Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan
Widjanarko sangat terkejut. "Kamu serius dengan perkataanmu, Rara? Kamu tidak takut akan akibatnya?" Rara tersenyum simpul. "Bapak sudah mengenal saya begitu lama. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan serius dan secara total. Setiap pekerjaan akan selalu ada resiko yang harus dihadapi, dan saya sudah siap dengan semua resiko yang akan saya hadapi ketika saya menerima tugas ini." Widjanarko menggelengkan kepalanya. Ia masih ragu untuk menyetujui usulan Rara. Lama ia menimbang, hingga akhirnya anggukan kepalanya menjadi awal terbitnya senyum di kedua sudut Rara. "Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," ucap Rara dengan binar mata penuh semangat. Ketakutannya hilang sudah, seiring dengan anggukan setuju Widjanarko. Sambil menghela napas berat, Widjanarko kembali menganggukkan kepalanya. "Berhati-hatilah! Raka bukan orang yang mudah menyerah, kamu harus punya kesabaran ekstra untuk menundukkannya. Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu di luar sana, tapi tidak dengan putraku sendiri.
Rara tersenyum, dan sekali lagi, senyumnya berhasil membuat Raka salah tingkah. Rara tidak menjawab namun tetap mengulas senyum di wajahnya. Jika atasannya paham, pasti tahu arti senyum yang tersungging di wajahnya. "Kenapa malah senyum? Aku tidak butuh senyumanmu. Apa kamu sedang sariawan?" Raka berusaha mengurai rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Sungguh, senyum Rara mengandung racun baginya, dan ia berusaha mati-matian agar tidak terbuai. "Nggak, Pak. Gigi dan gusi saya, sehat semua, termasuk semua bagian dalam rongga mulut saya." "Iissh. Sudah. Hilangkan senyum itu dari wajahmu. Mengganggu saja," rutuk Raka. Ia menyerah, tidak sanggup melihat senyum Rara. "Baik, Pak." Namun, wajah Rara tetap tidak berubah, terlihat cerah dan bersemangat. Dan Raka harus rela tersiksa karena terus saja mencuri-curi pandang gadis di sebelahnya, hingga lehernya terasa pegal. "Don! Mampir ke apotik. Aku butuh obat. Leherku sakit." "Baik, Pak." Apakah ini salah satu strategi Rara? -0- Widj
Widjanarko mengusap wajahnya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Oknum yang memanfaatkan ketidakpedulian Raka-lah yang akhirnya memanfaatkan peluang yang ada. Ia berhasil mengeruk keuntungan hingga menyebabkan perusahaan fashionnya nyaris kolaps seperti sekarang ini. "Kamu mencurigai seseorang?" tanya Widjanarko pada Rara. "Mungkin tidak hanya satu orang, Pak. Ada beberapa tapi saya harus mengumpulkan bukti dulu. Ini baru dugaan saya saja. Semoga itu salah." "Ya kalau tidak yakin ya jangan diomongin. Selidiki dulu baru bicara,"sungut Raka. Ia tidak mempercayai ucapan Rara. Tidak ada penyelewengan di perusahaannya, dan ia sangat yakin hal itu. Semua orang yang berada di perusahaaannya bukan orang baru. Mereka sudah bekerja lama dengan Widjanarko, jadi mustahil mereka melakukan kecurangan di belakangnya. Widjanarko hanya menatap putranya itu sekilas. Ia lebih mempercayai Rara ketimbang orang-orang itu. Mungkin Rara ada benarnya tapi jika keberadaan Rara tidak didukung sepenuhnya ol
"Namanya Rara. Dia adalah orang kepercayaan Pak Widjanarko. Asisten kesayangan beliau. Selama ini ditugaskan untuk menangani perusahaan di luar negeri." Penjelasan singkat dari Doni terekam kuat dalam memori Wisnu. Pria itu terus saja mengingat informasi singkat mengenai gadis yang berdiri di belakang Widjanarko. Pantas saja dirinya tidak pernah melihat gadis itu. Tapi, mengapa sekarang ada di sini? Apakah kondisi perusahaan yang membuat Widjanarko menarik pulang gadis itu? Untuk membantu menyelesaikan masalah di sini? Jika memang demikian, maka ia akan sangat terbantu. Setidaknya, ia punya kawan untuk 'menjitak' kebebalan Raka yang selama ini sangat sulit dikendalikan. Senyum Wisnu seketika terbit. Mengingat penampilan Rara yang tampil biasa namun memiliki magnet yang kuat, membuatnya kembali bersemangat untuk kembali aktif di ruangannya. Selama ini, ia memilih untuk datang dua minggu sekali, tapi kehadiran Rara akan merubah semuanya. "Om pergi dulu. Kamu harus membantu Rara di s
Rara diam terpengkur di tempatnya berdiri. Ia measa ada yang terlewatkan olehnya. Ada kalimat yang sangat menganggu, yang diucapkan atasannya tapi ia lupa tepatnya kalimat yang mana. Ia terus berusaha untuk mengingat. Dirunutnya satu persatu percakapan yang terjadi diantara mereka, mulai kalimat terakhir hingga dirinya tiba di ruangan ini. Kedua netra Rara terbuka. Ia berhasil mengingat kalimat pengganggu itu, dan memang benar, kalimat ini sangat aneh dan jika dipikir dengan hati-hati, akan menyiksa dirinya di kemudian hari. Bahwa dirinya harus selalu siap dua puluh empat jam sehari, untuk Raka. Jika ia menyetujuinya, maka, hidupnya, mulai hari ini adalah milik Raka. Ia harus bersedia melakukan apa pun permintaan Raka. Bukankah itu pemaksaan? "Maaf, Pak. Tampaknya ada kesalah-pahaman di sini," jelas Rara akhirnya. Ia harus membuat terang semuanya. Jangan sampai ia jatuh dalam jebakan atasannya itu. "Kesalahpahaman dimana? Aku tidak melihat ada kesalahpahaman di sini." "Bahwa ham
Sepanjang perjalanan ke kantin, tidak ada seorang karyawan yang tidak menoleh ke arah mereka. Bukan kehadiran Raka dan Wisnu yang menarik perhatian para karyawan, namun sosok Rara yang berada diantara keduanya. Siapa gadis yang dapat berjalan bersisian dengan petinggi perusahaan? "Magnetmu memang besar, Ra. Kehadiranmu berhasil menarik perhatian mereka," bisik Wisnu tepat di telinga sebelah kanan Rara. "Bukan saya, Pak tapi Bapak berdua yang menarik perhatian mereka. Pemimpin mereka akhirnya keluar kandang juga," seloroh Rara, mengundang decihan Raka, dan kekehan Wisnu di sisi yang lain. "Kamu benar. Mungkin mereka kangen." Wisnu menarik keluar kursi untuk Rara, lalu menarik satu untuk dirinya sendiri. Sedangkan Raka, ia biarkan memilih kursinya sendiri. Rara menikmati kopi pahit yang baru saja disajikan di depannya. Wisnu asyik mengunyah soto ayam sedangkan Raka memilih satu pisang untuk sarapannya. Menu kantin yang sangat sederhana. Ia mulai mengamati ruang berukuran dua puluh ka
"Tidak akan pernah. Dia dari awal untukku, maka selamanya akan seperti itu," jawab Raka dingin. Ia mulai kembali menatap Rara yang sejak tadi hanya diam, dan memperhatikan kubikelnya yang baru saja jadi. Benar kata wakil direkturnya. Ruangan itu terlalu sederhana. Bagaimana ia akan bergerak melakukan investigasi di perusahaan ini? Miris memang, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ia harus memikirkan sendiri, bagaimana nanti dirinya dapat bekerja dengan nyaman. "Jika tidak bersedia memberikan Rara padaku, maka berikan dia ruangan yang layak untuknya bekerja. Bukankah ada ruangan kosong di samping ruanganmu? Di belakang meja sekretarismu itu. Kau pindahkan saja meja sekretaris kemari dan biarkan Rara menggunakan ruangan itu. Paling tidak, Rara juga bisa mengawasi kinerja sekretarismu itu, biar tidak sibuk dandan melulu," usul Wisnu, yang langsung menyindir Susan yang saat itu juga tengah memperhatikan mereka. Raka memikirkan usulan Wisnu, lalu memberi kode agar ketiga pria yang masih me