Sebelumnya Mita belum pernah mengunjungi tempat wisata berupa pantai atau laut lepas di Jakarta kecuali pantai Ancol. Dia bahkan nggak pernah merencanakan berkunjung ke sebuah pulau di kepulauan seribu yang terkenal cukup aestetik untuk di kunjungi. Namun untuk pertama kalinya itu Mita bercampur lelah dan excited terus mengikuti bosnya yang tampak biasa seolah sudah sering berkunjung. Sedangkan langit sudah memancarkan sorot jingga yang semakin menggelap. Tandanya memang sudah sangat sore untuk menyebrang menuju salah satu pulau yang Mita tau sebagai Pulau Putri. Vano yang mengatakan tadi, itupun karena Mita mendesak akan diajak kemana dirinya. Gadis bermata sipit itu cukup mewaspadai apa-apa yang terjadi padanya. Kendati pergi bersama Vano, tetap saja bosnya itu berjenis kelamin laki-laki sedangkan dirinya berjenis kelamin perempuan. Harus waspada walau pergi dengan orang yang sangat dikenal sekalipun. “Pak, bisa bukain botol minumnya nggak? Susah nih, tangan saya licin,” ucap Mit
Tempat biasa yang dimaksud adalah sebuah cafe tempat biasa Farhan dan Gilang nongkrong. Cafe yang terletak di tengah pusat kota itu buka dua puluh empat jam dengan berbagai makanan dan minuman kemasan bak sebuah minimarket namun terdapat banyak bangku untuk anak-anak muda nongkrong dengan teman-teman atau pun pasangan. Gilang sudah biasa berada di sana, dia juga sudah biasa dengan Farhan yang akan mengambil kesempatan sebaik mungkin dalam kondisi yang menguntungkannya. "Lo mau curhat kan?" "Sebagai pendengar gue juga butuh banyak makanan buat dengerin lo curhat, supaya energi gue full dan bisa memberikan solusi yang paling tepat." Itulah alasan Farhan yang tanpa berekspresi tak enak saat menaruh banyak bungkusan cemilan di meja mereka. Saat Gilang meliriknya dengan datar, dia pura-pura nggak melihat dan malah mengambil duduk dengan santai. "Untung gue punya gaji," dengus Gilang atas kelakuan sahabatnya itu yang memanfaatkan kondisinya. "Ya makanya itu cok, gaji lo yang besar itu
Sedangkan itu di lain tempat, malam semakin larut dan sepoi angin semakin terasa dingin menusuk tulang. Mita masih belum menyangka jika dia berada di sebuah pulau kecil yang sangat indah untuk menikmati malam. Harinya yang berat dan rasa lelah seolah sirna sejak dia menginjakkan kaki di sebuah dermaga. Gemerlap lampu serta bangunan-bangunan dari kayu kian menambah keindahan di mata gadis itu. "Loh, pak, kirain sudah tidur," ucap Mita saat mendapati laki-laki tampan yang berjalan ke arahnya. Mita sendiri sedang menikmati angin laut di kursi teras kamarnya. Kebetulan kamar Vano juga terletak di samping kamarnya, yang mana tentu laki-laki itu dapat dengan jelas melihat Mita yang duduk sendirian sejak tadi. "Emang saya kamu." "Lah, saya emang kenapa?" balas gadis itu. Mata sipitnya langsung melirik ke sebuah map yang Vano letakkan di atas meja. Mita menduga bosnya itu akan kembali bekerja. Sehingga membuatnya berdecih karena merasa bahwa bosnya itu workaholic sekali. Namun Mita nggak
Sejak awal, Vano memang seorang anak orang yang kaya. Dunianya begitu berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia begitu serius dan nggak banyak pengalaman menyenangkan yang umum di lakukan orang-orang. Hidupnya menyedihkan dan banyak menyakiti orang lain. Satu hal yang sangat membekas mengenai hubungan asmara satu-satunya yang pernah dia jalani yaitu bersama Bunga. Dia sadar telah menyakiti terlalu banyak satu hati wanita. Namun kini laki-laki itu sadar akibatnya. Bahwa Tuhan mulai kurang berpihak kepadanya. Satu wanita yang menarik matanya, yang membuatnya tertarik ingin berhubungan serius dan lebih baik lagi ternyata akan melakukan pernikahan dengan orang lain. Vano telah merenung sejak lama, ia membiarkan hatinya yang keras untuk melunak dan memahami apa mau dirinya dan apa yang dia inginkan. Dan pada saat itu dibantu dengan orang yang dia lebeli menarik hal-hal yang awalnya dia acuhkan menjadi dia perhatikan. Salah satunya melakukan hal sederhana yang selama ini nggak pernah Vano b
Setelah sekian lama purnama sejak kelulusan kuliah. Mita belum lagi menginap di kosan sang sahabat yaitu Bianca. Berbeda dengan dulu, dia kerap menginap dan menjadikan kosan Bianca sebagai rumah kedua. Dan saat mereka sama-sama bekerja, baik Bianca dan juga Mita jarang berbagi kasur lagi. Itu karena kesibukan non stop yang mereka hadapi.Karena semakin beranjak dewasa, semakin jarang pula untuk sekedar kumpul bersama teman baik yang dulu selalu ada."Mau makan apa kita?" Sosok perempuan sehabis mandi muncul dari pintu kamar. Bianca melepaskan handuk di kepalanya dan segera menuju meja rias kecil untuk mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.Sedangkan yang diajak bicara yaitu Mita hanya malas-malasan memainkan ponselnya di atas kasur milik sang sahabat."Mau makan di luar?" tanya balik gadis itu. Dia masih berpakaian lengkap sehabis pulang bekerja. Belum ada tanda-tanda dirinya akan beranjak untuk mandi."Nggak lah, pesan aja, lagi males keluar."Mita mengangguk setuju atas jawaban B
Mita pov :Perkara suka dan mencintai seseorang ku pikir akan sangat mudah melakukannya. Suka dan merasa senang saat bersama dengan orang tersebut, nyaman juga nyambung obrolan, ku pikir itu sudah termasuk sayang dan cinta.Namun aku nggak pernah menyangkan jika cinta lebih dari semua yang awalnya ku pikirkan. Bahkan di luar itu, cinta lebih dari segalanya. Tanpa bosan dan tanpa hilang rasa suka hingga selama-lamanya.Cinta sungguh sesuatu yang sangat berat, bukan hal simpel yang dapat ku kategorikan saat merasa cocok dan melebelinya bahwa aku mencintai orang itu.Selama ini aku salah. Terlalu dini menyimpulkan apa yang aku rasakan. Hanya karena merasa nyaman dan juga cocok sehingga aku sanggup memikul tawaran rencana hubungan yang serius.Jika sudah seperti ini, rasa sadar yang ku rasakan terasa hambar dan terlambat. Aku akan mengecewakan banyak orang. Tingkah kekanakan ku dalam memahami hubungan begitu fatal. Aku sudah sangat terlambat bahkan saat sadar jika rasa suka ku kepada Gila
3 Bulan kemudian.Mentari pagi cerah menerangi kota sibuk Jakarta. Jam di arloji Rolex GMT-MASTER II Everose Oystersteel sudah menunjuk titik sesudah angka enam. Seperti biasa Vano di jam tujuh pagi masih dalam perjalanan untuk menuju ke tempat kerja. Laki-laki itu memakai kaca mata hitamnya, agar nggak langsung terkena silau matahari pagi. Dia menyetir sendiri.Sudah lama dia melakukannya. Mang Joko mulai hanya bertugas di rumah, berjaga dan membantu memberesi taman saat Vano mengambil alih mengemudi.Dia juga sudah terbiasa memilih pakaiannya sendiri. Memakai dasi dan menyiapkan keperluannya sendiri. Hanya saja di saat sibuk seperti akan ke luar kota, dia masih di bantu menyiapkan keperluannya oleh Bik Muti.Vano, laki-laki yang menjabat CEO muda yang tampan itu mulai menampilkan keramahannya pada karyawan. Dia membalas sapaan karyawannya saat berpapasan. Dia juga tampak lebih manusiawi dengan nggak seperfeksionis serta seworkaholic seperti sebelumnya.Vano dalam tiga bulan telah me
Matahari sudah naik ke atas dan gagah dominan memberikan panas yang menyengat. Puluhan orang sibuk berlalu-lalang serta menyebrangi jalan untuk menuju ke ruko-ruko lainnya. Sedangkan seorang gadis berambut pendek dengan poni tipis itu kuwalahan membawa beberapa kantong belanja di tangannya. Dia menepi di ruko yang tutup kemudian meletakkan barang belanjaan di sampingnya. Nggak sabar untuk mengambil ponsel dari tas punggung ukuran kecil yang dia gunakan."Hoi, dimana?" suaranya keras setelah panggilan yang dia lakukan di terima oleh pemilik nomor.["Lagi di jalan,"] balas suara di telepon dengan santai."Otw nya sejam yang lalu, masih aja di jalan," cibir gadis itu nggak bisa menahan lagi. Dia menoleh pada jalanan yang padat. Karena sudah jauh dari tempat parkir pertokoan, mau nggak mau dia harus menyebrang jalan agar memudahkan penjemputannya.Sebab jika dia masih berada di tempatnya menepi kini, temannya yang akan menjemput harus putar arah lumayan jauh."Gue nunggu di halte."["Loh?