~ Flashback ~
"Van, seperti biasa, minggu di tengah bulan ada seminar, kali ini di universitas Trisakti dengan tema, millenial sukses di usia muda, lo bisa catat poin-poinnya nanti gue yang akan buat."
Seorang laki-laki maskulin dengan rambut klimisnya berdiri menjulang di depan meja bosnya. Dia berpakaian setelan kemeja dan celana bahan diatas lutut dengan sepatu pantofel kekinian. Sedangkan sebelah tangannya membawa tablet yang tadi dia gunakan untuk menjelaskan agenda kerja bosnya.
Lalu di depannya, sosok bos muda tampan itu hanya fokus dengan berkas di mejanya. Dia mengacuhkan Billy namun telinganya sudah mendengar. Dia pun hanya bergumam tanda sudah mengerti dengan penjelasan sekretarisnya itu.
"Nanti gue kirim," katanya untuk memperjelas gumamannya.
Billy pun mengagguk saja. Dia kemudian undur diri menuju tempatnya kembali untuk mengerjakan tugas lain yang belum terselesaikan.
***
Seminar ke kampus-kampus adalah
Mita nggak tau apakah dia harus merasa senang atau malah merasa nggak senang ketika mendapati keberadaan Tante Gina dan Pak Iskandar di ruang tamu rumah Vano. Hari sore mulai gelap, tadinya dia ingin izin dengan Bik Muti untuk langsung pulang seperti biasa, namun ketika dia masuk dan mendapati dua orang yang sudah lama nggak dia lihat ada di ruang tamu membuatnya urung dan sungkan untuk pulang langsung. Akhirnya dia pun menampilkan senyum ramahnya, gurat wajah lelah Mita pudarkan dengan senyuman demi menyapa kedua orang tua bosnya. "Selamat sore om dan tante, saya kira nggak ada orang tadi, asal nyelonong seperti biasa saja malah," katanya merasa bersalah sembari berjalan mendekat ke arah tuan besar pemilik Miyora itu. Tangannya dia ulurkan untuk menyalimi Tante Gina dan Pak Iskandar bergantian. Sedangkan Vano baru saja masuk dan sedikit kaget melihat ada orang tuanya di dalam. "Kamu selalu pulang dulu ke sini Mit?" tanya laki-laki paruh baya itu yang berpena
"Jadi kamu mau-mau aja Mit, disuruh Vano siapin pakaian? dia nggak aneh-aneh kan? nggak modus?" tanya Pak Iskandar yang duduk di sebelah anaknya. Sedangkan Mita duduk di sebelah Tante Gina serta di depan Vano. Tuan muda itu sendiri, sedari tadi ekspresinya sangat nggak mengenakkan untuk dilihat. Suram bahkan nggak ada senyum-senyumnya. Dia juga nggak berminat menimpali obrolan kedua orang tuanya bersama dengan Mita. Gadis itupun sadar, sejak siang Vano banyak diam. Dia nggak banyak mengomentari pekerjaan Mita. Namun Mita sendiri jadi aneh. Sebab nyinyiran Vano sudah seperti makanannya sehari-hari. Melihat Vano banyak diam malah membuat Mita ngeri nggak berani mendekat. Kan, jadi serba salah. Vano nyinyir salah. Vano diam juga salah. Sebenarnya Mita maunya apa? Kini, di ruang makan mereka berempat sedang makan malam. Bukan makan malam sih, lebih tepatnya makan sore karena masih pukul 18.30 WIB. Dan di luar sedang hujan lebat. Beruntung Mita nggak jadi
Sunyi dan dingin, kini hujan telah reda. Jalanan becek dan banyak air yang menggenang di beberapa ruas jalan. Malam pun mulai semakin larut dengan lampu-lampu jalanan yang menerangi. Sedangkan itu di dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang melaju dengan kecepatan standar, Mita duduk di kursi penumpang diam saja. Gadis bermata sipit itu memangku tasnya, lalu memandang lurus ke depan tanpa menoleh ke samping. Vano pun diam. Laki-laki itu masih kepikiran dengan perkataan kedua orang tuanya serta teringat masalahnya dengan Bunga. Sudah beberapa minggu terakhir Vano menikmati kehidupan bebas yaitu nggak mendapat gangguan dari Bunga. Perempuan bintang iklan itu tampak gengsi semenjak perselisihan mereka, nggak mau menghubungi Vano terlebih dahulu. Malah Bunga selalu menghubungi Mita dan Mita selalu menyampaikan kepadanya. Namun karena memang dasarnya Vano sudah nggak ingin dengan Bunga, laki-laki itu selalu mengabaikan. Bahkan sampai bertemu dengan Tante Mawar dan Om Baga
"Bantu saya Mit," ucap Vano ketika mereka terdian agak lama. Mobil Mercedes-Benz GLB-Class melaju masih dengan kecepatan normal. Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi lagi. Dan wiper pun bergerak untuk membantu membersihkan kaca dari air yang menghalangi jarak pandang Vano. Laki-laki yang sedang fokus menyetir itu pun menoleh sekilas pada asistennya dengan ekspresi yang penuh harap bercampur frustasi. Sebuah ekspresi yang jarang diperlihatkan apalagi dengan Mita. Dan mungkin saja gadis itu semakin kebingungan dengan kepribadian Vano. Sebab bagaimana bisa Vano yang terkenal nyinyir dan angkuh meminta tolong dengan bawahan seperti Mita. Suatu hal yang seolah seperti mimpi dan nggak mungkin terjadi. Namun nyatanya memang terjadi. Vano sangking frustasinya telah meminta bantuan Mita setelah melepas semua ego dan harga diri yang laki-laki itu selalu junjung tinggi jika bersama gadis itu. Segitukah ingin lepas dengan Bunga? Lagi pula kenapa bisa seorang Vano yan
Masuk ke dalam kamar, Mita langsung membanting tasnya ke kasur, kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya terlentang menatap langit-langit kamar. Kepalanya terasa sedikit pusing, tubuhnya lebih dari lelah. Sehingga ketika gadis itu baru masuk ke dalam rumah, Ibu Sri yang melihat kegontaian anaknya bertanya heran. "Pulang-pulang lemas, terus di anterin bos, habis ngapain?" "Mbak Mita lembur Bu," sahut Hansel yang sedang menonton acara televisi sendiri. Beruntung adiknya itu sedang pengertian, jadi Mita langsung izin untuk masuk ke dalam kamar karena lelah. "Langsung mandi, biar seger," peringat Ibu Sri sebelum Mita menutup pintu kamarnya. Gadis bermata sipit itu memang nggak pernah membahas pekerjaannya kepada Ibu dan Bapak. Dia lebih banyak curhat dengan Hansel. Walaupun mereka sering bertengkar, nyatanya karena hubungan darah antara kakak dan adik mereka tetap saling mendukung satu sama lainnya. Hansel kalau nggak kumat memang bisa diandalkan. Da
"Aku tuh jadi kesel sendiri gitu Bi, plin-plan banget kalo udah menyangkut urusan uang," curhat Mita semakin mengeluarkan uneg-unegnya. Rasanya dia bisa lega jika sudah membicarakan sesuatu yang mengganjal dengan Bianca. Sebab sahabatnya itu bisa menjadi pendengar yang sangat baik. Nggak menghakimi tapi nggak membela juga. Pokoknya Bianca the best menjadi tempat curhat. "Iya sih, tapi yang aku heranin ya Mit, kok bisa si bos minta bantuan mu? secara gimana ya ngomongnya, aneh aja gitu masa mau putus tapi minta bantuan orang lain." "Nah iya aku juga mikirnya gitu, mau heran tapi ini Pak Vano, kan dia memang begitu, nggak bisa apa-apa selain ngurusin perusahaannya," kata Mita yang sekarang sudah mengubah posisi menjadi duduk bersila memangku bantal tidurnya. Jam dinding di atas pintu sudah menunjuk angka sembilan malam. Mita sebenarnya sudah mandi di rumah Vano, hanya saja nggak ganti. Dia akan mengganti pakaiannya setelah sesi curhat selesai.
Dalam film Harry potter, kebahahagiaan dan kegundahan akan silih berganti. Kebahagiaan setelah menyelesaikan misi atau teka-teki, namun kembali gundah bahwa harus menyelesaikan suatu masalah besar yang akan datang. Seenggaknya itulah yang dirasakan oleh Mita. Dia merasa bahagia, namun secepat kilat menjadi gundah gulana yang menimbulkan kebingungan untuknya. Kini gadis bermata sipit itu sedang duduk di sebuah cafe depan kantor Miyora, duduk di bangku pojok sembari menatap luar dari balik jendela kaca. Dia sendirian dan sedang nggak berminat diajak berkumpul dengan Farhan dan kawan-kawan. "Lo makin hari, makin nggak asik deh Mit," kata Farhan begitu mereka bertemu saat Mita akan keluar gedung menuju cafe. Laki-laki itu seperti biasa, berpenampilan rapih dan modis dengan gaya penggoda yang kuat. Sebenarnya Mita memang merasakan perubahannya sendiri. Benar yang dikatakan Farhan bahwa dia semakin hari semakin nggak asik. Mita pun mengakui sendiri dan hal itu ngga
Hari sudah sore, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Tetes demi tetes, rintik-rintik yang awalnya kecil menjadi besar bak pasukan yang menyerang dengan cepat. Sedangkan itu seseorang berbadan tegap dan macho hanya menatapnya lewat jendela kaca besar sembari menyesap kopi buatan asistennya yang sudah dingin. Jam di dinding sudah menunjuk pukul lima sore, tandanya sudah waktunya pulang ke rumah masing-masing. Namun di luar sedang hujan, beberapa karyawan pun terpaksa berdiam di kantor menunggu hujan sedikit reda. Seperti halnya Vano. Tuan muda itu tampak tenang ketika melihat hujan yang turun lewat jendela kaca ruangannya. Suasana yang mendamaikan itu menyeret kenangan masa kecilnya tentang hujan kembali dalam ingatan. ~Flashback~ "Van, main hujan sana." "Enggak Pah, nanti sakit." Pak Iskandar yang mendengar penolakan anaknya segera masuk ke dalam kamar sang anak. Vano sedang rebahan di kasurnya sembari membaca buku tentan