Share

Bab 5

Penulis: Athena Hexa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 21:51:40

Keesokan paginya, 

  Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan.

  "Ada apa, Dewa?" tanya Clara.

  "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa.

  Clara mengernyit. "Siapa?"

  Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda."

  Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin.

  Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi.

  "Dewa, bisakah kamu tunggu di luar sebentar? Ini urusan keluarga," kata Belinda dengan nada genit.

 Dewa menatap Clara, menunggu instruksi. Clara mengangguk pelan. "Ya, Dewa. Tunggu di luar."

  Setelah Dewa pergi, Belinda duduk di kursi di hadapan Clara, senyumnya langsung memudar dan digantikan dengan tatapan sinis. "Jadi, ini ruang kerjamu? Lebih bagus dari yang kukira."

  "Belinda, ada apa? Aku sedang sibuk," ucap Clara dingin.

  "Sibuk? Aku rasa kamu terlalu sibuk sampai lupa cara menghormati keluarga, ya? Oh, benar. Kamu tidak punya ibu lagi," kata Belinda, suaranya dipenuhi ejekan. "Ibumu yang sudah mati itu... apa kamu tidak tahu? Dia adalah wanita serakah yang tak punya hati, aku menjalani masa kecilku dengan waktu bersama ayah sangat sedikit, itu semua karena ibumu."

  Kata-kata Belinda menusuk hati Clara. Tangan Clara mengepal di bawah meja. "Jangan bawa-bawa ibuku!"

  "Kenapa? Kamu takut? Kamu pikir kamu lebih baik dariku? Kita sama-sama anak dari David Wijaya, tapi kita punya ibu yang berbeda. Ibuku itu wanita yang sangat baik, tidak sepertimu dan ibumu," lanjut Belinda, sengaja memprovokasi.

  Clara bangkit dari kursinya. "Keluar dari sini, Belinda. Sekarang!"

  Belinda terkekeh sinis. "Kenapa? Marah? Itu saja yang bisa kamu lakukan? Oh, iya. Aku hampir lupa. Kamu sekarang sudah punya Dewa, kan? Pria tampan itu... Dewa yang sangat menawan. Aku rasa dia lebih cocok menjadi asistenku, bukan asistenmu yang selalu menyalahkan orang lain."

  Clara tidak menjawab. Ia hanya menatap Belinda dengan pandangan tajam. Tiba-tiba, Belinda melirik ke arah pintu. Matanya berbinar, dan senyum licik terukir di bibirnya. Tanpa diduga, ia memukul wajahnya sendiri dengan telapak tangannya, menciptakan suara tamparan yang keras. Pipi kirinya langsung memerah. Ia lalu menjatuhkan diri ke lantai, memegangi wajahnya dan berteriak kesakitan.

  "Hentikan, Clara! Hentikan! Aku tahu aku salah! Tapi kamu tidak perlu memukulku!" teriak Belinda, suaranya dibuat seolah sangat kesakitan.

  Pintu ruangan terbuka. Dewa masuk, terkejut melihat pemandangan di depannya. Clara berdiri di dekat mejanya, membeku karena kaget. Sementara Belinda tergeletak di lantai, wajahnya merah dan matanya berair.

  "Ada apa ini?" tanya Dewa, suaranya berubah cemas.

  Belinda merintih. "Dewa... tolong aku... dia memukulku..."

  Dewa segera berlutut di samping Belinda. "Belinda, kamu tidak apa-apa?" Ia memeriksa wajah Belinda dengan hati-hati. Pipi Belinda terlihat merah, seolah baru saja ditampar.

  "Nona Clara..." Dewa menoleh, menatap Clara dengan pandangan kecewa. "Apa yang terjadi?"

  Clara terdiam, tidak bisa berkata-kata. Ia ingin menjelaskan, tetapi kata-kata itu tidak mau keluar. Ia hanya bisa menatap Dewa. Tatapan Dewa yang biasanya penuh kehangatan, kini terlihat dingin dan penuh pertanyaan.

  Belinda, melihat Clara diam, mengambil kesempatan itu. "Dewa, aku pantas mendapatkan ini. Aku tahu aku salah. Ibuku memang mempermalukan Clara. Tapi Clara... dia tidak bisa mengontrol emosinya."

  "Nona, ..." Dewa bangkit, lalu berjalan ke arah Clara. "Apa benar yang dikatakan oleh Belinda?"

  Clara hanya diam, menggelengkan kepalanya pelan. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia merasa semua kata-katanya akan terdengar seperti pembelaan diri yang putus asa.

  Dewa menghela napas. Ia menatap Clara dengan tatapan yang lembut, tetapi penuh kekecewaan. "Nona, aku mengerti kamu marah, tapi tidak seharusnya kamu menggunakan kekerasan. Kamu bisa selesaikan masalah dengan cara lain."

  Hati Clara hancur mendengar ucapan itu. Dewa menyimpulkan ia telah memukul Belinda. Ia tidak mempercayainya. Mata Clara berkaca-kaca, tetapi ia menahannya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Belinda.

  "Aku akan mengantar Belinda pulang," kata Dewa, kembali ke Belinda dan membantunya bangkit. "Belinda, apa kamu bisa berjalan?"

  Belinda mengangguk pelan. "Aku bisa... terima kasih, Dewa. Kamu sangat baik."

  Clara hanya bisa melihat Dewa pergi bersama Belinda. Sepanjang perjalanan turun, Belinda terus bercerita. "Dewa, kamu tahu? Sejak kecil Clara selalu iri padaku. Dia selalu merasa ayahnya lebih menyayangiku. Padahal aku hanya ingin bersikap baik padanya."

  "Belinda, saya rasa itu tidak benar," jawab Dewa, suaranya tenang, tetapi terdengar ada ketidakpercayaan di dalamnya.

  "Tentu saja! Dia anak yang cemburu. Dia selalu ingin ayahnya hanya mencintainya. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah punya keluarga baru," tambah Belinda, air mata palsunya terus mengalir. "Padahal ibuku selalu berusaha menyayanginya seperti anak sendiri."

  Dewa tidak mengatakan apa-apa. Ia mengantar Belinda sampai ke luar gedung, mencarikan taksi. Tadinya ia ingin mengantar sendiri Belinda sampai rumah, tapi entah mengapa ia merasa tak enak pada Clara. 

 "Dewa, kenapa bukan kamu saja yang antar aku pulang?" tanya Belinda sambil merangkul lengan kekar Dewa yang terbalut kemeja rapi. 

 "Belinda, Maaf aku tidak bisa mengantarmu sampai rumah, tapi aku akan carikan taksi yang aman untukmu. " Ujar Dewa mengalihkan pembicaraan. 

 Dewa menunggu taksi datang dan memastikan Belinda sudah masuk taksi sebelum ia kembali ke kantor.

  Dalam perjalanan kembali ke ruangan Clara, Dewa berpikir keras. Apa yang ia lihat tadi benar-benar membuatnya bingung. Di satu sisi, ia tahu Clara adalah wanita yang baik, tetapi ia juga melihat Belinda yang terluka dan Clara yang membisu.

  "Aku punya caraku sendiri," gumam Dewa. "Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

  Ia bertekad untuk mengungkap kebenaran di balik drama yang baru saja ia saksikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 9

    Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 8

    Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 7

    Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 6

    Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 5

    Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 4

    Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status