TINGGAL seujung jari lagi ujung pedang Tumanggala mengenai sasaran, tahu-tahu saja terdengar suara bentakan keras menggelegar. Diiringi munculnya kelebatan senjata yang kemudian mematahkan serangan Tumanggala.
Suara berdentrang nyaring terdengar memenuhi sepanjang lorong. Mengagetkan siapa pun yang berada di sana.
Tumanggala terbeliak kaget. Tangannya yang memegang pedang bergetar hebat. Wajahnya berubah ketika kemudian melihat sosok Senopati Arya Lembana, diikuti segerombolan prajurit bersenjata tombak panjang.
"Apa yang telah kau lakukan di sini, Tumanggala?" bentak Arya Lembana dengan sepasang mata berkilat-kilat.
Tumanggala telan ludah sejenak, baru memberanikan diri menjawab, "Ma-maafkan saya, Gusti Senopati. Saya hanya mencoba membela diri."
"Membela diri, katamu?" ulang Arya Lembana, menggeram.
"Be-benar, Gusti. Dua prajurit ini telah berlaku seenaknya pada saya, sehingga saya merasa perlu memberi pelajaran," sahut Tumanggala.
Hai, semuanya. Maaf ya saya sempat lama sekali tidak update. Sebab kemarin saya sekeluarga terjangkit Covid-19 sehingga harus isolasi mandiri. Sekarang masuk hari ke-12 dan syukurlah sudah semakin membaik. Mohon maklum ya :)
SURAWANA merupakan sebuah perkampungan nun jauh di timur laut Dahanapura. Berjarak nyaris lima belas ribu depa, atau lima puluh empat lie jika menggunakan satuan ukuran Bangsa Song. Dibutuhkan waktu sekitar sepenanakan nasi dengan berkuda untuk menuju ke sana. Waktu yang tidak sebentar. Tapi menjadi tidak ada apa-apanya jika dilakukan demi melepas rindu pada orang-orang terkasih. Waktu selama itulah yang biasa Tumanggala habiskan untuk pulang menemui anak dan isterinya di akhir masa tugas. Melepas kerinduan barang beberapa hari dengan bercengkerama bersama puteranya, sebelum kembali berangkat memenuhi panggilan tugas lainnya. "Kenapa Ayah tidak pulang-pulang juga, Ibu?" suara bocah kecil bertanya pada ibunya terdengar dari satu rumah di ujung perkampungan. Sama seperti rumah-rumah lainnya di sana, rumah tersebut berbentuk persegi dengan dinding anyaman bambu. Bagian atapnya terbuat dari susunan ilalang yang dijepit menggunakan belahan bambu.
PAGI datang membawa rintik-rintik gerimis. Jalanan tanah Kotaraja Dahanapura menjadi basah dibuatnya. Seorang kusir yang membawa gerobak bertutup kain hitam tampak berwajah masam. Jalanan yang basah mengakibatkan roda-roda kendaraannya sering tergelincir. Namun kusir tersebut tak punya pilihan lain. Pagi itu juga ia harus mengantar gerobak berpenutup kain hitam tersebut ke tujuan. Tak peduli apa pun yang terjadi. Dan jika menilik pada sekelompok prajurit bersenjata yang mengawal gerobak tersebut, isinya tentulah barang berharga. Atau pemiliknya dari kalangan petinggi istana Kerajaan Panjalu. Atau justru gabungan keduanya. "Apakah kita tidak sebaiknya singgah di kediaman Gusti Senopati terlebih dahulu?" tanya salah seorang prajurit pengawal gerobak di bagian depan. Yang diajak bicara seorang berpangkat lurah prajurit. Tak lain adalah Wipaksa, tangan kanan Bekel Kridapala, juga anggota pasukan Senopati Arya Lembana. "Gusti Senopati sudah menungg
SETELAH beberapa saat, Rakryan Rangga yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Semua orang yang ada di balai paseban bergegas bangkit berdiri. Sama-sama menghaturkan sembah hormat.Rakryan Rangga adalah jabatan kedua tertinggi dalam tata keprajuritan. Tepat di bawah Rakryan Tumenggung sebagai panglima perang kerajaan. Seorang Rakryan Rangga membawahkan para senopati, termasuk Senopati Arya Lembana.Dengan pandangan tajam dan wajah datar, Rakryan Rangga merayapi satu demi satu wajah-wajah yang ada di hadapannya. Matanya kemudian tertumbuk pada peti panjang berisi upeti dari Wurawan yang terletak di tengah-tengah ruangan."Hmm, jadi ini upeti dari Wurawan yang sempat dirampas gerombolan begal dari Wengker itu?" tanya Rakryan Rangga sembari mendekati peti kayu tersebut.Meski Rakryan Rangga tak menyebut nama, namun semua yang ada di sana sudah mafhum jika pertanyaan tersebut ditujukan pada Arya Lembana. Sontak sang senopati angkat kedua tangan di depan dad
SUASANA di balai paseban mendadak hening. Arya Lembana terpekur diam, tak tahu lagi harus berkata apa. Alih-alih memojokkan Tumanggala dalam peristiwa pembegalan upeti dari Wurawan, justru dirinya yang kini tersudut sendiri. Sementara itu Wipaksa menjadi bingung. Hatinya berkecamuk begitu melihat sikap Rakryan Rangga barusan. Ia sontak teringat pada Kridapala. Atasannya itu agaknya harus menelan kekecewaan jika mengharap Tumanggala dijatuhi hukuman berat. "Lembana," suara Rakryan Rangga memecah kesunyian. Arya Lembana buru-buru angkat kedua tangan ke depan wajah, menghaturkan sembah. "Sendika dawuh, Gusti," sahut sang senopati tanpa berani mengangkat kepala. "Siapa nama prajurit yang telah membunuh gembong begal itu?" tanya Rakryan Rangga. Arya Lembana tak langsung menjawab. Melainkan berpaling sebentar pada Wipaksa di sebelahnya. Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan sorot mata kebingungan. "Namanya Tumanggala, Gusti," j
BEGITU melewati gerbang balai paseban, Arya Lembana mendekati Wipaksa dengan gusar. Dicengkeramnya leher lurah prajurit tersebut kuat-kuat, sehingga membuat Wipaksa tercekik. Susah payah lelaki itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.Para prajurit yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa diam dalam kebingungan. Mereka tak berani ikut campur, sebab yang melakukannya seorang senopati. Akhirnya mereka hanya berdiri berjaga-jaga di sekeliling kedua orang tersebut."Keparat kau, Wipaksa! Agaknya kau biang masalah ini!" seru Arya Lembana sambil mengeratkan cekikan tangannya di leher Wipaksa.Wajah Wipaksa tampak memerah. Kedua matanya membulat besar, seolah hendak mencolot keluar. Mulut lurah prajurit tersebut tampak terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar."Sepertinya kau punya rencana jahat terhadap Tumanggala, hah? Sehingga kau memberi laporan yang terus menyudutkan prajurit itu padaku. Mengaku!" ujar Arya Lembana lagi de
TANPA membuang-buang waktu lagi Wipaksa segera berkuda menuju ke kediaman Kridapala. Ia harus menceritakan apa yang terjadi pagi ini pada bekel atasannya tersebut.Sikap Rakryan Rangga, lalu amarah Senopati Arya Lembana, semuanya harus diketahui oleh Kridapala. Bagaimanapun mereka berdua yang mengarang laporan palsu mengenai Tumanggala pada sang senopati.Jalanan yang licin akibat guyuran hujan membuat kuda tunggangan Wipaksa beberapa kali hampir tergelincir jatuh. Setelah bersusah-payah mengendalikan hewan tersebut, lurah prajurit itu sampai juga di kediaman Kridapala yang terletak di pinggiran Kotaraja."Ah, Wipaksa. Ada kabar apa yang membuat wajahmu tegang begitu?" sambut Kridapala yang kebetulan sedang berada di halaman, tengah memberi makan burung-burung klangenannya.Wipaksa bergegas turun dari atas punggung kuda. Ditambatkannya hewan tersebut ke sebatang pohon dengan tergesa. Lalu segera mendekat pada Kridapala."Kabar buruk, Ki Bekel. Kaba
TAHANAN bawah tanah di kawasan istana Dahanapura tampak lengang tengah malam itu. Hanya ada empat penjaga di pintu masuk menuju ke ruang bawah tanah. Masing-masing tampak susah payah menahan kantuk yang semakin hebat menyerang.Terdapat sepuluh ruang tahanan di bawah sana. Namun hanya satu yang ada isinya, yaitu ruang tahanan di mana Tumanggala ditempatkan. Selebihnya kosong melompong tanpa penghuni.Sambil hempaskan satu napas berat, Tumanggala duduk bersandar di sudut ruang tahanan. Kedua kakinya ditekuk. Wajahnya yang kuyu dibenamkan di antara kedua lutut."Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini?" desah sang prajurit dengan kedua mata terpejam rapat.Otak Tumanggala lantas berputar Merangkai-rangkai dugaan demi dugaan berdasarkan rentetan kejadian yang telah ia alami selama beberapa hari ini. Namun dirinya tak kunjung mendapatkan jawaban.Dalam kesendirian itu ia lantas teringat pada anak dan isterinya. Sudah lebih dari dua pekan ia tidak p
MENGETAHUI Tumanggala tersudut begitu rupa, seringai di wajah si wira tamtama semakin lebar. Lalu perlahan tawanya terdengar membahanan, memenuhi seisi ruang tahanan nan pengap."Kau tidak bisa lari ke mana-mana, Tumanggala," desis wira tamtama tersebut.Tumanggala kertakkan rahang. Namun ia benar-benar tidak bisa bergerak lagi. Dengan terpaksa sang prajurit berdiri diam di tempatnya. Kewaspadaannya ditingkatkan."Dengar baik-baik, Tumanggala. Yang lebih penting untuk kau ketahui adalah, mulai besok pagi seisi Kotaraja ini akan mengenang dirimu sebatas nama saja!" ujar wira tamtama itu. Nada bicaranya datar."Tumanggala sang prajurit Panjalu yang penumpas gerombolan rampok Alas Wengker, yang membunuh gembong begal Ranasura, ditemukan telah menjadi mayat bersama-sama dengan dengan isterinya," tambah wira tamtama tersebut seraya menyeringai.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam. Ia semakin tak mengerti arah pembicaraan orang di hadapannya. Ra