Share

Bab 2

Author: Athena Hexa
last update Huling Na-update: 2025-07-31 17:03:34

"Benar." Dewa menatapnya lekat-lekat. "Saya tertarik dengan cara Anda mengelola perusahaan ini. Berani, inovatif, dan penuh integritas. Saya pikir saya bisa belajar banyak dari Anda."

 Clara memandangi Dewa, mencari kebohongan di matanya. Tidak ada. Matanya hanya menunjukkan kejujuran, dan entah mengapa, sedikit misteri.

 "Kenapa Anda tertarik dengan posisi ini? Mengapa Anda rela menjadi asisten, Dewa?" tanya Clara, suaranya lembut. "Saya yakin dengan kemampuan Anda, Anda bisa mendapatkan posisi yang lebih baik."

 Dewa memiringkan kepalanya sedikit. "Menurut Anda, apa yang lebih baik dari bekerja pada perusahaan yang sejak dulu aku impikan? Saya sudah mengikuti perjalanan perusahaan ini sejak lama, Nona Clara."

 Pernyataan Dewa membuat Clara terhenyak, rupanya orang yang selalu ia sukai telah mengikuti perjalanan perusahaan yang ia pimpin. Takdir memang lucu, tapi selalu ia suka. 

 "Kak Dewa, kamu tidak tahu, aku selalu menunggu pertemuan ini sejak dulu?" batin Clara. Ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Ia harus profesional.

 "Berkas Anda," kata Clara, mengambil berkas tebal di meja. "Luar biasa. Pengalaman kerja Anda di perusahaan-perusahaan besar, prestasi akademis Anda... Mengapa Anda tidak bekerja di sana lagi?"

 "Saya mencari tantangan baru," jawab Dewa singkat.

 "Tantangan baru? Mengapa tantangannya harus di sini, menjadi asisten saya?" desak Clara, merasa ada sesuatu yang tidak Dewa katakan.

 Dewa mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Clara dengan intens. "Karena saya percaya, kita bisa mencapai banyak hal bersama."

 Kalimat itu, diucapkan dengan penuh karisma, berhasil membuat Clara kehabisan kata-kata. Ia bisa merasakan tarikan magnetis dari Dewa, aura yang sama yang membuatnya jatuh cinta di masa lalu. Ia kembali menjadi Clara yang berusia tiga belas tahun, yang hanya bisa menatap punggung Dewa dari kejauhan.

 Melda, yang sedari tadi hanya menyimak, berdeham. "Nona Clara, mungkin Anda ingin memeriksa berkasnya lebih detail nanti?"

 Clara mengabaikan Melda. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Dewa. "Jadi, Anda bersedia menjadi asisten saya?"

 "Bersedia," jawab Dewa, tanpa ragu.

 "Meski saya banyak tuntutan, suka marah, dan tidak kenal waktu?"

 Dewa tersenyum lagi. Kali ini, senyum itu lebih tulus. "Saya sudah siap dengan itu. Saya tahu Anda tegas, tapi saya juga tahu Anda memiliki hati yang lembut."

 Hati Clara berdesir. Bagaimana Dewa bisa tahu? Apakah ia selalu mengamatinya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benaknya, namun ia tidak berani mengucapkannya.

 "Baiklah," kata Clara, membuat keputusan yang sangat cepat. "Anda diterima."

 Melda menatap Clara dengan mata melotot, seolah tidak percaya. "Nona Clara, apakah Anda tidak ingin—"

 "Tidak, Melda. Saya sudah memutuskan," potong Clara. Ia kembali menatap Dewa. "Selamat datang di tim saya, Dewa. Jangan mengecewakan saya."

 Dewa bangkit dari kursinya. Ia mendekat ke arah meja Clara, mengulurkan tangannya. Tangannya yang besar dan hangat menggenggam tangan Clara. Sentuhan itu... membuat seluruh tubuh Clara seperti dialiri listrik.

 "Saya tidak akan mengecewakan Anda," bisik Dewa, suaranya begitu dekat hingga Clara bisa merasakan napasnya. "Saya jamin, Anda tidak akan pernah menyesali keputusan ini."

 Mata mereka bertemu. Di mata Dewa, Clara tidak hanya melihat janji, tetapi juga sebuah misteri. Sebuah misi yang tersembunyi, yang hanya Dewa yang tahu. Namun, pada saat itu, semua itu tidak penting. Yang penting, Dewa kembali. 

Pria yang ia cintai sejak lama, kini berada di hadapannya, siap menjadi bagian dari hidupnya. Sebuah babak baru dalam hidupnya, dan mungkin babak baru dalam kisah cinta yang belum pernah dimulai, kini siap untuk ditulis.

 Untuk mengurai kegugupannya, Clara berdehem. Lalu nampak kikuk sebelum berkata, "Tolong atur jadwalku, dan untuk minggu depan ada jamuan bisnis, acara itu harus disiapkan sebaik mungkin."

 "Baik, noted, Nona Clara... " Ujar Dewa profesional. 

 "Thank You, Dewa... " Ujar Clara sambil tersenyum lebar. Sebuah senyuman yang sangat langka, sampai-sampai Melda gemetar mencari-cari aplikasi kamera di ponselnya, ingin mengabadikan momen bersejarah itu. 

 "Ok, Nona Clara... " Ujar Dewa seraya tersenyum. 

 Senyuman yang di mata Clara terlihat sangat menawan. 

“Melda, tolong antarkan Dewa ke ruangannya, dan infokan semua jadwalku dan rutinitasku juga ya.” Ujar Clara pada Melda yang sedang sibuk memotret. “Melda… !” Suara Clara meninggi sementara Dewa mengulum senyum melihat tingkah lucu Melda. 

“Ah, iya, maaf Nona Clara… “ Melda yang baru sadar, cepat-cepat menyimpan ponselnya. Dan mengantar Dewa ke ruangannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 29

    "Aku tahu, Dewa," suara itu kembali terdengar. "Aku tahu kau rela melakukan apa saja untuk wanita ini. Kau rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu." Suara itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kau tahu, aku sangat suka menonton drama. Dan sekarang, aku akan menciptakan sebuah drama untukmu. Kau tahu, satu tepuk, dua nyamuk tertangkap. Kamu dan dia akan segera mati.""Apa maumu?" tanya Dewa, suaranya dingin."Mudah saja. Aku ingin kau berlutut di hadapanku," kata suara itu. "Jika kau berlutut, aku akan melepaskan wanita ini. Dan kau... kau akan mendapatkan hadiah dariku."Dewa membeku. Ia tidak pernah berlutut di hadapan siapa pun. Bahkan di hadapan kakeknya sendiri. Berlutut di hadapan orang yang tidak ia kenal, itu adalah sebuah penghinaan. Namun, ia tidak peduli. Ia akan berlutut. Ia akan melakukan apa saja untuk Clara.Clara, yang mendengar perkataan itu, langsung menggelengkan kepalanya. Air matanya mengalir deras. Ia tidak ingin Dewa berlutut.

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 28

    Clara merasa takut. Apalagi membayangkan jika penculiknya tidak akan segan-segan untuk mencelakai Dewa. Ia pun mencoba berteriak lagi, memanggil nama Dewa."Jangan khawatir," lanjut suara itu. "Aku akan memastikan dia datang kemari. Dan dia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana kami memperlakukan wanita yang dicintainya."Clara membelalakkan matanya. Jantungnya berdebar kencang. Suara itu tertawa, lalu melanjutkan, "Kalian tahu apa yang harus dilakukan."Para pria berpakaian hitam itu mulai mendekat. Clara merasa panik. Ia mencoba berteriak, mencoba melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak berdaya. Ia merasa sangat takut. Salah satu dari mereka menunduk, lalu menarik kerah gaunnya. Kain satin yang ia kenakan robek, memperlihatkan pundaknya yang mulus. Clara menangis, air matanya membasahi lakban yang menutup mulutnya."Jangan takut, Nona. Ini hanya akan menyakitkan sebentar," bisik salah satu dari mereka, dengan suara serak. "Tuan kami hanya ingin bersenang-senan

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 27

    "Sebelum lanjut kita ke markas dulu!" Seru Dewa penuh antisipasi. Dewa tiba di markasnya, sebuah bangunan minimalis di kawasan elit Jakarta. Ruangan itu dipenuhi dengan monitor yang menampilkan berbagai grafik dan data. Begitu ia melangkah masuk, semua orang langsung berdiri, menyambutnya dengan hormat. Dewa tidak membuang waktu. Ia berjalan ke meja utama. "Cek semua CCTV di kota ini yang dilewati mobil itu," perintah Dewa, suaranya dipenuhi otoritas yang tak terbantahkan. "Aku ingin kalian lacak pergerakannya dengan teliti!"Kevin dan timnya segera bekerja. Jari-jari mereka menari di atas keyboard komputer, mata mereka fokus pada monitor yang menampilkan ribuan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota. Suara klik tombol dan bisikan-bisikan pelan memenuhi ruangan.Dewa menatap monitor, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, Clara dalam bahaya. Ia tahu, ia harus menemukannya secepat mungkin. Rasa bersalah dan penyesalan menggerogoti hatinya. Ia seharusnya tidak membiarkan Clara sendirian.

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 26

    Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Hatinya dipenuhi tekad, ia harus menemui Clara dan meluruskan semua kesalahpahaman. Ia tahu, foto-foto itu adalah kebohongan yang disebarkan untuk menghancurkan mereka.Sesampainya di kantor Clara, Dewa langsung berlari ke dalam gedung. Ia tidak memedulikan satpam yang berteriak padanya. Ia masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai Clara, hatinya berdebar kencang. Ia berharap Clara masih berada di ruangannya, menunggu Dewa. Namun, saat pintu lift terbuka, Dewa langsung menuju ruangan Clara. "Clara...?!"Ia menemukan ruangan Clara kosong. Komputer Clara mati, dan tidak ada tanda-tanda Clara di sana.Dewa segera berbalik dan berlari ke meja keamanan. Ia menemui satpam yang berada di sana, satpam yang tadi berteriak padanya. "Di mana Nona Clara?" tanya Dewa, suaranya dipenuhi rasa panik."Nona Clara? Tadi pagi, keluarga Wijaya datang menjemputnya untuk persiapan pertunangan," jawa

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 25

    Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Namun, pandangannya kosong, dan hatinya terasa hancur berkeping-keping. Ucapan Clara terngiang-ngiang di telinganya. Silakan ajukan resign. Aku akan mencari asisten lain yang lebih profesional. Lupakan saja. Semalam tidak pernah terjadi. Kata-kata itu begitu tajam, begitu dingin, begitu berbeda dari Clara yang ia kenal semalam.Sambil mengemudi, Dewa mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Halo, Tunda acara lamaran siang ini," katanya dengan suara tegas. "Aku ingin kau selidiki siapa di balik penyerangan tadi malam. Aku mau tahu siapa dalangnya."Ia lalu menghubungi nomor lain, nomor kakeknya. "Kakek... maaf, aku harus membatalkan acara lamaran siang ini.""Apa?! Kenapa?!" Suara kakeknya terdengar kaget dan marah. "Semua sudah siap! Kenapa kamu batalkan, Dewa?!""Ada hal yang harus aku selesaikan, Kek," jawab Dewa, suaranya dipenuhi rasa frustrasi. "Maafkan aku."Ia meng

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 24

    Clara menatap Dewa dengan mata yang dingin, menyembunyikan badai di dalam hatinya. Dewa merasa hatinya sangat sakit, ia menatap dalam ke arah Clara mencoba menggali kebenaran dalam tatapan dingin itu. Dewa perlahan meraih tubuh ramping Clara dan memeluknya perlahan. sebuah pelukan yang terasa rapuh, tak bertenaga, dan begitu lembut. Clara diam. Ia tak menolak. Anggap saja ini pelukan terakhir kita, batin Clara. Dewa yang merasa Clara tak menolaknya namun juga tak membalas pelukannya, menatap Clara sekilas. Wajah cantik itu masih sedingin es, Dewa memeluk Clara semakin erat. di telinga Clara, Dewa berbisik, "Bahkan kamu bisa menghukumku jika aku salah, asal Kamu tidak menikahi orang lain. " Suara Dewa terdenga bergetar. tidak seperti suaranya yang selalu lantang dan tegas saat presentasi. atau sikapnya yang selalu profesional. Dewa kini memperlihatkan sisi rapuhnya. Pelukan itu sudah lebih dari lima menit, semakin lama memeluk Clara, Dewa semakin hancur karena Clara seperti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status