Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara.
Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap demikian. Padahal, tanpa semua orang tahu, Belinda dan Dewa pernah berhubungan sangat akrab saat keduanya kuliah di luar negeri. Tapi, Belinda tak pernah tahu latar belakang keluarga Dewa. Ia merasa malu dan marah pada saat yang sama. David hanya bisa menghela napas pasrah, menatap kepergian Dewa dan Clara dengan perasaan bersalah yang tak terucap. Di mobil, Clara tidak bisa menahan tangisnya lagi. Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku malu, Dewa. Aku benar-benar malu." Dewa mengambil tisu dari kotak di depannya dan dengan lembut mengusap air mata Clara. "Tidak ada yang perlu kamu jadikan alasan untuk malu. Kamu tidak melakukan kesalahan. Mereka yang salah, Clara." "Mereka selalu seperti itu. Mereka selalu mempermalukan aku," kata Clara, suaranya bergetar. Tersimpan kemarahan dalam kata-katanya. Dewa hanya diam, tetapi tangannya terus mengusap bahu Clara, menenangkannya. "Kamu kuat, Clara. Jangan biarkan mereka menjatuhkanmu." Setibanya di apartemen Clara, Dewa membantu Clara membersihkan gaunnya. "Biarkan aku membersihkan gaunmu," ujarnya. "Tidak usah, Dewa. Nanti saja," jawab Clara. Ia merasa tidak enak karena Dewa harus melakukan hal serendah itu. "Tidak, aku akan melakukannya. Itu tugasku," kata Dewa, "dan tugas asisten adalah melayani atasan." Karena Dewa dan Clara saling berebut tissue, beberapa detik kemudian keduanya malah saling kaku karena menatap pola noda yang mengotori bagian dada. Noda itu tepat berada di bagian buah dada Clara. Clara sangat canggung dan wajahnya merah padam karena malu. Sementara Dewa berusaha tetap profesional, tatapan kakunya hanya beberapa detik lalu cepat-cepat ia menoleh ke samping. "Ma.. Maaf, Clara, aku sudah lancang. ini tissuenya. " Ujar Dewa sambil berusaha tak menunduk. sementara Clara meraih kotak tissue itu lalu berlari ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Clara memilih untuk mandi membersihkan sisa-sisa sirup yang terasa lengket di tubuhnya. Sambil berendam di dalam bath up yang penuh busa sabun dan wewangian aromatherapy, Pikiran Clara melayang ke masa kecilnya yang penuh dengan kebahagiaan. Semua masa dimana saat itu Clara tak pernah sedikitpun membayangkan masa depannya akan seperti ini. Kehilangan orang tersayang, Jauh dari ayah kandung, dan diperlakukan semena-mena oleh ibu sambung dan adik sambungnya. Clara sering bertanya dalam hati, mengapa Wina begitu membencinya? Mengapa Belinda juga selalu memusuhinya? Di awal-awal kehadiran mereka, Clara selalu berusaha mendekat, ramah, mengajaknya bermain bersama, namun apa yang Clara Terima tak lebih hanya kebencian, fitnah-fitnah yang setiap hari selalu terlontar, membuat David bahkan sampai tak mengenal jati diri putrinya. Begitupun Clara yang seolah kehilangan sosok ayahnya, karena, pria yang merawatnya sejak kecil bahkan tak mampu membedakan benar dan salah tentang dirinya. Tak terasa satu jam lamanya, Clara berdiam di kamar mandi, saat ia membuka pintu kamar mandi, tak ada orang di dalam kamarnya. “Dewa… “ Panggil Clara memastikan. Tak ada jawaban. Mungkin Dewa menunggu di luar. Clara keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang hanya mampu menutupi sebatas dada dan bagian atas pahanya yang putih mulus bak pualam. Clara melangkah menuju wardrobe, namun, saat ia akan membuka handuknya dan memakai pakaian, tiba-tjba terdengar suara langkah kaki memasuki area kamarnya. “Dewa, berhenti di situ!” Teriak Clara dengan wajah memerah. “Ada apa, Nona? “ Terdengar suara Dewa, yang begitu patuh dan langsung diam di tempat. “Maaf, kamu bisa tunggu aku di ruang tamu, aku sedang berganti baju.” Ujar Clara malu-malu. Dewa mengacak rambutnya karena merasa lancang dan berbuat bodoh. “ Baik, Nona, aku minta maaf. “Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s
Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan
Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening
Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p
Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,
Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem