Share

Bab 3

Author: Athena Hexa
last update Last Updated: 2025-07-31 20:44:09

Satu minggu telah berlalu sejak Dewa Pradipta resmi menjabat sebagai asisten pribadi Clara Arneta Wijaya. Dalam waktu sesingkat itu, rutinitas Clara yang sebelumnya kaku dan dingin telah berubah total. 

   Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari sepenuhnya terbit, Dewa sudah berada di lobi apartemen Clara, menunggu dengan sabar. Dia tidak pernah terlambat, tidak pernah mengeluh. Penampilannya selalu sempurna. 

   Hari ini, ia mengenakan kemeja biru muda yang rapi dengan celana bahan hitam, garis-garis lipatan pada celananya begitu presisi seolah baru keluar dari laundry. 

   Sebuah tablet berada di tangan kirinya, siap sedia untuk mencatat setiap agenda Clara. Karisma dan aura profesionalismenya begitu kuat, membuat setiap orang yang melihatnya merasa harus bersikap sama.

  Ketika pintu lift terbuka, Clara keluar dengan blouse sutra putih yang mengalir lembut di tubuhnya dan rok pensil hitam yang mempertegas lekuk pinggangnya. Rambutnya diikat rapi, riasan tipis menonjolkan mata indahnya. Ia terlihat lelah, tetapi begitu melihat Dewa, senyum tipis terukir di bibirnya.

  "Selamat pagi, Nona Clara," sapa Dewa ramah, suaranya yang dalam dan berwibawa selalu sukses menciptakan getaran aneh di hati Clara.

  Clara mengangguk  pelan, "Pagi, Dewa."

Saat pandangan keduanya bertemu, Dewa tersenyum tipis. Senyum yang selalu berhasil membuat jantung Clara berdebar kencang. 

   Senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya, tetapi cukup untuk membuat Clara salah tingkah.

  Sepanjang perjalanan menuju kantor, interaksi mereka terjalin dengan mulus. Dewa membacakan jadwal Clara dengan intonasi yang jelas dan detail, sesekali menyelipkan informasi tambahan yang relevan. 

   Ia seperti ensiklopedia berjalan. Ia tahu persis kapan Clara membutuhkan kopi, kapan ia harus istirahat, dan kapan ia butuh waktu sendiri. Ia bukan hanya asisten, ia adalah pembaca pikiran yang ulung. 

   Sesekali, ia melontarkan lelucon ringan yang cerdas, yang membuat Clara tertawa lepas, sebuah hal yang jarang terjadi dalam hidupnya yang penuh tekanan. Kehadiran Dewa bagaikan angin segar yang menyentuh hidup Clara, mengubah hari-harinya yang kaku dan monoton menjadi lebih berwarna. Ia merasa tidak sendirian.

  Sore harinya, mereka bersiap untuk menghadiri sebuah jamuan bisnis penting di sebuah hotel mewah di pusat kota. Acara ini merupakan salah satu acara paling bergengsi dalam dunia bisnis. 

  Clara tampak memesona, mengenakan gaun sleeveless berwarna merah marun yang pas memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu menonjolkan bahunya yang indah dan memancarkan aura elegan dan kekuatan. Di lehernya, tergantung kalung mutiara sederhana yang menjadi satu-satunya perhiasan, menambah kesan anggun. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya.

  "Gaun itu sangat cocok denganmu," puji Dewa, matanya menatap Clara dari atas ke bawah, "Kamu terlihat... menakjubkan."

  Clara merasa pipinya memanas mendengar pujian itu. Ia mencoba menyembunyikan senyum malu-malunya. 

  "Terima kasih, Dewa. Kamu juga terlihat... baik." Kalimatnya terasa hambar, ia merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa memberikan pujian yang sama menariknya.

  Dewa hanya tersenyum tipis. Ia sendiri mengenakan setelan jas hitam yang memancarkan aura profesionalisme dan daya tarik yang kuat. Jas itu membalut bahunya yang tegap, menonjolkan postur tubuhnya yang atletis. Rambutnya ditata rapi, dan sorot matanya yang tajam dan waspada membuatnya terlihat seperti seorang pengawal pribadi yang handal.

  Ketika mereka memasuki ballroom yang gemerlap, Dewa mengambil tempat di belakang Clara. Gerakannya luwes, matanya mengamati setiap sudut ruangan, mencatat setiap detail. Ia menjaga jarak agar tetap profesional, tetapi cukup dekat jika Clara membutuhkan sesuatu. Ia adalah bayangan Clara, selalu ada, tetapi tidak pernah mengganggu.

  "Clara!"

  Suara familiar itu membuat Clara menoleh. Hatinya berdesir, bukan karena bahagia, melainkan karena rasa cemas yang samar. Ayahnya, David Wijaya, berjalan ke arahnya. Clara mencoba menenangkan diri dan memaksakan senyum sopan di wajahnya.

  "Ayah," sapa Clara, mencium punggung tangan ayahnya.

  David tersenyum hangat, senyum yang jarang ia tunjukkan kepadanya. "Bagaimana kabarmu, Nak? Ayah senang melihatmu di sini. Kau terlihat cantik sekali malam ini."

  "Saya baik, Ayah. Ayah bagaimana?"

  "Ayah juga baik. Kerja kerasmu di perusahaan ibumu membuat Ayah bangga," ujar David, menepuk lembut bahu Clara. Momen itu terasa begitu nyata, begitu hangat, dan Clara hampir saja terlena dalam kehangatan sesaat itu. Namun, kehangatan itu segera hancur.

  "David! Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa tidak memberitahu aku?"

Suara melengking itu milik Wina, ibu tiri Clara. Ia berjalan cepat, dengan gaun ungu mencolok dan riasan tebal. Di belakangnya, Belinda, adik tiri Clara, mengikuti dengan gaun fuchsia yang terlalu ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya yang sengaja dipertontonkan. Keduanya berjalan bak ratu, menarik perhatian banyak orang.

  Belinda, saat matanya bertemu dengan Dewa, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya terbelalak, ia seperti baru saja melihat patung dewa Yunani yang hidup. Senyum genit langsung terukir di bibirnya. "Dewa?"

  Clara kaget. "Kalian saling kenal?"

  Dewa mengangguk pelan. "Kami pernah bertemu, sebelumnya." Ia menjaga jawabannya tetap singkat dan tidak menjelaskan detailnya.

  Wina menatap Clara dengan sinis, matanya dipenuhi kebencian. "Oh, jadi ini asisten barumu? Anak pembawa sial. Ibumu mati keracunan di hari ulang tahunmu, Kakekmu mati saat akan menghadiri acara kelulusanmu, sekarang Kamu masih berani menempatkan orang jadi asistenmu! Apa tidak takut dia akan mati sia-sia? " Ujar Wina tanpa perasaan. 

  Kata-kata Wina menusuk hati Clara. Ia merasa seluruh tubuhnya menegang. "Wina, jaga bicaramu!" Bentak David. 

  "Memangnya kenapa? Dia pantas mendapatkan itu. Gaunnya kelihatan sangat mahal, jangan bilang dia mau pamer di hadapan kita. Pasti hasil dari uang perusahaan ibunya," balas Wina dengan nada penuh cemoohan.

  David mencoba menenangkan mereka. "Sudah, Wina, Belinda. Jangan membuat keributan di sini. Ini acara penting."

  "Ayah!" Belinda merajuk, "Lihat kakak! Sekarang kakak pakai gaun yang sangat cantik dan kelihatannya sangat mahal. Sudah lama kakak tidak pulang ke rumah, aku kira sebagai saudara, kakak ingat padaku ! Harusnya dia juga membelikan aku saudaranya, gaun yang sama mahalnya!" Wajahnya nampak murung.

David menggenggam tangan Belinda dan menyuruhnya jangan merajuk. Clara melihat pemandangan itu dengan mata yang kian memanas.

Ia kemudian beralih ke Dewa, senyumnya kini semakin menggoda. "Dewa, ayo kita bicara di sana. Kudengar kamu sangat profesional, aku butuh asisten sepertimu." Ia berusaha meraih tangan Dewa, tetapi Dewa menolak dengan lembut, tanpa menyentuh tangan Belinda.

  "Maaf, Nona Belinda. Saya sedang bertugas," kata Dewa, suaranya tenang, datar, dan profesional.

  Belinda menatap Dewa dengan heran, seolah tidak percaya. "Tapi, Dewa..."

  Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Wina mengambil segelas sirup strawberry dari meja terdekat dan, dengan sengaja, menyiramkannya ke dada Clara. Clara menjerit kaget, bukan karena sakit, tetapi karena terhina. Gaun merah marunnya kini ternoda dengan noda lengket berwarna merah cerah. Sirup itu menetes di kulitnya, terasa lengket dan dingin. Seluruh mata di ballroom menoleh ke arah mereka, menciptakan keributan yang tidak bisa dihindari. Wina dan Belinda terkikik puas, menikmati momen memalukan Clara.

  "Ups, maaf, Clara. Tangan Mama terpeleset," ujar Wina dengan nada mengejek yang sangat kentara.

  Clara merasa gemetar, air mata hampir jatuh. Ia menutupi dadanya yang basah dengan kedua tangannya, mencoba menyembunyikan noda yang memalukan itu. Ia merasa ingin menghilang dari muka bumi. Namun, sebelum air matanya benar-benar jatuh, Dewa, dengan sigap dan cepat, melepas jasnya.

  "Maaf," bisik Dewa, suaranya begitu dekat hingga Clara bisa merasakan napasnya. "Ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 29

    "Aku tahu, Dewa," suara itu kembali terdengar. "Aku tahu kau rela melakukan apa saja untuk wanita ini. Kau rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu." Suara itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kau tahu, aku sangat suka menonton drama. Dan sekarang, aku akan menciptakan sebuah drama untukmu. Kau tahu, satu tepuk, dua nyamuk tertangkap. Kamu dan dia akan segera mati.""Apa maumu?" tanya Dewa, suaranya dingin."Mudah saja. Aku ingin kau berlutut di hadapanku," kata suara itu. "Jika kau berlutut, aku akan melepaskan wanita ini. Dan kau... kau akan mendapatkan hadiah dariku."Dewa membeku. Ia tidak pernah berlutut di hadapan siapa pun. Bahkan di hadapan kakeknya sendiri. Berlutut di hadapan orang yang tidak ia kenal, itu adalah sebuah penghinaan. Namun, ia tidak peduli. Ia akan berlutut. Ia akan melakukan apa saja untuk Clara.Clara, yang mendengar perkataan itu, langsung menggelengkan kepalanya. Air matanya mengalir deras. Ia tidak ingin Dewa berlutut.

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 28

    Clara merasa takut. Apalagi membayangkan jika penculiknya tidak akan segan-segan untuk mencelakai Dewa. Ia pun mencoba berteriak lagi, memanggil nama Dewa."Jangan khawatir," lanjut suara itu. "Aku akan memastikan dia datang kemari. Dan dia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana kami memperlakukan wanita yang dicintainya."Clara membelalakkan matanya. Jantungnya berdebar kencang. Suara itu tertawa, lalu melanjutkan, "Kalian tahu apa yang harus dilakukan."Para pria berpakaian hitam itu mulai mendekat. Clara merasa panik. Ia mencoba berteriak, mencoba melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak berdaya. Ia merasa sangat takut. Salah satu dari mereka menunduk, lalu menarik kerah gaunnya. Kain satin yang ia kenakan robek, memperlihatkan pundaknya yang mulus. Clara menangis, air matanya membasahi lakban yang menutup mulutnya."Jangan takut, Nona. Ini hanya akan menyakitkan sebentar," bisik salah satu dari mereka, dengan suara serak. "Tuan kami hanya ingin bersenang-senan

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 27

    "Sebelum lanjut kita ke markas dulu!" Seru Dewa penuh antisipasi. Dewa tiba di markasnya, sebuah bangunan minimalis di kawasan elit Jakarta. Ruangan itu dipenuhi dengan monitor yang menampilkan berbagai grafik dan data. Begitu ia melangkah masuk, semua orang langsung berdiri, menyambutnya dengan hormat. Dewa tidak membuang waktu. Ia berjalan ke meja utama. "Cek semua CCTV di kota ini yang dilewati mobil itu," perintah Dewa, suaranya dipenuhi otoritas yang tak terbantahkan. "Aku ingin kalian lacak pergerakannya dengan teliti!"Kevin dan timnya segera bekerja. Jari-jari mereka menari di atas keyboard komputer, mata mereka fokus pada monitor yang menampilkan ribuan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota. Suara klik tombol dan bisikan-bisikan pelan memenuhi ruangan.Dewa menatap monitor, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, Clara dalam bahaya. Ia tahu, ia harus menemukannya secepat mungkin. Rasa bersalah dan penyesalan menggerogoti hatinya. Ia seharusnya tidak membiarkan Clara sendirian.

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 26

    Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Hatinya dipenuhi tekad, ia harus menemui Clara dan meluruskan semua kesalahpahaman. Ia tahu, foto-foto itu adalah kebohongan yang disebarkan untuk menghancurkan mereka.Sesampainya di kantor Clara, Dewa langsung berlari ke dalam gedung. Ia tidak memedulikan satpam yang berteriak padanya. Ia masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai Clara, hatinya berdebar kencang. Ia berharap Clara masih berada di ruangannya, menunggu Dewa. Namun, saat pintu lift terbuka, Dewa langsung menuju ruangan Clara. "Clara...?!"Ia menemukan ruangan Clara kosong. Komputer Clara mati, dan tidak ada tanda-tanda Clara di sana.Dewa segera berbalik dan berlari ke meja keamanan. Ia menemui satpam yang berada di sana, satpam yang tadi berteriak padanya. "Di mana Nona Clara?" tanya Dewa, suaranya dipenuhi rasa panik."Nona Clara? Tadi pagi, keluarga Wijaya datang menjemputnya untuk persiapan pertunangan," jawa

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 25

    Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Namun, pandangannya kosong, dan hatinya terasa hancur berkeping-keping. Ucapan Clara terngiang-ngiang di telinganya. Silakan ajukan resign. Aku akan mencari asisten lain yang lebih profesional. Lupakan saja. Semalam tidak pernah terjadi. Kata-kata itu begitu tajam, begitu dingin, begitu berbeda dari Clara yang ia kenal semalam.Sambil mengemudi, Dewa mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Halo, Tunda acara lamaran siang ini," katanya dengan suara tegas. "Aku ingin kau selidiki siapa di balik penyerangan tadi malam. Aku mau tahu siapa dalangnya."Ia lalu menghubungi nomor lain, nomor kakeknya. "Kakek... maaf, aku harus membatalkan acara lamaran siang ini.""Apa?! Kenapa?!" Suara kakeknya terdengar kaget dan marah. "Semua sudah siap! Kenapa kamu batalkan, Dewa?!""Ada hal yang harus aku selesaikan, Kek," jawab Dewa, suaranya dipenuhi rasa frustrasi. "Maafkan aku."Ia meng

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 24

    Clara menatap Dewa dengan mata yang dingin, menyembunyikan badai di dalam hatinya. Dewa merasa hatinya sangat sakit, ia menatap dalam ke arah Clara mencoba menggali kebenaran dalam tatapan dingin itu. Dewa perlahan meraih tubuh ramping Clara dan memeluknya perlahan. sebuah pelukan yang terasa rapuh, tak bertenaga, dan begitu lembut. Clara diam. Ia tak menolak. Anggap saja ini pelukan terakhir kita, batin Clara. Dewa yang merasa Clara tak menolaknya namun juga tak membalas pelukannya, menatap Clara sekilas. Wajah cantik itu masih sedingin es, Dewa memeluk Clara semakin erat. di telinga Clara, Dewa berbisik, "Bahkan kamu bisa menghukumku jika aku salah, asal Kamu tidak menikahi orang lain. " Suara Dewa terdenga bergetar. tidak seperti suaranya yang selalu lantang dan tegas saat presentasi. atau sikapnya yang selalu profesional. Dewa kini memperlihatkan sisi rapuhnya. Pelukan itu sudah lebih dari lima menit, semakin lama memeluk Clara, Dewa semakin hancur karena Clara seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status