Tuan Mun memejamkan matanya sejenak, dia mengeraskan rahangnya menahan emosi. Pria itu berusaha menenangkan diri atas ucapan kurang ajar yang dia dengar dari Yoriko. "Ada alasan kenapa aku melakukan semua ini Yoriko," jawab Tuan Mun pada akhirnya.Dia juga menurunkan egonya dengan memelankan nada bicaranya pada perempuan yang pantas dia sebut putrinya. "Alasan apa lagi Tuan Mun? Sungguh aku tidak mengerti," balas Yoriko yang tampak lelah dan kecewa. "Nanti kita bicarakan lagi saat sudah sampai di markas besar saja," ucap Tuan Mun. Kemudian hening, Yoriko tidak menjawab lagi. Marco, anggota yang menjadi supir mereka malam ini juga diam tidak berani menanggapi apa-apa. Tuan Mun juga memilih kembali ke markas alih-alih ke kediaman keluarga Choi. Padahal mereka berangkat dari kediaman, tapi dia rasa tidak tepat untuk kembali ke sana saat ini. Tuan Mun dan Yoriko baru saja sampai di markas besar setelah lewat jam tiga pagi. Keduanya turun dari mobil, masih ada rasa penasaran di wajah
Di salah satu restoran mewah daerah Gunsan, Xiao Jiang tengah menikmati sarapan paginya dengan tenang. Perempuan itu memandang orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Saat ini dia tengah memesan sarapan pagi dan menunggunya di lantai dua restoran tersebut. Perempuan cantik itu duduk di dekat jendela dan memandang ke bawah, di mana ada jalan protokol yang bisa dia lihat dengan leluasa. "Aku tidak menyangka El Abro punya banyak sekali cabang bisnis," gumam perempuan itu sembari memperhatikan layar ponselnya. Matanya awas memperhatikan beberapa file yang diberikan oleh anak buahnya. Setidaknya dia mengantongi beberapa informasi terkait bisnis yang dikerjakan oleh El Abro. Tidak lama kemudian sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya, Xiao Jiang yang hendak menyuap makanan segera menghentikan kegiatannya. Dia menggeser tombol hijau begitu sadar kalau telepon itu berasal dari tangan kanannya, Chen Xiaojun. "Ya, ada apa Xiaojun?" Tanya Jiang begitu panggilan terhubung. ["Nona Jian
Setelah sarapan bersama Tuan Mun, Ashraf masih duduk di ruang kerjanya sementara Tuan Mun sudah pamit untuk pulang terlebih dahulu untuk beristirahat. Ashraf tampak menimbang kartu memori yang diberikan padanya beberapa saat lalu. Dia hendak melihat apa yang ada di dalam sana. Ketika Ashraf bangkit dari duduknya untuk mengambil laptop, ponsel miliknya berdering. Sontak Ashraf mengurungkan niatnya dan kembali duduk sembari mengangkat telepon tersebut. "Lizi?" Gumam Ashraf sebelum akhirnya mengangkat panggilan dari sang adik. ["Kakak!"] Panggil Lizi dari seberang sana dengan nada yang terburu-buru. Kening Ashraf berkerut, dia tidak yakin kalau semuanya baik-baik saja setelah mendengar nada bicara dari adik satu-satunya itu. "Ya ada apa, katakan dengan jelas!" Perintahnya. ["Ada penyerangan tiba-tiba di kantor Bea Cukai kak,"] tutur Lizi dengan nada yang bergetar. Ashraf terkejut bukan main, di tempat yang sangat tidak mungkin ada kejahatan di sana. Bisa-bisanya malah ada penyeran
Fengying semakin panik ketika mobil dibelakangnya terus mepet ke body mobil yang dia kendarai. Bahkan mobil milik Fengying sudah bergesekan dengan pembatas jalan hingga menimbulkan sedikit percikan api. "Sialan!" Umpat Fengying sembari terus berusaha menghindar.Bagaimana pun saat ini dia memakai pakaian dinasnya sebagai petugas Bea Cukai, tidak mungkin jika Fengying malah bertindak kriminal. "Berhati-hati Tuan Fengying," ucap Lizi yang ada di kursi penumpang. perempuan itu masih berlagak seperti gadis muda baik-baik yang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Karena mau bagaimana pun, Lizi berkenalan dengan Fengying sebagai perempuan baik yang mengurus bisnis mendiang sang ibu. Bukan anak perempuan dari keluarga mafia, jadi Lizi berusaha mati-matian mempertahankan citra seperti itu. "Mereka terus mengejar kita nona Liz, bagaimana ini?" Tanya Fengying yang mulai khawatir. "Arahkan saja mobil ini ke jalan yang sulit di lewati. Dengan begitu mereka mungkin tidak akan mengejar,"
Fengying tidak segera menjawab dia malah berjalan ke sebuah restoran yang ada di deretan gedung bertingkat di depan mereka. Menyadari Lizi tidak beranjak dari tempatnya, Fengying menoleh dan melambaikan tangannya. "Ayo Nona Liz, kenapa diam di sana? Kau mau tahu jawabanku bukan, akan ku jelaskan di dalam." Fengying masih setia dengan senyumannya.Lizi tidak mengerti, tapi dia mengangguk dan mengikuti ke mana pria itu melangkah. Di dalam restoran tersebut, Fengying sengaja memilih tempat duduk yang lumayan pojok di lantai dua restoran. Posisi itu memungkinkan mereka berbicara dengan leluasa tanpa khawatir didengar oleh orang lain karena memang pengunjung di lantai dua tidak lebih dari sepuluh orang saja. "Duduklah Nona Liz," ucap Fengying mempersilahkan sang kolega untuk duduk. Dia bahkan menggeser kan kursi yang akan di duduki perempuan muda itu. "Terimakasih Tuan Fengying," balas Lizi dengan sopan. Kali ini dia tidak terlalu formal lagi dengan Fengying, bahkan cenderung santai.
Lizi tersentak mendengar jawaban Fengying kali ini. Dia bahkan sampai menjatuhkan sumpitnya ke lantai sangking terkejutnya. "Ka-kau sungguh tahu?" Tanyanya terbata-bata. Fengying malah tertawa kecil, kemudian dia menunduk dan mengambil sumpit milik Lizi yang sudah kotor. Pria itu menaruhnya di sisi kanan mejanya beralaskan tissue. "Apa kau pikir aku tidak tahu?" Fengying malah balik bertanya. Hal itu tentu membuat Lizi semakin gelagapan. Dia merasa tidak becus dalam mengerjakan sesuatu. Bisa-bisanya dia malah kecolongan seperti ini?"Kau tidak perlu merasa khawatir atau takut Nona Liz, karena selama ini aku tidak melakukan apa-apa." Fengying kembali berujar pelan. "Ya aku tahu itu, tapi kenapa kau melakukan ini? Kenapa pula kau mau membantu pekerjaan ku padahal kau tahu aku seorang mafia?" Cecar Lizi yang kini berada pada mode waspada. "Karena aku tahu kau tidak akan bertindak di luar batas. Selama ini hanya itu saja yang menjadi alasan ku terus bersikap baik dan percaya padamu,
Xiaojun tampaknya tuli, dia semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan Xiao Jiang yang berteriak-teriak di belakangnya. Perempuan cantik itu tentu merasa ketakutan karena sang asisten mengemudi seperti kesetanan saja. Mau dia berteriak sekuat tenaga juga tidak ada hasilnya. Kemudian Jiang menoleh ke belakang, mencari mobil pada anggota lain yang memang tadi ada bersama mereka. Akan tetapi semuanya mendadak tidak ada, apa yang dia cari hasilnya nihil!Xiao Jiang tidak menemui mobil atau kendaraan lain yang ada di belakang mobil yang dia dan Xiaojun kendarai. Niat hati ingin meminta bantuan, tapi yang dia dapatkan hanya angin!"Xiaojun ku mohon jangan seperti ini," lirih Xiao Jiang yang mulai memelankan suaranya. Dia bahkan tampak hendak menangis dan suaranya juga sudah bergetar. Akan tetapi lagi-lagi Xiaojun tidak bergeming sama sekali. Pria itu hanya melirik Xiao Jiang sekilas dari spion tengah yang ada di mobil tersebut tanpa menjawab apapun. Lalu mobil
Xiaojun makin tersenyum lebar setelah melihat ekspresi wajah Xiao Jiang yang tampak sangat terkejut mendengar penuturannya. "Ka-kau putra Perdana Menteri Chen Goufeng?" Tanya Xiao Jiang ragu-ragu. "Benar sekali," balas Xiaojun masih dengan senyumannya yang lebar. Xiao Jiang menghela nafas kasar, dia tidak percaya selama ini sudah bekerja dengan anak Perdana Menteri di negaranya sendiri. Belum lagi memikirkan kembali bagaimana sikapnya selama ini membuat kepalanya nyeri. Pantas jika Xiao Jiang tidak tahu fakta ini karena di negaranya, keputusan untuk menyembunyikan identitas keluarga dengan alasan privasi sangat diwajarkan. Selama ini dia juga tidak pernah menaruh curiga pada Xiaojun meskipun nama marganya sama dengan sang Perdana Menteri. "Kau tentu paham apa konsekuensinya jika aku buka mulut sedikit saja tentang Blair Fulton pada ayahku," ancam Xiaojun dengan wajahnya yang tenang. Xiao Jiang menggigit bibir bawahnya sendiri menahan emosi. Kali ini semuanya bertambah rumit dan