala dataran sudah menurun.“Apa itu begitu berat, Guru? Maaf menanyakan hal ini. Padahal kau sudah mengatakan kita berdua punya kemiripan,” ucap Aruna setengah menyesali. Namun Legawa menggeleng dan masih tetap menyunggingkan senyum. Pertanda pertanyaan Aruna tak menjadi soal untuknya.“Sena Merhaba, kakek tirimu yang bergelar Kertajaya itu, dia lah yang menghancurkan segalanya,” ucap Legawa sendu. Matanya nanar menghadap bentangan ilalang di hadapan mere
Kabut tipis entah dari mana datangnya mulai menutupi pandangan. Bermula dari puncak tiga gunung yang menghilang, hingga pandangan ke telapak tangan sendiri pun mulai kabur. Tak ada yang bisa dilakukan Aruna selain berdecak kagum. Sedang bagi Legawa, ia sudah beberapa kali melihat Ghanaswara dilakukan.“Luar biasa,” decak Aruna.“Ini belum seberapa. Di titik terkuatnya kau bahkan tak mampu melihat ujung hidungmu sendiri,” timpal Legawa sembari tersenyum. Lelaki itu bersedekap tak bergerak, karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Aku tak menyangka selain ilmu pengobatan, Ki Bayanaka menguasai ilmu sehebat ini!” puji Aruna lagi. Ia sama sekali tak tahu bahwa di balik sosok bersahaja itu terdapat Ghanaswara yang begitu kuat.“Di Rakajiwa kau tak boleh hanya mengandalkan satu ilmu, Aruna. Meski mahir di pengobatan, ilmu kanuraganmu tak boleh kosong begitu saja. Biasanya ada yang lebih menonjol di antara keduanya,” terang Legawa.“Ya, aku mengerti, Guru,” ucap Aruna singkat. Pemuda itu mena
Ki Bayanaka memejamkan mata. Wajahnya memerah pertanda tengah mengalirkan tenaga dalam jumlah besar. Telapak tangan kanan di dada Aruna perlahan menghangat. Tubuh putra Arya dan Jenar itu bergetar seperti tengah dirasuki sesuatu. Namun ia sama sekali tak merasakan sakit.Legawa yang mulanya memperhatikan muridnya dan reaksi yang diterima. Namun kemudian ia lebih memperhatikan wajah dan tubuh Ki Bayanaka yang kian melemah. Telapak tangan pria tua itu kini memendarkan cahaya biru yang segera diserap oleh tubuh Aruna.Sebuah sentakan mengakhiri perpindahan energi itu. Membuat tubuh Aruna terpental sedikit ke belakang. Sedang tangan kanan Ki Bayanaka segera luruh ke pembaringan. Pria tua itu tak lagi bergerak. Tak ada pula gerakan dada karena tarikan napas.“Kakanda!” seru Legawa sembari memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kakak seperguruannya itu.“Ki!” Aruna segera menghambur turut memeriksa kondisi kakek angkatnya. Hanya menyaksikan wajah Legawa saja ia sudah tahu bahwa Ki Baya
Tatapan mata Jenar mendadak kosong. Jemarinya bergetar, tampak saat menyeka rambut yang menjuntai ke wajah. Setelahnya ia hanya duduk untuk beberapa masa. Entah apa yang ia pikirkan. Sedang Patih Danapati terus menunggu sepatah kata yang keluar dari mulutnya.“Akhirnya dia mati juga,” lirih Jenar.“Apa yang harus kita lakukan, Gusti?” tanya Patih Danapati.Jenar menoleh kepada patihnya itu. Matanya kembali terisi oleh kebencian dan hilangnya simpati. “Kau tak bisa menemukan dia, bukan? Maka hentikan pencarian dan nyalakan kembali api itu?” titahnya.“Api Cundhamani? Bagaimana mungkin aku mendapatkan api itu?” tanya Patih Danapati.“Bodoh!” potong Jenar. “Siapa yang tahu itu api Cundhamani atau bukan? Api itu hanya simbol Astagina dilindungi kekuatan Arya. Nyalakan kembali, terserah dengan api apa!” titahnya.“Sendika, Gusti!” sahut Patih Danapati.Lelaki itu segera meninggalkan raja sekaligus sepupunya itu. Entah sudah berapa kali ia merasa tak dihargai seperti ini. Rasa sesal menerim
“Apa kita bisa ke bawah sana, Guru?” tanya Aruna meski sedikit ragu.“Tentu saja bisa. Tanpa sepengetahuanmu dan Ki Bayanaka, aku selalu mendatangi tempat ini, ke dasarnya. Tapi tiga kedatanganku terakhir aku nyaris tak bisa keluar. Ada hal tak kasat mata yang menyedot tenagaku,” ucap Legawa sekaligus mengubur keinginan Aruna untuk turun.“Mengapa bisa begitu?” Aruna terus memperhatikan jurang gelap itu. Juga beberapa bagian tepi yang menjorok ke bawah. Ia berharap dapat melaluinya.“Aku pun tak tahu. Dan aku tak ingin mengambil risiko untuk ke bawah sana denganmu,” terang Legawa.“Jadi, aku tak bisa menemui ayahandaku?” rengek Aruna.“Setelah berhasil ke bawah pun kau belum tentu menemukannya. Saranku, kuasai dulu Lembat Brabat dan kau akan bisa ke sana seorang diri.” Legawa menatap wajah rikuh muridnya. Ia tahu pemuda itu kecewa.Aruna mengangguk seraya membulatkan tekad untuk segera menguasai ilmu andalan gurunya itu. Tanpa berkata-kata Legawa sudah mengetahui bahwa pangeran Astagi
Setelah kepergian Legawa, Aruna lebih banyak diam. Ia menuruti perintah gurunya untuk melakukan semedi di batu besar di ujung goa. Tapi pemuda itu sama sekali tak tahu bagaimana untuk melakukan semedi. Aruna hanya mengingat dua hal; memusatkan pikiran dan menyatu dengan alam.Aruna kemudian mengatupkan telapak tangannya dan ia letakkan di depan dada. Hal yang selalu Legawa lakukan manakala mengawali Lembat Brabat. Pemuda itu diam untuk beberapa masa. Namun segera membuka mata dan bergerak saat tangannya terasa begitu pegal.Suara gemuruh air terjun di hadapannya benar-benar menjadi satu-satunya suara yang ia dengar. Mulanya Aruna merasa biasa, namun lambat laun jatuhnya air dalm jumlah banyak membuatnya terganggu. Ia merasa harus menemukan sesuatu untuk menyumbat telinganya.“Bagaimana aku harus memulainya? Ah! Mengapa guru begitu sedikit memberitahukan caranya?” keluh Aruna.Pangeran Astagina itu mencoba posisi yang menurutnya lebih nyaman. Mungkin ia bisa berdiam diri dalam waktu ya
“Dia gagal!” Legawa segera kembali ke tubuh kasarnya. Namun tak juga keluar dari tempat persembunyian.Sementara Aruna tampak duduk terengah-engah. Tak jelas bagian tubuh mana yang terbentur, tapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Pemuda itu bersandar pada dinding goa yang lembab. Wajahnya penuh dengan keringat.“Darah Dipa Kencana, hah? Sial!” Aruna meninju telapak tangannya. “Pujian hanya membuatku bodoh!”Aruna mengedarkan pandangannya. Goa ini gelap, namun cahaya temaram dari mulut goa yang tertutup air menandakan ini masih siang. Pemuda itu tak bisa bayangkan berada di tempat seperti itu di malam hari.“Sebelum malam aku sudah harus berhasil!” tekadnya.Pemuda 16 tahun kemudian duduk bersila. Ia ingat pernah melihat mendiang Ki Bayanaka duduk bersila dalam biliknya tanpa salah satu kaki menindih lainnya. Aruna meletakkan kedua tangannya di ujung paha, nyaris di atas lutut. Telapak tangannya mengadah. Ia tempelkan ujung ibu jari dan jari telunjuk.“Tekad yang bagus,” gumam Legawa.Pe
Aruna memukul dinding batu meski sama sekali tak berpengaruh apa pun. Baik pada dinding batu itu atau pun pada perasaannya. Tak ada yang berubah. Ia masih begitu kesal sudah dua kali terpaksa keluar dari Meraga Sukma. Sekaligus menggagalkannya menguasai Lembat Brabat.“Sudah dua elemen dan keduanya gagal,” keluh Aruna.Napas pemuda itu terengah-engah. Sudah tak lagi ia pikirkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia mengedarkan kembali pandangannya ke mulut goa. Gelap, suara air terjun masih ada namun tak ada lagi cahaya seperti tadi. Namun anehnya ia masih mampu melihat dengan jelas.“Mata ketiga itu, lebih kuat dari milikku, atau mungkin Ki Bayanaka sekali pun! Dan dia belum menyadarinya! Arya, anakmu benar-benar istimewa!” gumam Legawa dalam persembunyiannya.Lelaki paruh baya itu kembali teringat saat bersama-sama kakak seperguruannya belajar mengaktifkan mata ketiga. Ki Bayanaka lebih dulu, disusul ia dan kemudian Sanggageni. Ki Bayanaka kemudian ahli dalam Meraga Sukma, Sanggageni m