Rara tersenyum, dan sekali lagi, senyumnya berhasil membuat Raka salah tingkah. Rara tidak menjawab namun tetap mengulas senyum di wajahnya. Jika atasannya paham, pasti tahu arti senyum yang tersungging di wajahnya. "Kenapa malah senyum? Aku tidak butuh senyumanmu. Apa kamu sedang sariawan?" Raka berusaha mengurai rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Sungguh, senyum Rara mengandung racun baginya, dan ia berusaha mati-matian agar tidak terbuai. "Nggak, Pak. Gigi dan gusi saya, sehat semua, termasuk semua bagian dalam rongga mulut saya." "Iissh. Sudah. Hilangkan senyum itu dari wajahmu. Mengganggu saja," rutuk Raka. Ia menyerah, tidak sanggup melihat senyum Rara. "Baik, Pak." Namun, wajah Rara tetap tidak berubah, terlihat cerah dan bersemangat. Dan Raka harus rela tersiksa karena terus saja mencuri-curi pandang gadis di sebelahnya, hingga lehernya terasa pegal. "Don! Mampir ke apotik. Aku butuh obat. Leherku sakit." "Baik, Pak." Apakah ini salah satu strategi Rara? -0- Widj
Widjanarko mengusap wajahnya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Oknum yang memanfaatkan ketidakpedulian Raka-lah yang akhirnya memanfaatkan peluang yang ada. Ia berhasil mengeruk keuntungan hingga menyebabkan perusahaan fashionnya nyaris kolaps seperti sekarang ini. "Kamu mencurigai seseorang?" tanya Widjanarko pada Rara. "Mungkin tidak hanya satu orang, Pak. Ada beberapa tapi saya harus mengumpulkan bukti dulu. Ini baru dugaan saya saja. Semoga itu salah." "Ya kalau tidak yakin ya jangan diomongin. Selidiki dulu baru bicara,"sungut Raka. Ia tidak mempercayai ucapan Rara. Tidak ada penyelewengan di perusahaannya, dan ia sangat yakin hal itu. Semua orang yang berada di perusahaaannya bukan orang baru. Mereka sudah bekerja lama dengan Widjanarko, jadi mustahil mereka melakukan kecurangan di belakangnya. Widjanarko hanya menatap putranya itu sekilas. Ia lebih mempercayai Rara ketimbang orang-orang itu. Mungkin Rara ada benarnya tapi jika keberadaan Rara tidak didukung sepenuhnya ol
"Namanya Rara. Dia adalah orang kepercayaan Pak Widjanarko. Asisten kesayangan beliau. Selama ini ditugaskan untuk menangani perusahaan di luar negeri." Penjelasan singkat dari Doni terekam kuat dalam memori Wisnu. Pria itu terus saja mengingat informasi singkat mengenai gadis yang berdiri di belakang Widjanarko. Pantas saja dirinya tidak pernah melihat gadis itu. Tapi, mengapa sekarang ada di sini? Apakah kondisi perusahaan yang membuat Widjanarko menarik pulang gadis itu? Untuk membantu menyelesaikan masalah di sini? Jika memang demikian, maka ia akan sangat terbantu. Setidaknya, ia punya kawan untuk 'menjitak' kebebalan Raka yang selama ini sangat sulit dikendalikan. Senyum Wisnu seketika terbit. Mengingat penampilan Rara yang tampil biasa namun memiliki magnet yang kuat, membuatnya kembali bersemangat untuk kembali aktif di ruangannya. Selama ini, ia memilih untuk datang dua minggu sekali, tapi kehadiran Rara akan merubah semuanya. "Om pergi dulu. Kamu harus membantu Rara di s
Rara diam terpengkur di tempatnya berdiri. Ia measa ada yang terlewatkan olehnya. Ada kalimat yang sangat menganggu, yang diucapkan atasannya tapi ia lupa tepatnya kalimat yang mana. Ia terus berusaha untuk mengingat. Dirunutnya satu persatu percakapan yang terjadi diantara mereka, mulai kalimat terakhir hingga dirinya tiba di ruangan ini. Kedua netra Rara terbuka. Ia berhasil mengingat kalimat pengganggu itu, dan memang benar, kalimat ini sangat aneh dan jika dipikir dengan hati-hati, akan menyiksa dirinya di kemudian hari. Bahwa dirinya harus selalu siap dua puluh empat jam sehari, untuk Raka. Jika ia menyetujuinya, maka, hidupnya, mulai hari ini adalah milik Raka. Ia harus bersedia melakukan apa pun permintaan Raka. Bukankah itu pemaksaan? "Maaf, Pak. Tampaknya ada kesalah-pahaman di sini," jelas Rara akhirnya. Ia harus membuat terang semuanya. Jangan sampai ia jatuh dalam jebakan atasannya itu. "Kesalahpahaman dimana? Aku tidak melihat ada kesalahpahaman di sini." "Bahwa ham
Sepanjang perjalanan ke kantin, tidak ada seorang karyawan yang tidak menoleh ke arah mereka. Bukan kehadiran Raka dan Wisnu yang menarik perhatian para karyawan, namun sosok Rara yang berada diantara keduanya. Siapa gadis yang dapat berjalan bersisian dengan petinggi perusahaan? "Magnetmu memang besar, Ra. Kehadiranmu berhasil menarik perhatian mereka," bisik Wisnu tepat di telinga sebelah kanan Rara. "Bukan saya, Pak tapi Bapak berdua yang menarik perhatian mereka. Pemimpin mereka akhirnya keluar kandang juga," seloroh Rara, mengundang decihan Raka, dan kekehan Wisnu di sisi yang lain. "Kamu benar. Mungkin mereka kangen." Wisnu menarik keluar kursi untuk Rara, lalu menarik satu untuk dirinya sendiri. Sedangkan Raka, ia biarkan memilih kursinya sendiri. Rara menikmati kopi pahit yang baru saja disajikan di depannya. Wisnu asyik mengunyah soto ayam sedangkan Raka memilih satu pisang untuk sarapannya. Menu kantin yang sangat sederhana. Ia mulai mengamati ruang berukuran dua puluh ka
"Tidak akan pernah. Dia dari awal untukku, maka selamanya akan seperti itu," jawab Raka dingin. Ia mulai kembali menatap Rara yang sejak tadi hanya diam, dan memperhatikan kubikelnya yang baru saja jadi. Benar kata wakil direkturnya. Ruangan itu terlalu sederhana. Bagaimana ia akan bergerak melakukan investigasi di perusahaan ini? Miris memang, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ia harus memikirkan sendiri, bagaimana nanti dirinya dapat bekerja dengan nyaman. "Jika tidak bersedia memberikan Rara padaku, maka berikan dia ruangan yang layak untuknya bekerja. Bukankah ada ruangan kosong di samping ruanganmu? Di belakang meja sekretarismu itu. Kau pindahkan saja meja sekretaris kemari dan biarkan Rara menggunakan ruangan itu. Paling tidak, Rara juga bisa mengawasi kinerja sekretarismu itu, biar tidak sibuk dandan melulu," usul Wisnu, yang langsung menyindir Susan yang saat itu juga tengah memperhatikan mereka. Raka memikirkan usulan Wisnu, lalu memberi kode agar ketiga pria yang masih me
Sepanjang perjalanan Raka memikirkan alasan yang dikemukakan oleh Rara. Benarkah perusahaannya saat ini benar-benar sedang kacau? Ia masih menyangsikan itu. Di matanya, perusahaan yang ia pimpin masih baik-baik saja. Laporan yang ia terima setiap akhir bulan juga selalu menunjukkan perkembangan. Perkembangan? Ini yang sejak tadi diributkan oleh Wisnu. Menurut wakil direkturnya itu. Perusahaan mereka tidak menunjukkan kemajuan sesuai yang diharapkan. Dan jika diteliti lebih jauh, ada banyak data yang tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Wisnu sering kali mengecek bagian produksi. Barang mentah begitu banyak tapi laporan barang jadi yang terjual tidak sepadan dengan hasil produksi yang dihasilkan. Dan ia sudah berulang kali membicarakan hal ini pada Raka tapi jawabannya selalu saja sama, tidak mungkin terjadi kecurangan. Mobil Raka akhirnya terparkir dengan sempurna di parkir lantai dasar gedung apartemennya. Rasa kantuk yang semula menggelayui kedua matanya sirna sudah. Resep ko
Pikiran Raka yang dipenuhi dengan igauan Rara yang beberapa menit lalu ia dengar, membuat Raka tidak sadar jika khasiat susu sebagai mood stabilizer mulai bekerja. Gelombang rasa kantuk mulai datang menyerangnya. Berulang kali dirinya menguap dan rasa berat mulai menggantung di dua kelopak matanya. Matanya mulai berair, dan lama kelamaan ia tidak dapat menahan lagi kantuknya. Raka berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan sempoyongan, dan sambil terus menguap. Saat dirinya melihat kasur, bantal dan gulingnya, Raka mempercepat jalannya dan segera merebahkan dirinya dengan posisi serampangan, hingga akhirnya, ia tidak mengigat apapun. Raka sudah berpindah alam. -0- Rara seketika terjaga. Sebagian tubuhnya terasa sakit. Kedua matanya masih setengah terbuka, kesadarannya-pun belum genap seratus persen. Ada dimana dirinya sekarang? Rara melihat sekelilingnya. Ini jelas bukan kamarnya. Kamarnya tidak mungkin ada kursi dan meja makan sekaligus. Perhatiannya berhenti pada kresek putih da