Share

Bab 6

Penulis: Athena Hexa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 22:15:58

Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya.

 "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang."

 Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan."

 "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan.

 "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas.

 Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, ponsel Dewa berdering. Nama "Kakek" tertera di layar. Dewa menghela napas, lalu mengangkat panggilan itu.

 "Halo, Kakek," sapa Dewa sopan.

 "Dewa, kamu dengar apa yang ajudan katakan? Pulang sekarang," suara tegas dan berwibawa dari seberang sana.

 "Maaf, Kek. Aku belum bisa pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan di sini," jawab Dewa, berusaha menjelaskan dengan sabar.

 "Urusan apa? Bukankah sudah jelas misi yang kuberikan? Kamu harus segera kembali. Jangan membuatku marah," ancam sang kakek.

 "Kek, aku mohon berikan aku sedikit waktu lagi. Aku janji, aku tidak akan mengecewakan Kakek," pinta Dewa, suaranya melembut. "Aku hanya butuh sedikit waktu lagi."

 Sang kakek akhirnya menyerah, suaranya berubah pasrah. "Baiklah. Tapi jangan sampai membuatku menunggu terlalu lama. Ingat, kamu adalah satu-satunya harapan keluarga." Panggilan itu pun terputus.

 Dewa menyimpan ponselnya dan kembali ke ruangan Clara. Ia melihat Clara duduk di kursinya, dengan tatapan kosong. "Nona Clara..." panggil Dewa.

 Clara mendongak, matanya yang indah terlihat lelah. "Dewa, apa yang kamu lakukan dengan Belinda? Kenapa kamu percaya padanya?"

 "Aku tidak sepenuhnya percaya. Aku akan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi," jawab Dewa. "Tapi, jika itu benar, kamu tidak seharusnya menggunakan kekerasan, Nona Clara."

 "Aku tidak memukulnya, Dewa! Kenapa kamu tidak percaya padaku?" tanya Clara, suaranya bergetar.

 Dewa menghela napas. "Nona, aku melihatnya. Wajahnya merah. Aku tahu kamu tidak suka padanya, tapi setidaknya kamu bisa mencoba bersikap profesional."

 Hati Clara hancur. Dewa percaya pada Belinda. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatap Dewa dengan tatapan terluka. "Sudahlah, Dewa. Aku tidak ingin membahasnya lagi."

 Dewa mengangguk. "Baik. Aku akan menyiapkan jadwalmu untuk besok. Setelah itu, aku akan menemanimu jogging." Ujar Dewa sambil menandai rutinitas Clara pada tabletnya.

***

 Sore harinya, Dewa dan Clara sudah berada di sebuah taman yang rindang. Clara mengenakan sport bra dan celana legging, menampilkan tubuhnya yang ramping. Dewa mengenakan kaus hitam dan celana training yang pas di tubuhnya, menonjolkan otot-ototnya yang kekar.

 "Apa yang Nona pikirkan?" tanya Dewa, saat mereka berjalan pelan.

 "Tidak ada. Hanya lelah," jawab Clara singkat.

 Dewa menyerahkan botol minum kepada Clara, Clara menerimanya tanpa menoleh lalu minum air mineral yang terasa menyegarkan. 

 Tiba-tiba, ponsel Dewa berdering. Nama "Belinda" tertera di layar. Dewa ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkatnya.

 "Halo," sapanya.

 "Halo, Dewa! Sedang apa kamu? Apa kamu sudah pulang? Kamu pasti lelah ya?" suara Belinda terdengar ceria.

 Dewa tidak ingin bersikap kasar. Ia mengangguk pelan, meskipun Belinda tidak bisa melihatnya. "Ya, Belinda. Aku sedang istirahat. Ada apa?"

 "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin ngobrol sama kamu. Kamu tahu? Aku masih ingat film kesukaanmu, kamu suka horor kan? sejak tahu kamu suka film horor, aku jadi suka menonton film horor dan itu seru sekali"

 Dewa tersenyum. "Ya, aku suka film horor."

 Belinda tertawa. "Wah, tuh benar kan aku masih ingat! Bagaimana kalau besok kita nonton bareng? Aku traktir deh!"

 "Maaf, Belinda. Besok aku ada urusan," jawab Dewa sopan. Ia melirik ke arah Clara. Clara hanya menatap Dewa dengan ekspresi dingin.

 "Ayolah, Dewa. Sebentar saja kok. Ya?" rengek Belinda. "Aku janji, aku akan lebih baik dari Clara."

 Dewa tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Belinda, tetapi ia juga tidak ingin pergi dengan Belinda. "Maaf, Belinda. Aku akan mengabari nanti."

 Dewa menutup teleponnya, lalu menatap Clara yang berjalan di depannya. "Nona Clara, aku—"

 "Tidak usah jelaskan," potong Clara dingin. "Aku sudah tahu. Dia mengajakmu nonton bioskop, kan?"

 Dewa menghela napas. "Dia hanya mengajakku, aku tidak akan pergi dengannya."

 "Kenapa? Kamu takut aku marah? Pergilah, Dewa. Dia lebih cocok denganmu. Kalian punya banyak kesamaan," ucap Clara, suaranya penuh rasa cemburu yang ia tutupi.

 "Nona, jangan bicara seperti itu," Dewa mencoba menenangkannya. Saat tangan dewa berusaha meraih tangannya, Clara menepis keras.

 "Tidak usah. Aku sudah tahu. Kamu pergi saja. Aku tidak butuh asisten sepertimu," kata Clara, matanya berkaca-kaca. Ia merasa Dewa lebih memilih Belinda. Ia merasa dikhianati.

 "Clara, dengarkan aku—" Dewa kelihatan panik hingga lupa memanggil atasannya dengan sebutan Nona. 

 "Tidak! Aku tidak ingin mendengarkanmu!" teriak Clara, lalu berlari sekencang-kencangnya.

 Dewa terkejut. Ia mencoba menyusul Clara, tetapi Clara berlari terlalu cepat. "Clara! Clara, tunggu!" teriak Dewa.

 Tiba-tiba, ponsel Dewa berdering lagi. Nama "Rumah" tertera di layar. Dewa mengangkat panggilan itu. "Halo."

 "Tuan Dewa! Tuan Dewa! Kakek Tuan... dia terkena serangan jantung! Dia... dia sudah dibawa ke rumah sakit!" suara panik seorang pelayan.

 Dewa membeku. Ia tidak bisa bergerak. Kakeknya? Jantungnya?

 "Dewa! Cepat pulang! Kondisi Tuan sangat kritis!"

 Dewa tidak berpikir panjang lagi. Ia segera memutar balik dan berlari ke mobilnya. Ia harus segera pulang. Ia harus segera menemui kakeknya. Ia tidak peduli lagi dengan Clara.

 Sementara itu, Clara yang merasa Dewa tidak mengejarnya, berhenti berlari. Ia menoleh ke belakang, tetapi Dewa sudah tidak ada. Ia melihat Dewa berlari ke mobilnya, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Hati Clara hancur berkeping-keping.

 "Dia... dia benar-benar pergi. Dia pergi menemuinya," bisik Clara, air matanya mengalir deras. Ia merasa sangat sedih dan kecewa. Ia ditinggalkan sendirian di taman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 9

    Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 8

    Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 7

    Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 6

    Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 5

    Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 4

    Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status