"Benar." Dewa menatapnya lekat-lekat. "Saya tertarik dengan cara Anda mengelola perusahaan ini. Berani, inovatif, dan penuh integritas. Saya pikir saya bisa belajar banyak dari Anda."
Clara memandangi Dewa, mencari kebohongan di matanya. Tidak ada. Matanya hanya menunjukkan kejujuran, dan entah mengapa, sedikit misteri. "Kenapa Anda tertarik dengan posisi ini? Mengapa Anda rela menjadi asisten, Dewa?" tanya Clara, suaranya lembut. "Saya yakin dengan kemampuan Anda, Anda bisa mendapatkan posisi yang lebih baik." Dewa memiringkan kepalanya sedikit. "Menurut Anda, apa yang lebih baik dari bekerja pada perusahaan yang sejak dulu aku impikan? Saya sudah mengikuti perjalanan perusahaan ini sejak lama, Nona Clara." Pernyataan Dewa membuat Clara terhenyak, rupanya orang yang selalu ia sukai telah mengikuti perjalanan perusahaan yang ia pimpin. Takdir memang lucu, tapi selalu ia suka. "Kak Dewa, kamu tidak tahu, aku selalu menunggu pertemuan ini sejak dulu?" batin Clara. Ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Ia harus profesional. "Berkas Anda," kata Clara, mengambil berkas tebal di meja. "Luar biasa. Pengalaman kerja Anda di perusahaan-perusahaan besar, prestasi akademis Anda... Mengapa Anda tidak bekerja di sana lagi?" "Saya mencari tantangan baru," jawab Dewa singkat. "Tantangan baru? Mengapa tantangannya harus di sini, menjadi asisten saya?" desak Clara, merasa ada sesuatu yang tidak Dewa katakan. Dewa mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Clara dengan intens. "Karena saya percaya, kita bisa mencapai banyak hal bersama." Kalimat itu, diucapkan dengan penuh karisma, berhasil membuat Clara kehabisan kata-kata. Ia bisa merasakan tarikan magnetis dari Dewa, aura yang sama yang membuatnya jatuh cinta di masa lalu. Ia kembali menjadi Clara yang berusia tiga belas tahun, yang hanya bisa menatap punggung Dewa dari kejauhan. Melda, yang sedari tadi hanya menyimak, berdeham. "Nona Clara, mungkin Anda ingin memeriksa berkasnya lebih detail nanti?" Clara mengabaikan Melda. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Dewa. "Jadi, Anda bersedia menjadi asisten saya?" "Bersedia," jawab Dewa, tanpa ragu. "Meski saya banyak tuntutan, suka marah, dan tidak kenal waktu?" Dewa tersenyum lagi. Kali ini, senyum itu lebih tulus. "Saya sudah siap dengan itu. Saya tahu Anda tegas, tapi saya juga tahu Anda memiliki hati yang lembut." Hati Clara berdesir. Bagaimana Dewa bisa tahu? Apakah ia selalu mengamatinya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benaknya, namun ia tidak berani mengucapkannya. "Baiklah," kata Clara, membuat keputusan yang sangat cepat. "Anda diterima." Melda menatap Clara dengan mata melotot, seolah tidak percaya. "Nona Clara, apakah Anda tidak ingin—" "Tidak, Melda. Saya sudah memutuskan," potong Clara. Ia kembali menatap Dewa. "Selamat datang di tim saya, Dewa. Jangan mengecewakan saya." Dewa bangkit dari kursinya. Ia mendekat ke arah meja Clara, mengulurkan tangannya. Tangannya yang besar dan hangat menggenggam tangan Clara. Sentuhan itu... membuat seluruh tubuh Clara seperti dialiri listrik. "Saya tidak akan mengecewakan Anda," bisik Dewa, suaranya begitu dekat hingga Clara bisa merasakan napasnya. "Saya jamin, Anda tidak akan pernah menyesali keputusan ini." Mata mereka bertemu. Di mata Dewa, Clara tidak hanya melihat janji, tetapi juga sebuah misteri. Sebuah misi yang tersembunyi, yang hanya Dewa yang tahu. Namun, pada saat itu, semua itu tidak penting. Yang penting, Dewa kembali. Pria yang ia cintai sejak lama, kini berada di hadapannya, siap menjadi bagian dari hidupnya. Sebuah babak baru dalam hidupnya, dan mungkin babak baru dalam kisah cinta yang belum pernah dimulai, kini siap untuk ditulis. Untuk mengurai kegugupannya, Clara berdehem. Lalu nampak kikuk sebelum berkata, "Tolong atur jadwalku, dan untuk minggu depan ada jamuan bisnis, acara itu harus disiapkan sebaik mungkin." "Baik, noted, Nona Clara... " Ujar Dewa profesional. "Thank You, Dewa... " Ujar Clara sambil tersenyum lebar. Sebuah senyuman yang sangat langka, sampai-sampai Melda gemetar mencari-cari aplikasi kamera di ponselnya, ingin mengabadikan momen bersejarah itu. "Ok, Nona Clara... " Ujar Dewa seraya tersenyum. Senyuman yang di mata Clara terlihat sangat menawan. “Melda, tolong antarkan Dewa ke ruangannya, dan infokan semua jadwalku dan rutinitasku juga ya.” Ujar Clara pada Melda yang sedang sibuk memotret. “Melda… !” Suara Clara meninggi sementara Dewa mengulum senyum melihat tingkah lucu Melda. “Ah, iya, maaf Nona Clara… “ Melda yang baru sadar, cepat-cepat menyimpan ponselnya. Dan mengantar Dewa ke ruangannya.Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s
Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan
Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening
Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p
Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,
Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem